Plak
Bunyi nampan terletak di meja, Geni sudah susah menyembunyikan resahnya. Ia menghenyak di sofa sembari tetap melirik Elena dan keluarga tampak senang sekali ngajak bicara Gian. Papa Elena tampak menyunggingkan senyum hangat pada Geni dan berkata.
"Kalo boleh om tau? Kenapa papa kamu jual rumah itu Gen?"Geni terdiam sebentar dan coba bicara dengan berusaha tegar.
"Papa tidak menjualnya" singkatnya, Ajeng dan Jessi yang datang dari dapur, mama Gian itu langsung meluruskan.
"Papa Geni gak jual apa-apa kok, hanya saja karna dia keburu meninggal jadi semua utang perusaha'an harus di lunasi dengan adanya properti yang tertinggal" jelasnya, Geni mendegup bagaimanapun dia benci membahas hal yang sudah ia kubur dalam-dalam itu dan sekarang di ungkit-ungkit lagi. Geni benar-benar sial akan kabar perjodohan ini dan penghuni baru rumah papanya.
"Lalu sekarang mamamu mana nak?" tanya Mama Elena, lagi Geni tersayat. Dengan binar mata berkaca-kaca ia melirik Gian dengan wajah miris Gian coba menguatkan Geni dengan pandangan hangatnya.
"Mama dia-" ucapnya terhenti Jessi coba menghela nafas pelan lagi dan berkata dengan berat. Namun Ajeng tampak menyelip mencoba membantu Geni menjelaskan.
"Drista pergi mengurus bisnis keluar kota, dia titipkan Geni pada kami" singkatnya mengelus pundak Geni, Elena sekeluarga tampak mengangguk pelan mencoba menyudahi rasa penasarannya. Dari anak tangga papa Gian tampak pasti menuruni tangga sembari tetap merekahkan senyum pada tamu yang tengah berkumpul.
"Maaf Burhan, Aku harus mengurus beberapa file dulu tadi, silahkan di minum coffenya" ujarnya ikut menghenyak juga di sofa, wajah Aryo makin berbinar melihat Elena.
"Ini kah putri kecil itu Han?" ujarnya menoleh ke Elena, Burhan tampak terkekeh dan coba menggapai bahu putrinya.
"Ya, gadis kecilku sekarang sudah tumbuh" ujarnya mengembangkan senyum pada gadisnya Elena hanya bisa membalas senyum hangap pada kedua lelaki paruh baya itu.
"Cantik, sangat cantik! Mendengar cerita darimu Aku rasa Elena sangat cocok dengan Gian" ujarnya lagi, kata perkata yang di lontarkan Aryo membuat Geni semakin tersayat. Matanya memerah melirik wajah Gian yang tampak tertunduk bingung. Geni sangat tau mungkin alasannya Gian sangat takut sama papanya, karna Aryo terkenal sangat tegas dan keras mendidiknya, namun Geni kecewa sudah sejauh ini bahkan Gian tak bicarakan apa-apa pada keluarganya
"Gen, kita balik aja ya" bisik Jessi, mengelus pundak Geni. Ia coba mengepal jemarinya dan berdiri hendak pamit. Jessi juga tampak bergerak ikut-ikutan berdiri.
"Saya permisi dulu om, tante!" singkatnya membalik pergi, Jessi yang tertinggal tampak menarik bibir tersenyum sembari memungkuk canggung.
"Misi om, tante!" ujarnya, dan secepatnya mengejar Geni.
"Gen, tunggu aku!" teriak Jessi namun terlambat langkah kaki wanita itu tampak kencang memanggil taksi.
"Geni!"panggilnya lagi melihat Sahabatnya itu menaiki taksi, Geni duduk di kursi penumpang melirik Jessi sedikit dengan raut wajah sembabnya dan kembali fokus pasa kursi kemudi.
"Jalan pak!" singkatnya, Taksi itu melaju kencang.
"Eh, Geni jangan tinggalin gue, sial" ujar Jessi mengejar taksi itu, namun anak itu lelah hingga ia berhenti sembari mengatur nafas. Tangannya bertumpu pada lutut sembari tetap melihat ekor mobil itu berlalu kencang.
"Dasar teman laknat...! Dia yang dapet masalah lah gua yang dia siksa mana gak punya duit buat bayar taksi"gerutunya terengah-engah mengatur nafas. Jessi kembali menoleh kerumah mewah Gian, dan berpikir menunggu Gian di persimpangan komplek.
Selang setengah jam mobil Elena dan sekeluarga tampak beranjak menjauh dan selang beberapa menit juga Motor Gp Gianpun tampak melaju kencang keluar dari komplek dengan tenaga ekstra berlari plus berteriak Jesi memanggil Gian yang tampak fokus mengendarai Motornya dengan helm.
" GIAN"panggilnya
Ciiiits..
Bunyi pedal rem mendadak Gia menoleh pada Jessi yang tampak terengah-engah mendekat.
"Ada apa Geni mana?" tanyanya, Jessi tampak mendegup sembari mengatur nafas.
"Kayaknya dia kesal amat, sampai Ninggalin gua dan berlalu pergi" ujarnya, Gian kembali menyalakan mesin motornya hendak mendatangi Geni.
"Eh Gian tunggu!" hardik Jessi, Kembali Gian menoleh.
"Apa"
"Gua nebeng ya, gua gak punya duit buat bayar taksi" melasnya,
"Ya udah naik!" titahnya, Jessi bergegas naik ke motornya Gian "kita langsung kekontarakan Geni, Gua harus buru-buru temui dia" tuturnya dengan nada cemas.
"Baiklah..."Ciitss...
Bunyi rem motor Gp Gian berhenti didepan kontrakan, Gian tampak memperbaiki kaca helm dan beranjak kekontrakn sebelah mengetuk pintu, ekor mata Jessi tampak melirin Gian yang tampak bercengkrama dengan ibuk kontraka selang semenit wanita paruh baya itu memberi dua ember.
"What?" desis Jessi menyeringai heran loncat dari motor besar itu.
"Lo mau ikut? Ni pengaman buat lu" ujarnya menyodorkan ember Jessi terbolongo nanar melihat Gian mengencangkan kaca helm dan beranjak mendekat ke pintu. Dengan bingung teman sebangku Geni itu membuntuti Gian ke pintu kontrakan.
"Beb sayang" sorak Gian dari luar, gian memegang gangang pintu yang tidak di kunci. Seketika tangannya mengepak dau pintu, Bunyi keributan terdengan daru dalam hingga segala barang melayang melesat hampir mengenai kepala dan badan Jessi dan Giant.
"Eh busyyet" sontak Jessi memilih aman menunduk dibelakang Gian.
"Sayang aku bisa jelaskan semuanya, kamu jangan ngajak perang gini dong"
Plak
Duar
Prang...Semua benda melayang Jessi memilih kabur jongkok di balik sofa....
"Seram juga ni orang"
"Pergi! Aku benci kamu Gian. Mulai hari ini kita putus!" teriakny berdiri memegang vase bunga. Plus dengan dua sorotan mata tajam siap menimpuk Gian.
Bersambung