Di Sunda Kelapa Dan Nurlela

32 18 2
                                    

  Aku sudah jarang berbicara dengan Aryati. Aku takut kalau-kalau aku semakin terjerumus kesedihan, walaupun itu sebenarnya sudah. Aku berplesir ke pelabuhan Sunda Kelapa, kali-kali supaya aku dapat terhindar kesedihan.

Betul-betul aku tiada  mencari cinta, tersurut sudah kisah dan cerita. Jurang menganga pertanda luka, dengan berharap akan juwita.

  Aku memandangi ombak yang menggulung menghempas batu-batu karang. Kapal-kapal naik turun dimainkan pasang. Benar-benar menyejukkan. Tak pernah sekalipun seorang pelajar, yang dikatakan orang sebagai wadah kewibawaan akan berakhir karena wanita. Aku diam merenungi segala hal sembari terus menatap lautan. Hingga akhirnya suara itu terdengar.

“Bung. Bung Juno. Sedang apa bung kemari?” Teriaknya dari arah seberang jalan.
 
  Aku berpaling melihat asal suara itu. Dan ternyata adalah dia Nurlela. Berdiri dengan gaun kuning dan topi renda yang sama pula warnanya. Matanya menyipit karena sinar matahari.

“Ah kau rupanya. Kemarilah, kalau kau mau.” Teriakku membalas. Dan ternyata benar dia datang menghampiriku. Lalu duduk di sebelahku.

“Bung juga suka datang kemari?” Tanyanya.

“Ya beginilah aku. Kau juga suka datang kemari?” Tanyaku balik.

“Tentu aku suka. Sejuk dipandang, bung. Kenapa bung tidak datang dengan Aryati?” Tanyanya menyelonong membuat bimbang. Aku seketika berpaling memandangnya. Berani juga itu mulut ingin terkena sandal, suka menyeplos.

  “Kau kan kawannya. Kau harusnya tahu dia akan kawin dengan opsir-opsirannya itu bukan?” Kataku dengan nada kesal dan malas.

  Nurlela ini lebih muda dari diriku barang satu tahun saja. Sifatnya yang kekanak-kanakan ini yang membuatnya barang kali tidak terlihat tua. Mulut yang juga kekanak-kanakan itu terkadang juga menyebalkan dan membikin malas. Sedang sebenarnya dia baik dan menyenangkan juga dia ada saat ini. Barangkali aku dapat hitung sebagai pelipur. Sedang entah kenapa tetap rasaku masih tertaut pada Aryati.

  “Bung, cemburu? Melihat Aryati dengan bakal suaminya itu?” Kata Nurlela dengan menohokku dan seolah dapat membaca segala isi pikiran di otakku.

  “Ah. Tidak. Tidak.” Kataku berbohong sejadi-jadinya supaya tidak terlihat. Aku berusaha menatap matanya yang sedari tadi menatapku di bawah topi rendanya.

  “Tenanglah, bung. Aku sudah banyak bertemu pemuda sepertimu. Jikalau benar tidak cemburu, mana ada pemuda yang merenung menatap pantai tanpa dara yang biasa dia bawa kemana-mana. Bung teman Aryati, bung temanku juga.” Kata Nurlela dengan nada sesukanya sembari menebar pandang pada lautan. Aku hanya terdiam tak berkata sedikitpun. Mematung.

  “Bung. Daripada bung mematung di sini. Bolehlah bung mending temani saya ke pesta. Ini Vespa juga tidak dipakai kan bung? Bolehlah dipinjam. Kebetulan ada teman saya yang mengadakan, bung.” Kata Nurlela lagi dengan panjang dan lebar sembari ini kali menunjuk ke arah skuterku yang sedari tadi terparkir di belakangku.

  “Ah. Tidak mau. Apa nanti dikata orang.” Kataku menolak lalu memasang muka masam.

  “Ayolah bung. Masa tidak boleh kalau bukan dengan Aryati.” Kata Nurlela ini kali dengan berdiri dan menarik bajuku berulang-ulang kali.

  Dia terus merengek, persis seperti anak-anak, manja. Dan aku, aku akhirnya lebih menurutinya.
Kami pergi meninggalkan pelabuhan Sunda Kelapa. Berplesir jauh mengelilingi Jakarta, melewati Ikada. Jalanan demi jalanan kami lewati, sesekali Nurlela menunjuk gedung-gedung yang mulai dibangun dan yang menjulang tinggi. Mulut dara yang satu ini selalu bergembira ria menari tak tentu arah dan tujuan, membicarakan segala suatu sesuka hatinya. Aku hanya tersenyum mendengarnya setiap kali berisik dibelakangku.

  Kami sampai ke rumah kawan Nurlela yang mengadakan pesta itu. Kami masuk ke halaman rumah itu. Tangan Nurlela dengan sedemikian cepat langsung merangkul tanganku, aku yang sedang terkeget langsung ditariknya masuk ke dalam. Dia menyeretku ke lantai dansa untuk berdansa dengannya.

TIGA JUWITA MALAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang