Chapter Empat

22 4 1
                                    

⚠️Warning ⚠️
Cerita ini hanya fiksi belaka berasal dari imajinasi dan khayalan penulis. Jangan pernah menjadikan setiap dalil, hadist dan suatu fatwa yang tertera sebagai sumber hukum (hujjah) dan jadikanlah Al-Qur'an sebagai sebaik baiknya bacaan

-||-

"Ketinggian akhlak dan kemajuan seseorang serta kemuliaan budi, bisa dilihat dari bagaimana ia memperlakukan dan menghargai seorang guru."

"Belajarlah kalian ilmu untuk ketentraman dan ketenangan serta rendah hatilah pada orang yang kamu belajar darinya".
(HR. At-Tabrani)

-||-

Azzam's Pov

Setelah aku pergi meninggalkan dua perempuan tadi, segera menuju ke tempat tunggu lagi. Ntahlah sekarang aku malah menjadi kebingungan sendiri, apakah aku harus meneruskan niatku untuk menuju ibu kota yang katanya lebih keras dari ibu tiri dan ibu mertua, atau merubah tujuanku sebelumnya.

"Ah, ini gara-gara perempuan tadi, jadi plin-plan ginikan," gumamku yang meng-embek-hitamkan perempuan tadi. Sejenak aku mendudukan diriku bangku tunggu stasiun yang telah di sediakan. cukup lama aku termagu, hingga aku oun terpikir untuk mencoba menenangkan diri dengan mendengarkan lagu-lagu slow rock kesukaanku.

Kupejamkan mataku dikeriuhan stasiun. Mencoba menenangkan pikiranku yang masih berkecamuk akibat kejadian kemarin yang kualami.

***

"A Azmi, di panggil Pak Kiayi. disuruh menghadap sekarang," ucap Taufik temanku di pondok ini yang tiba-tiba menghampiriku.

"Iya,"  jawabku kepadanya tanpa menoleh sedikit pun, karena sekarang aku sedang mencoba untuk tidur.
Aku memang tergolong pelor dan sangat hobi tidur, bahkan waktu mengaji sekalipun bukannya menyimak dengan baik, aku malah asik membuat pulau-pulau dari sabang sampai merauke dengan tetesan air dari mulutku.

Sebelum aku menemui Pak Kiayi, aku merapikan penampilanku agar lebih rapi dan sopan dihadapan beliau. Tidak lucu bukan jika bertemu seorang yang begitu dihormati dengan wajah yang masih menyisakan jejak air liur di pipi.

***

Bissmillah
Sesampainya aku di kediaman beliau, bukannya mengetuk pintu, justru aku malah berdiri di depan pintu kediaman Pak Kiayi. Aku tak berani jika harus mengucap salam atau bahkan mengetuk pintu. Biarkan saja hingga Pak Kiayi atau Ibu Pon membukakan pintu.

Mungkin aneh yah jika melakukan hal yang seperti aku lakukan sekarang. Aku hanya merasa tak sopan saja jika sampai harus mengetuk pintu. Jika kalian bertanya sampai kapan? Aku akan berdiri tepat di samping pintu ini dengan menundukan kepalaku hingga ada yang membukakan pintu.
Walau sampai gajah menjadi cungkring sekalipun. Aku akan tetap berdiri.

Sudah satu setengah jam aku berdiri di depan pintu tanpa bergerak sedikit pun. Namun tak lama kemudian, akhirnya suara knop pintu di putar terdengar yang selanjutnya diikuti suara engsel pintu yang bergesekan.

"Astaghfirullah, A Azzmi," ucap seseorang  yang membuka pintu tadi, ternyata yang keluar adalah perempuan berjilbab. Ia nampak sangat terkejut ketika melihatku berdiri di depan pintu.

"Assalamu'alaikum, Teh. Mamanya ada?" tanyaku kepada sosok perempuan itu. 
Iya, begitulah kebiasaanku ketika memanggil Pak Kiayi dengan sebutan Mama yang berarti 'Rama' karena beliau sudahku anggap seperti ayahku sendiri.

"Wa'alaikumussalam, eh iya ada silahkan masuk," suruhnya ramah mempersilakan aku masuk.

Semakin dalam aku memasuki rumah, aku semakin membungkukan diri hingga aku berjalan sambil jongkok.

Alena & AzzamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang