Angin malam berembus dengan kencang. Saat ini Lura berada di parkiran bersama Kevin untuk pulang. Ia memasukkan kedua tangannya kekantong jaket milik Kevin. Lalu terkikik geli setelah mengendus-endus jaket hitam yang tengah ia pakai ini. Ia berpikir apakah Kevin menyemprotkan satu botol parfum ke jaketnya ini sebelum dipakai. Harumnya bukan kaleng-kaleng. Lura yakin kaos yang ia pakai akan tertempel parfum Kevin nantinya.
"Ngapain, lo?"
Lura berjengit. Ia mendongak menatap wajah datar milik Kevin lalu cengengesan. "Hadeh, Bang, jaket lo wangi banget sampe gue mau melayang terbang ke atas awan,"
Kevin hanya mendengus. Lalu menyerahkan helm setelah naik ke jok motornya.
"Lo nggak kedinginan? Ini dingin banget lho, gue aja yang udah pake jaket masih ngerasa dingin," ucap Lura setalah berada di atas motor.
"Nggak,"
"Ah, yang bener? Jangan-jangan lo sengaja ngasih jaket ke gue supaya gue kasihan lihat lo kedinginan terus gue peluk, iya kan? Halah, ngaku aja lo, Bang!" Goda Lura sambil menjawil-jawil bahu Kevin.
Kevin menatap malas Lura lewat kaca spion, "sejak kapan lo jadi genit?"
"Hah?"
Tanpa membalas Lura, Kevin melajukan motornya bergabung dengan pengendara lain di jalan.
"Gue nggak genit ya! Gue cuma usil aja!"
Lura bersungut-sungut saat di panggil genit oleh Kevin. Bayangkan, gadis seperti dirinya dikata genit? Ups, itu sangat tidak elit.
Mata Lura menyorot lurus helm Kevin. Ia melirik kaos lengan pendek berwarna abu-abu yang dikenakan cowok di depannya ini. Ia yakin kaos tipis itu tidak sedikitpun menghalau angin malam yang bertiup kencang. Walaupun Kevin mengatakan bahwa ia tidak kedinginan, Lura tidak percaya, paling-paling cowok di depannya ini mengatakan hal tersebut supaya dirinya cepat diam.
Lura merasa bersalah kepada cowok tembok satu ini. Karena, jaket yang seharusnya cowok itu pakai malah diberikan kepada dirinya.
Dengan pelan kedua lengan Lura melingkar di perut Kevin. Ia memajukan wajahnya dan berucap pelan namun ia yakin masih bisa didengar Kevin.
"Jangan marah. Ini angin kenceng banget, pada nitip kangen semua kali ya?" Ia tertawa setelah mengucapkan itu.
Kevin terlihat tidak peduli, ia masih fokus dengan jalan. Lura yang melihat itu hanya mencebikkan bibir lalu menyenderkan kepalanya ke punggung tegap Kevin. Lalu, ia merapatkan tubuhnya untuk mencari posisi nyaman.
Jika dibandingkan dengan Alan yang akan sukarela memberikan pelukan, Lura lebih memilih memeluk Kevin walaupun pasti akan mendapat penolakan terlebih dahulu. Karena, baginya memeluk Kevin samadengan memeluk kasur, enak banget bikin nagih. Apalagi punggung Kevin lebih tegap dan kekar daripada Alan, itu menambah nilai plus-plus lagi buat bikin nyaman. Membayangkan ia berada di rengkuhan lengan Kevin saja sudah membuatnya senyam-senyum sendiri apalagi kalau jadi kenyataan, bisa pingsan nanti.
Heh! Sadar, Lura! Lo punya Aga!
Motor Kevin mulai berhenti yang artinya ia sudah sampai di depan rumah.
Dengan segera ia melepaskan lengannya dari perut Kevin lalu turun dan melepas helm. "Terimakasih, Abang Kevin!" Ucapnya riang sambil menyodorkan helm.
Cowok berkaos itu hanya menatapnya malas sambil berdehem singkat. Lagi-lagi Lura menatap Kevin gemas. Kedua tangannya mengangkat meremas udara. Seolah-olah yang tengah ia remas itu wajah Kevin.
"Nggak jelas," ucap Kevin sambil menoyor dahi Lura.
Lura hanya mendengkus kesal. Ia melepas jaket Kevin lalu menyerahkan kepada pemiliknya. "Ambil,"
Cowok di depannya menaikkan satu alis menatap Lura bingung.
Gadis yang ditatap malah mengernyit balik menatap bingung. Lalu ia menyodorkan kembali tangannya, "nih, makasih jaketnya,"
"Cuci, baru balikin."
Lura melongo mendengarnya. Apa maksud dari perkataan cowok tembok satu ini? Jaketnya tidak kotor. Badannya juga tidak berkeringat sampai membuat jaketnya bau. Lura menelengkan kepala sambil membuka sedikit mulutnya.
"Mohon maaf, Bapak Kevin raja tembok. Ini jaketnya masih bersih, masih wangi, masih kinclong, nggak ada minusnya, loh. Baru bentaran doang dipakai, cuy."
"Belum gue cuci, jadi sekalian," ucapnya sambil memakai helm kembali setelah ia lepas sebentar. "Gue balik,"
Tanpa menunggu respon gadis yang masih melongo menatapnya tak percaya itu, ia langsung menarik gas penuh meninggalkan pelataran gerbang rumah Lura.
Lura yang ditinggal hanya mengelus dada mencoba sabar menghadapi manusia bermuka tembok berhati kulkas itu. Kalau tidak tampan mana mau ia temenan dengan cowok itu. Oh, tidak, itu hanya bercanda haha. Lura sangat tulus berteman dengan cowok seperti mereka karena memang nyambung dan nyaman.
Ia berbalik melangkah membuka gerbang tinggi bercat hitam dengan cepat. Dirinya tak sabar untuk bertemu dengan kasurnya tercinta. Baru ingin melangkah setelah menutup gerbang, matanya terpaku pada mobil berwarna merah metalik yang nampak mengkilap terparkir rapi di depan pintu garasi.
Tiba-tiba jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia tahu siapa pemilik mobil tersebut. Dan sebisa mungkin ia tidak bertemu dengan pemiliknya.
Dengan perasaan terpaksa, Lura melangkah menuju pintu rumah. Sambil berjalan ia mengenakan jaket Kevin karena menggigil kembali.
"Baru pulang, Ra?"
Sambut wanita paruh baya setelah ia menutup pintu.
"Iya, Ma."
Feni, mama Lura, mengelus rambutnya dengan lembut tak lupa mengecup sekilas keningnya. "Om Jordi mampir, kamu temui sebentar, ya?"
Lura menghelas nafas, "capek, Ma, Lura mau istirahat."
"Lura, sebentar lagi Om Jordi jadi papa kamu, belajar bersikap baik sama dia." Tegas Feni dengan sedikit penekanan.
Sekali lagi Lura menghelas nafas. Dia akui dirinya belum bisa menerima keputusan mamanya untuk menikah lagi setelah perceraian dengan papanya setahun yang lalu. Ia masih sangat berharap jika kedua orangtuanya bisa rujuk kembali memulai kehidupan yang lebih baik. Tapi, kenyataannya malah mamanya ingin menikah lagi dengan pria lain yang berstatus duda anak tiga.
Jika pernikahan itu benar-benar terjadi, dirinya sudah memutuskan untuk tinggal bersama papanya.
Dengan suara bergetar Lura menjawab, "kapan-kapan aja, Ma, Lura mau istirahat." Setalah mengatakan itu ia berjalan setengah berlari menuju kamarnya di lantai dua. Ia tidak peduli Feni berteriak memanggil-manggil namanya.
Setalah sampai ia langsung mengunci pintu kamarnya, mematikan lampu, lalu menyembunyikan tubuhnya di balik selimut. Tangisnya pecah. Ia menutup mulutnya yang ingin mengeluarkan isak. Dadanya seperti diganjal sesuatu, sesak sekali.
Bayang-bayang ia serumah dengan ketiga anak suami mamanya dan ia terkucilkan sungguh luar biasa sakitnya. Ia merasa jika perhatian mamanya nanti akan terkuras untuk ketiga anak barunya. Mengapa bisa berfikir begitu? Karena, mamanya pernah mengatakan jika Om Jordi sudah hidup dengan ketiga anaknya selama lima tahun. Lima tahun tanpa sosok istri dan ibu. Itu sudah cukup membuat mereka sangat rindu.
Lura mengambil kesimpulan bahwa nanti mamanya akan fokus mengurus suami dan memberikan kasih sayang lebih yang sudah lama tidak dirasakan ketiga anak Om Jordi itu.
Dan dirinya, mungkin hanya bisa diam menatap mamanya bersenda gurau bersama keluarga barunya.
...
141120Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
My Gopu Gopu
Teen FictionSuka dalam diam emang nggak enak. Lura mulai berani menunjukkan ketertarikannya kepada si 'doi' akibat melihat ada perempuan lain yang lebih dekat daripada dirinya. Ia tidak mau kalau si 'pujaan hati' jatuh ke tangan perempuan lain selain dirinya. W...