Awal

990 31 9
                                    

"Eh, kak. Apa kau keberatan kalau aku minta sedikit pertolongan? Sedikit saja kok!" kata Ghina agak takut dan segan. Ajeng sama sekali tidak tertarik untuk menolong adiknya, bahkan menoleh saja tidak penting bagi nya. Dengan hampa, Ghina melangkah pergi. Selalu saja begitu. Ghina sendiri tidak pernah mengerti kenapa kakaknya tidak pernah suka padanya

Ajeng Lestari, 16 tahun. Gadis dengan kulit putih pucat, bibir yang selalu terkatup rapat seolah tak pernah mengukir sebuah senyum tipis pun. Postur tubuhnya tinggi jangkung, urat terlihat jelas di tangannya. Bisa dibilang, cantik tapi dengan sikap sedingin es batu. Ajeng tidak suka akan adiknya, Ghina. Suatu insiden di masa lalu membuatnya menjadi jarang sekali bercakap-cakap dengan Ghina. Yah, sekiranya begitulah Ajeng.

Kalau Ghina, bisa dibilang sama cantiknya dengan Ajeng, tapi dengan sifat periang dan hangat. Ghina berumur 14 tahun.

"Kak, memangnya, apa sih hal yang selalu membuat kakak benci sama aku? Apa aku jahat kak?" tanya Ghina polos ketika Ajeng sedang duduk melamun di teras. Ajeng menoleh tanpa memberi sedikit ekspresi pun kepada Ghina. "Yah, entahlah," jawab Ajeng singkat, seolah tidak acuh. Ghina menunduk, tetap duduk rapi di samping Ajeng. Sepi, tiada kata diantara mereka. Senja begitu indah, mentari mengeluarkan sinar oranye, dan langit menampakkan sedikit warna merah muda bercampur dengan biru muda, kemudian oranye nya matahari, dan putihnya awan. Semua itu seharusnya memang dinikmati, tapi Ghina gelisah dan sedih. Kenapa dia tidak bisa akrab dengan kakaknya? Pasti asik punya teman bicara di rumah. Ibu dan ayah belum pulang kerja. Ghina merasa sendiri walau Ajeng sungguh berada di sana. Ghina terus duduk di sana, tidak peduli kakaknya menginginkan itu atau tidak.

"Kata ibu, kita akan pergi liburan ke Jogja. Mungkin besok," kata Ajeng tiba-tiba. Ghina tersentak ketika mendengar suara kakaknya. Dia beberapa kali menoleh ke kanan dan ke kiri, kalau kalau kakaknya sebenarnya berbicara dengan orang lain. "Dungu. Mana ada orang lain sekarang. Aku berbicara padamu," nada bicaranya tetap dingin dan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Ghina menarik sebuah senyuman dan dia terkekeh. "Hehe, maaf kak. Berapa lama kita disana?" tanya Ghina, tidak yakin kakaknya akan membalas pertanyaannya. Ajeng menoleh ke arah Ghina. Ghina sangka, kakaknya akan mengeluarkan sepatah kata. Tapi, Ajeng hanya mengangkat bahu dan beranjak pergi dari teras. "Aneh. Benar-benar, aku mempunyai seorang kakak yang luar biasa anehnya," Ghina menghela napas dan ikut beranjak masuk ke dalam rumah. Matahari sudah hilang, dan malam tiba. Ghina menyalakan semua lampu.

Beberapa kali Ghina membolak-balikkan badannya. Memikirkan tentang liburan yang dikatakan Ajeng tadi. Jogja heh? Mereka memang mempunyai kerabat di sana. Pernah sekali mereka berkunjung ke sana, sekitar 5 tahun yang lampau. "Aku tidak mengingat secuil perkara pun tentang rumah kerabatku di sana. Hm, siapa namanya ya? Eyang Soedjono? Ah, ya. Ku rasa itulah namanya," ujar Ghina pada dirinya sendiri. Tidak ingat saja ia, apa yg benar-benar terjadi 5 tahun lampau di rumah itu...

Locked RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang