'Kadang apa yang terjadi bukan sesuatu yang kita mau, tapi tetap harus dijalani, itu adalah salah satu tanda menjadi manusia.'
9 Bulan untuk Naura
~Thierogiara
***
Hari ini Misha masih masuk sekolah, meski tak ada yang tahu kondisinya saat ini, Misha memutuskan untuk tetap berada di sekitar Arga, rasanya dia lebih aman jika berada di sekitar laki-laki itu.
"Lo nggak sama Evan kan pulangnya?" tanya Alika yang kebetulan melihat Misha mengekor di belakang Arga.
"Gue sama Arga." Misha berusaha tersenyum namun tetap saja rasanya sulit.
"Sama kita aja sih," kata Bianca.
Bianca, Alika dan Rosa adalah sahabat baik Misha selama dirinya bersekolah di SMA, jika sedang jomblo maka Misha akan pulang bersama mereka, namun jika sedang memiliki pacar Misha atau yang lain pasti memisahkan diri, seperti Rosa yang saat ini juga pulang dengan pacarnya.
"Gue sama Arga aja," tolak Misha sembari tersenyum sungkan, dia sebenarnya ingin namun dia sendiri merasa tak pantas berada di antara teman-temannya itu yang rata-rata adalah orang baik.
"Udah lama banget loh nggak pulang bareng kita, ngemall dulu juga nggak mau?" tawar Alika.
"Gue sama Misha ada urusan, kapan-kapan aja kalian jalannya," ujar Arga menengahi.
"Lo ikut kita aja sekalian," kata Bianca mengajak Arga.
"Males banget." Arga langsung menuju motornya dan memakai helmnya, tentu saja dia tak mau ikut dengan Misha and the geng, dia pasti akan menjadi korban membawa belanjaan mereka semua.
"Yuk Sha," ajak Arga.
"Yaaah, kenapa sih Ga?" tanya Alika tak terima.
"Kapan-kapan aja, gue sama Misha bener-bener ada urusan sekarang," jawab Arga memasangkan helm ke kepala Misha.
"Dah ya bye." Arga langsung naik dan melaju meninggalkan Bianca dan Alika, keduanya adalah jomblo yang tak memiliki cadangan seperti Misha. Misha meski putus dengan pacarnya masih ada Arga yang akan selalu rela menemaninya ke manapun.
Misha memeluk tubuh Arga dari belakang, dia benar-benar butuh itu sekarang, dia butuh kenyamanan.
Arga mengelus tangan Misha berusaha mengatakan pada sahabatnya itu kalau semua akan baik-baik saja.
"Selanjutnya gimana Ga?" tanya Misha.
"Kita temui orang tua kamu," jawab Arga percaya diri.
"Aku takut," kata Misha mengeratkan pelukannya.
"Ada aku," kata Arga dengan penuh keyakinan, masalah harus mereka hadapi, mereka tak bisa terus menghindar, lupakan soal si sampah Evan, bagaimanapun Arga harus bertanggung jawab membantu Misha dulu.
Misha menempelkan kepalanya di punggung Arga, besar harapan dalam hatinya kalau semua ini akan baik-baik saja.
***
Arga memarkir motornya di halaman rumah Misha, keduanya turun dari atas motor, Misha meremas tangannya sendiri.
Arga mengambil tangan itu kemudian menggenggamnya. "Semuanya akan baik-baik aja," ujar Arga meyakinkan.
Misha hanya diam kemudian mengekori Arga masuk ke dalam rumah.
"Lo tunggu sini aja," pinta Misha, Arga mengangguk kemudian mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu.
Misha naik ke lantai dua rumahnya untuk memanggil kedua orang tuanya.
"Loh Arga? Kalau Cuma Arga doang ngapain sampe panggil Mama sama Papa?" tanya Sasmita—mama Misha—heran.
Arga bangkit dari duduknya. "Ada yang aku sama Misha mau sampein Tan," ujar Arga memberitahu, dia memang sudah biasa keluar masuk rumah Misha, namun yang kali ini bukan untuk sesuatu yang biasa.
Sasmita menatap aneh. "Jangan bilang mau minta izin nikah?" canda Sasmita.
Arga tertawa mendengar itu, namun setelah sadar kalau ini bukanlah saat yang tepat untuk tertawa dia kembali diam.
"Ada apa?" Gunawan—papa Misha—yang baru saja bergabung bertanya.
Arga menatap Misha meminta agar gadis itu saja yang duluan memberitahu, sisanya dia yang akan menyokong di belakang nanti.
Misha menarik napasnya dalam-dalam setelah itu menatap kedua orang tuanya dengan serius.
"Misha hamil." Misha berkata tanpa keraguan, dari semua hal dia memang salah, sekarang dia sudah sangat siap dengan kemarahan dan amukan.
Gunawan langsung mengepalkan tangannya, mendengar itu emosinya langsung naik ke ubun-ubun.
"Kamu yang menghamili?" tanya Gunawan pada Arga.
Arga berdeham. "Saya sahabat Misha Om, saya yang selalu jagain dia," kata Arga.
Gunawan berdiri kemudian menampar pipi Arga, sudut bibir cowok itu berdarah, namun Arga tak menyerah, dia mengelap sudut bibirnya. Misha membantu Arga untuk kembali duduk.
"Bukan Arga, ini anak orang lain," ungkap Misha akhirnya.
"Terus mana laki-laki itu?" tanya Gunawan.
Misha menelan ludahnya dengan susah payah.
"Justru itu saya menghadap Om hari ini, bantu Misha mendatangi keluarga laki-laki itu untuk meminta pertanggung jawaban karena dia bersikeras nggak mau kami yang menemui," jelas Arga.
"Yang melakukan kesalahan siapa? Kenapa saya yang harus turun tangan, selesaikan masalah kalian sendiri! Kalau tak bisa bawa laki-laki itu ke hadapan saya maka keluar dari rumah ini, saya tidak masalah kehilangan seorang anak!" Gunawan berkata dengan nada menyeramkan.
Arga menggigit bibir dalamnya.
"Tan?" bujuk Arga, ya paling tidak ada satu orang yang menyelamatkan mereka, masalah ini terlalu besar.
Sasti menatap Misha dengan mata merahnya.
"Mama benar-benar kecewa!" ujar Sasti.
"Ma... Misha nggak bisa selesaikan ini semua sendirian!!"
"Kalau gitu kenapa kamu melakukan apa yang nggak seharusnya kamu lakukan! Sadar kamu Misha!"
Misha menangis sesenggukan, Arga masih diam di tempatnya.
"Maa...." Bujuk Misha.
"Sama seperti papa, bawa laki-laki itu ke sini jika tidak maka angkat kaki dari rumah ini, Mama nggak siap menanggung malu karena kehamilan kamu!" Sasmita kemudian berjalan menyusul suaminya meninggalkan ruang tamu itu.
Misha terduduk menangis, dia tak bisa mengendalikan segala sesak yang ada di hatinya, orang tuanya sendiri, tempat di mana Misha berlindung selama ini, dia bahkan ditolak oleh sesuatu yang ia anggap rumah.
Arga mendekat kemudian memeluk tubuh sahabatnya itu, sekarang dia yang harus bertanggung jawab atas diri Misha, Arga berjanji selepas semua luka ini, dia akan membahagiakan Misha.
***
Jangan lupa vote & comment!!
KAMU SEDANG MEMBACA
9 Bulan Untuk Naura
Teen Fiction"Ga gue hamil." Bagaimana perasaanmu ketika sahabat yang selama ini kamu jaga mengungkapkan sebuah fakta seperti ini? Arga rasanya ingin marah, bahkan mengamuk sekarang juga. Namun di saat seperti ini dia harus tetap waras. "Anaknya Evan?" tanya Ar...