Chapter Dua

34 7 7
                                    

⚠️Warning ⚠️
Cerita ini hanya fiksi belaka berasal dari imajinasi dan khayalan penulis. Jangan pernah menjadikan setiap dalil, hadist dan suatu fatwa yang tertera sebagai sumber hukum (hujjah) dan jadikanlah Al-Qur'an sebagai sebaik baiknya bacaan

-||-

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Imam Bukhari  dan Muslim).

-||-

Alen's pov

Suasana semakin lama semakin suram bagiku. Aku terus menerus menunduk tak sanggup dan tak tau harus bagaimana lagi. Aku takut sungguh.
Keheningan yang tadinya awet, kini pecah juga oleh suara berat dari pria yang aku repotkan tadi.

"Mbaknya bawa hp?" tanya pria tadi yang sekarang ada di hadapanku. Sekilas aku mendongak tadi, ia bertanya dengan wajah yang lempeng, selempeng jalan tol. Apakah itu menggambarkan ekspresi seorang yang sedang bertanya?

"Iya Mas, saya bawa,"  jawabku singkat.

"Bisa hubungi keluarganya?"

Mataku sontak terbelalak mengingat sesuatu yang urgent.
Astaghfirullah Mbak Aul!
Yah ... kan lupa lagi kalau Mbak Aul tadi nungguin.

Dengan gerakan cepat aku langsung mencari-cari ponselku di dalam tas selempang yang aku bawa dan ternyata tak ada. Kemudian aku coba mencarinya di dalam tas rancle yang selalu setia setiap saat di punggungku, iya kayak salah satu  merek deodoran itu.  Namun tetap sama hasilnya nihil tak kutemukan handphoneku. Dengan panik aku buka tas milik Mbak Aul yang siapa tahu tadi aku terlupa, tapi tetap tidak kutemukan benda ajaib itu.

"Mbak .... " 
Seseorang memanggil seyara menepuk bahuku.  Tapi tak kugubris karena aku sedang sibuk mencari benda ajaib yang bukan dari kantong doraemon itu.

"Mbaakk .... " panggilnya lagi. Tetap tak kugubris.

"Mbaaaakkk! " pekiknya.
Aku pun menoleh dengan kesal karena sungguh aku sedang panik dan khawatir apabila handponeku hilang.

"Ada apa sih, Mas? Saya lagi nyari handphone saya, Mas. Jangan ganggu," jawabku kesal karena aktivitasku diganggu.

"Maaf Mbak handphone Mbakmya lagi Mbak pegang."

"Heh?!" pekikku tak percaya.
Saat kulihat tangan kananku ternyata benar dari tadi handphone itu aku pegang. Entah harus bagaimana aku mengekspresikan diri sekarang.

Sumpah maluu banget. Pikunnya kumat teruss. Aduh mana truk gas LPG? Mana? ada gk sih. Toloong!! kalo ada tabrak aku sekaraang juga.

Akhirnya aku hanya bisa nyengir seperti tak ada salah walaupun sebenarnya aku sudah sangat malu berhadapan lagi dengan pria ini.

Pria yang ada di hadapanku hanya menatapku kosong. Aku yang awalnya malu kini menjadi kesal.
Ini orang atau bukan sih? Jangan jangan dia kerasukan  mbak suzana. Kok mukanya lempeeng banget. 

Melihatku yang juga membeku menatapnya, pria itu pun tersadar dan memintaku untuk segera menghubungi keluargaku. Namun bukannya aku menjalankan  permintaannya, aku masih saja terpaku memandang sorot matanya yang terlihat benar-benar kosong. (Sekosong hatiku tanpa dia eaaaaaak :v )

"Mbak .... "

"Astaghfirullah. Eh iya, Mas?"

"Telpon keluarganya sekarang," ucapnya lagi yang terdengar kesal sembari memalingkan pandangannya ke arah lain.

Alena & AzzamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang