Chapter 2

38 7 34
                                    


Alik terlihat semakin tampan dengan setelan hoodie berwarna putih. Ia bersiap segera untuk pergi sekolah. Di luar langit pun menunjukkan ekstitensinya dengan menurunkan bulir-bulir air yang tidak terlalu deras memang. Tapi tidak dapat dipungkiri mampu memuat baju menjadi basah dan menimbulkan hawa dingin menyentuh kulit.

“Alik, jaket yang biasa kamu pakai kemana?” Bunda penasaran karena biasanya Alik suka sekali memakai jaketnya yang berwarna abu-abu itu.

Sepersekian detik sesudah mencium tangan bundanya Alik menjawab, “Alik pinjamkan ke teman Bun. Kemarin pakaian basah gara-gara Alik.” Bunda Alik mengangguk paham setelah mendengar penuturan anaknya.

“Alik pergi yah Bun, dah..” Ia pun menghilang dari hadapan Bundanya dan mendatangi motor matic berwarna putih miliknya itu. Sepertinya Alik lebih suka warna-warna yang bersih dan terang. Rasanya seperti cahaya yang menyinari.

Di jalanan yang tidak terlalu ramai Alik bersama ketiga temannya menguasai jalanan. Tidak hanya Alik yang terlihat begitu mempesona ternyata Iman, Wawan dan Ogil juga terlihat begitu berbeda hari ini. Mereka menggunakan hoodie yang sama seperti Alik. Rassanya seperti mengklaim bahwa mereka satu dan tidak terpisahkan.

Di bawah gerimisnya hujan mereka berempat menebar kehangatan pertalian persahabatan. Alik yang berjalan sedikit lebih depan dari teman-teman seakan mengartikan kalau ia adalah sosok yang menjadi panutan bagi ketiga temannya itu. Di antara mereka bertiga pun tidak ada berniat sedikit pun untuk mendahului Alik.

Di belakang, Iman, Wawan dan Ogil memandang bingung saat melihat Alik mengangkat tangannya ke atas mengintrupsi mereka untuk berhenti. Mereka sadar saat melihat teman sekelas mereka mengalami sebuah kendala untuk pergi ke sekolah. Terlihat mereka berusaha keras mengengkol sepeda motornya.

“Liana, Windi, motornya mogok?”

Windi dan Liana yang melihat Alik beserta teman-teman menghela nafas lega. Mereka merasa kalau punya harapan untuk sampai ke sekolah tanpa terlambat. Karena mungkin mereka akan mendapat bantuan.

Windi menganggu merespon pertanyaan Alik. “Iya Lik, nggak tau kenapa motornya tiba-tiba mati,” timpalnya lagi.

“Bisa stut nggak?” tanya Alik yang bermaksud ingin mendorong motor mereka dengan kaki. Mendengarnya saja Liana dan Windi menngkerutkan dahi bingung. Dan akhirnya menggeleng karena tidak mengetahui akan maksud dari pertanyaan Alik.

“Kalian bawa motor aku aja. Man, stut-in yah,” pinta Alik. Ia juga memberikan kunci motornya pada Liana.

“Kalian duluan aja ke sekolah. Motornya biar kami hantar ke bengkel lebih dulu. Nanti aku pergi sama Ogil. Ogil, yuk!” 

Mereka pergi dahulu meninggalkan Alik dan Ogil. Setelahnya baru mereka membawa motor ke bengkel. Liana sempat melihat lewat spion motor Alik. Di dalam hati ia mengucap syukur dan berterima kasih atas pertolongan Allah lewat perantara Alik dan teman-temannya.

****

Setibanya Alik dan Ogil di sekolah langsung saja mereka ke ruang BK. Mereka datang ke tempat itu bukan karena terlambat. Bel sekolah masih belum bunyi jadi mereka masih Aman. Begitu pun dengan teman-temannya yang lain yang tentunya sudah tiba lebih dulu dari mereka.

“Yuk Man, kita hantarkan surat izin ini ke BK dulu. Biar besok kita tidak terhitung absen.” Iman tidak memberi jawaban melainkan memilih mengikuti Alik saja. Jika berjalan sejajar seperti itu Alik dan Iman hanya berbeda 1 centi saja mungkin yang tentunya lebih tinggi Iman.

“Akhirnya sampai juga kapten kita,” ujar Wawan. “Mampir ke mana aja tadi Lik?”

“Nggak smoke-kan?” Akibat pertanyaan itu Wawan mendapatkan geplakan di kepala dari Alik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kapten JombloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang