Aryati Si Gemerlang Pujaan

92 27 3
                                    

Aryati, juwita malam yang teramat indah. Gemerlang cemerlang diatas asuhan rembulan. Rambutnya selalu lurus walau tak seberapa panjang di pundaknya. Wajahnya yang elok selalu sempurna dengan kepribadiannya yang baik dan rendah hati. Biar begitu dia tetap perempuan, terkadang dia manis, tapi terkadang dia sinis. Dia menjadi idaman banyak laki-laki di kampus.

Aku dipertemukan dengan Aryati sebagai teman satu kelas, dia begitu pintar. Aku suka padanya, perkara dia baik tentu itu suatu alasan yang belum cukup untukku mengatakannya. Benar, aku hanya menyukainya seorang, dan dia tidak pernah tahu tentang itu.

"Aryati. Kau ada sibuk hari ini?" Tanyaku suatu saat ketika sehabis kelas.

"Tidak ada, bung. Kenapa bertanya bung?" Jawab Aryati sembari merapikan buku dan tasnya, lalu kami berjalan keluar dengan kawan-kawan yang lain.

"Bagaimana kalau kita ke Metropole malam ini, kau mau?" Ajakku pada Aryati. Harap-harap ini kali aku boleh mengatakan rasaku padanya.

"Metropole? Menonton? Asal kau yang bayar ya." Jawabnya sembari menyeringai dan tersenyum manis.

"Baik. Baik. Bolehlah kalau begitu biar aku jemput, bagaimana? Aku punya skuter baru, Vespa. Punya pamanku sebenarnya, tapi sedang dia pinjamkan untukku kuliah. Bagaimana?" Ajakku sekali lagi dengan riang bukan kepalang. Ini kali hati terasa semangat dan berapi-api.

"Bolehlah kalau begitu malam nanti kita terbang dengan skutermu itu. Tapi jangan minta imbalan bensin, ya." Jawabnya dengan tertawa diujungnya. Aku senang saat dia tertawa dan bercanda, tak ada maksut, hanya menambah eloknya saja.

Di Metropole. Benar saja kami menonton berdua. Kala itu film yang diputar adalah film-film garapan asli Indonesia. Film-film barat sedang tidak boleh ditayangkan oleh Bung Besar. Sebenarnya aku tidak terlalu peduli pada apa yang sedang tertera pada layar. Aku hanya mau duduk di samping Aryati, itu saja. Barangkali hanya untuk sesaat dia milikku seorang. Dasar aku ini, wujudnya saja terpelajar, isinya tidak jauh dari laki-laki biasa.

Aku selalu teringat dengan gaun merah yang dikenakannya malam itu. Rambutnya yang sedang terkuncir itu juga menjadikan dia seperti Aryati yang lain, pun itu sebenarnya tetap menawan seperti hari-hari biasanya, tiada yang kurang. Tangannya tertutup dengan sarung tangan putih, aku tersadar yang aku ajak menonton malam ini adalah dara yang betul-betul menjaga keanggunannya. Aku menjadi bimbang karenanya. Bila aku pikat maka aku tak sanggup setara dengannya. Aku putuskan saja hanya menahan perasaan saja malam ini.

"Bung, bung. Kau mau temani aku tidak? Besok, ke pesta si Lela. Besok dia berulang tahun. Barangkali kau mau jadi teman dansaku." Tanyanya saat setelah waktu kami menonton, diatas skuter. Aku terkejut bukan kepalang mendengar ajakan itu. Hatiku terlalu senang untuk mengingat apa yang tadi ingin aku katakan.

"Ah yang benar kau mau mengajakku? Ke pesta si Lela?" Tanyaku meyakinkan sekali lagi. Aku harap diriku tidak jadi pecundang lagi, dengan hanya berani meratapi nasib dengan melihat dara yang anggun.

"Apa salahnya denganmu? Biar nanti aku yang bayar bensinnya." Katanya sekali lagi. Aku jadi semakin yakin dengan ajakkan itu. Aku harus jadi laki-laki, harus turun ke gelanggang, tak boleh hanya menonton. Aku harus betul-betul siap dengan apa yang harus aku katakan.

"Baiklah kalau begitu." Jawabku.
Aku mengantar Aryati pulang, rumahnya ada di daerah Menteng. Kala itu malam begitu terang, jadi tak perlu aku risau kehujanan. Aku langsung pulang setelahnya, menuju asramaku.

Aku terheran-heran di dalam kamarku. Bagaimana aku bisa jadi pecundang ketika dihadapan Aryati.
Besok adalah kesempatanku,barangkali satu dan satu-satunya, walaupun terkadang aku juga takut kala aku akan mengutarakan rasa. Aku takut kali-kali dengan penolakan yang malah membuat renggang hubungan pertemananku dengannya.

TIGA JUWITA MALAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang