Ujian penghabisan sudah datang. Betul-betul teramat susah, tapi beruntung aku bisa melewatinya. Beberapa kawanku ada yang hampir dibuat pingsan menghadapinya. Bagaimana tidak? Tiada keluar dari yang sudah diajarkan. Sial, benar-benar teramat sial. Begitu umpat kami dalam hati.
“Bagaimana bung? Bisa kau tadi?” Tertiba suara perempuan tak sing mendarat di telingaku. Benar saja, ternyata Aryati.
“Bisa, bisa. Tentu.” Kataku singkat dengan canggung yang luar biasa. Berniat hati ingin melupa, dikirim Tuhan kembali tiba-tiba. Sial.
Sedang kami bertegur sapa, dari kejauhan aku melihat Nurlela sedang bergembira seperti biasanya, disampingnya terlihat Rahimah juga. Aku memandang mereka berdua yang sedang berlenggang itu. Tapi tak aku sadari Aryati juga memandangi mereka berdua.
“Aku lihat akhir-akhir ini bung rapat betul dengan Nurlela?” Tertiba seketika Aryati bertanya. Aku merasa canggung bukan kepalang. Suaranya mulai terasa asing di kepalaku. Seolah dara yang dulu mematahkan harap tertiba bertanya seolah dia sendiri tak tahu apa-apa. Aku hanya terdiam tak berani menjawb, pura-pura tidak mendengar, sembari terus menatap Nurlela dan Rahimah.
“Kalau begitu aku pulang saja dulu bung. Mas Hardy sudah menunggu sepertinya.” Sontak aku langsung berpaling menatapnya. Lekas aku tahu, namanya adalah Hardy, opsir bakal suami Aryati. Benar-benar bercampur rasaku terhadap Aryati sekali ini lagi.
“Baik. Baik.” Jawabku menanggapi yang segera Aryati berpaling dan hilang di kerumunan mahasiswa. Aku hanya masih terpasung dan terpaku di tempatku. Merenungi sekali lagi yang singgah dan pergi bakal selamanya itu. Sudah bakal dosa aku jika terus berharap dengannya.
Tersadar diriku kali ini. Aku masih terlalu jadi pemuda, tapi asmara kian menggebu terbakar di dada. Aku hanya berharap tak akan aku luput karena percintaan yang sekadar cinta monyet itu.
Aku menjinjing buku-buku yang aku kempit di ketiak, lalu berjalan mengelilingi kampus. Aku melihat Nurlela bersama dengan Rahimah sedang duduk pada sebuah warung kecil. Aku hampiri saja mereka, barangkali untuk menghilangkan penat dengan mengobrol dengan mereka-mereka berdua. Angin ini kali cukup kencang membuat rambut mereka yang tergerai berkibar-kibar bebas.
“Nur, Mah.” Sapaku pada mereka berdua itu. Dan seketika mereka berpaling memandangku yang sedang datang dari seberang mereka. Mereka tersenyum, lebih-lebih si Nurlela yang mengembangkan raut wajah manisnya itu.
“Ahoi, ahoi. Bung Juno. Kemarilah bung! Duduk.” Teriak Nurlela memanggilku sembari melambai-lambai terlihat teramat senang sembari aku terus mendekat untuk ikut duduk.
“Bung. Sekarang kan sudah kusepakati peranku. Sekarang kapan bung mengajakku memperkenalkan dengan kawan-kawanmu itu? Jangan bung kira aku lupa.” Kata Nurlela saat aku baru mulai duduk di sampingnya dengan menunjukku. Aku teringat seketika dengan janjiku untuk memboyong Nurlela ke asrama.
“Tentu nanti aku bawa kau ke asrama. Rahimah sekalian pun juga aku bolehkan.” Balasku menjawab. Rahimah hanya tersenyum manis di wajahnya itu, wajah yang putih dan selalu bersih.
“Mau mencari teman dansa kau mau ke asrama laki-laki?” Kata Rahimah dengan halus kepada Nurlela kawannya itu. Suara Rahimah memang terdengar selalu halus dan menyenangkan untuk di dengar. Pawakkan dan pembawaannya yang sederhana juga membuat pemuda sepertiku mudah jadi kagum dengannya.
“Ah. Bukan main. Kalau bisa aku akan ajak semua laki-laki turun ke gelanggang. Berdansa.” Kata Nurlela dengan tertawa selebar dan sepuasnya tanpa batas seperti yang sudah-sudah.
“Bung juga harus datang besok. Barangkali bung belum tahu akan ada pesta kampus besok.” Kata Rahimah kepadaku. Memang pesta kampus sering diadakan setelah ujian penghabisan.
“Tentu. Tentu aku akan datang.” Jawabku pertanda setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIGA JUWITA MALAM
Teen FictionJakarta 1956 Hempas terkoyak berserak, sedang lara kian membara. Maut tiada jauh berjarak, menyulut api tak juga mereda. Cerita buat Alexa, Berniece, dan Julia. Dara-dara yang betul pernah ada. Diperankan oleh Aryati, Nurlela, dan Rahimah. Juno.