Katanya cinta itu perjuangan bukan? Tapi apakah masih bisa dinamakan cinta, jika meninggalkan pasangan demi suatu hal? Bodoh memang.
***
Namaku Dara Aninditha Pramesti. Aku biasa dipanggil Dara. Aku lahir di Jakarta. Nama ayahku Yoga Prastama dan bundaku Aninditha Pramesti. Aku merupakan anak pertama dari dua saudara. Adik laki-lakiku bernama Abimanyu Yoga Prastama.
Ayahku seorang TNI-AD berpangkat Letnan Jenderal, yang saat ini sedang bertugas di Kodam IV/Diponogoro. Yang bermarkas di Magelang, Jawa Tengah. Sehingga kami sekeluarga diboyong ke tempat yang jauh dari tempat lahirku itu. Bunda merupakan seorang ibu rumah tangga, yang kadang-kadang juga menjual brownies, dan kue lainnya, sebagai acara untuk mengisi waktu luang.
Sedangkan adik laki-lakiku saat ini masih berada di bangku sekolah menengah atas, kelas XII. Aku dan dia hanya memiliki selisih tiga tahun. Ya, kini aku semester lima. Di usiaku yang menginjak dua puluh tahun, aku memilih jurusan psikologi. Jurusan yang aku sukai sedari masuk sekolah menengah pertama, dan membuat perbedaan pendapat pula di awalku masuk kuliah. Ayah dan bunda menyarankanku untuk masuk di Fakultas Kedokteran, namun apa boleh buat? Aku tidak menyukai jurusan tersebut, juga kemampuanku bukan di kedokteran, melainkan psikologi yang menjurus pada ilmu sosial. Akhirnya dengan membujuk kedua orang tuaku, mereka menyetujuinya, asalkan aku dapat bertanggungjawab atas apa yang sudah aku tentukan.
Aku adalah pasien, yang berdalih menjadi psikolog. Begitu lah motoku.
***
"DARA ... DARA!!!" teriak Bunda dengan suara yang melengking sambil menggedor-gedor pintu kamar, memekakkan indra pendengaran. Dengan keadaan yang masih acak-acakan, aku melangkahkan kaki dengan malas menuju pintu, berniat untuk membukanya. Tampak Bunda yang sudah berkacak pinggang sembari menatapku terkejut.
"Ada apa, sih, Bun? Masih pagi juga," ucapku sambil menguap. Uhh, aku masih mengantuk!
"Astaghfirullah, kamu baru bangun tidur, Kak? Udah sholat subuh belum?" tanya Bunda yang mulai melangkah menuju ranjangku, membenarkan selimut yang berantakan.
Aku pun menggeleng. "Nggak, Bun," jawabku sekenanya.
Bunda mengangguk pelan dan kembali berkacak pinggang, menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. "Nggak mau mandi? Mandi sana, udah jam enam, Kakak ada kelas jam tujuh, kan?" ujar Bunda.
Aku melotot tajam. "Huaaa, Bunda! Dara belum mandi! Kenapa baru dibangunin?!" teriakku sambil berlari menuju kamar mandi, tak lupa membawa handuk yang telah Bunda siapkan.
Sepeninggalanku, Bunda menggeleng perlahan dan kembali membereskan tempat tidurku. Di usiaku yang sudah cukup dewasa, aku masih saja bergantung padanya. Padahal ayah sudah mendidikku dan juga Abi untuk bersikap disiplin. Namun bukannya bersikap demikian, aku malah semakin manja, berbeda dengan Abi yang memang sudah dari kecil bercita-cita sebagai tentara, melanjutkan peran ayah.
***
Aku berjalan menyusuri koridor yang menghubungkan dengan gedung fakultasku, sial, kenapa gedung fakultasku berada di belakang sendiri? Langkahku yang semula terkesan buru-buru, kini mulai memelankan langkah, sekarang malah terlihat seperti orang yang malas berjalan. Terbukti beberapa mahasiswa yang menatapku aneh. Ah, masa bodoh dengan mereka.
Aku yang notabenenya tidak menyukai keramaian hanya memainkan handphone sembari berjalan, hingga tidak sadar aku telah menabrak seseorang. Jidatku yang bertubrukan dengan dagu orang tersebut, rasanya sungguh ngilu. Saat aku mendongakkan kepala, pandangan kami saling bertubrukan, buru-buru aku mengalihkan pandang dan mundur beberapa langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALDARA (ON GOING)
Teen FictionDara itu hangat, sedangkan Alda itu dingin. Dara itu lemah lembut, sedangkan Alda itu keras kepala. Dara itu manja, sedangkan Alda benci sikap manja. Namun bagaimana jika akhirnya, sifat mereka menjadi bertolak belakang dengan kepribadian mereka sen...