Ada kalanya, sesuatu itu harus diungkapkan, meskipun hasilnya menyakitkan. Namun tidak apalah jika demikian. Yang terpenting kita sudah mengutarakan.
***
Dara keluar dari kelasnya sembari mengucir rambutnya yang bergelombang itu dengan asal. Lihat saja, masih ada beberapa anak rambut yang tidak ikut terikat. Namun memberikan aksen imut apabila dipandang. Tidak lupa diikuti Meisya di belakangnya.
Dua jam mata kuliah paginya diisi oleh presentasi dadakan, yang sungguh menguras otak maupun tenaga. Dalam waktu empat puluh lima menit, mereka harus membuat rangkuman materi yang akan di sampaikan di depan teman-temannya, termasuk dosen yang dikenal killer seantero kampus.
Mata kuliah pertama bahas filsafat, mata kuliah ke dua bahas statistika. Gimana mau bisa memperhitungkan statistika yang lebih rumit, memperhitungkan masa depan aja belum bisa, hadehhh.
Ia benar-benar butuh air dingin yang menyejukkan sekarang, harus! Langkah lebarnya terus menuntunnya menuju kantin, sedangkan Meisya hanya bisa menggelengkan kepalanya, mengikuti sang teman dari belakang. Dirinya juga ingin melepas dahaga, tanpa banyak bicara mereka berjalan beriringan dengan Meisya yang semakin melebarkan langkah, menyamakan dengan Dara.
"Lo kaya orang mau nyari dukun beranak buat lahiran! Gas polll!!!" ejek Meisya sambil menaik turunkan alisnya menggoda.
"Apaan sih. Nggak ya, gue haus nihh. Ya Robbi, mata kuliah yang begitu memberatkan, di hari senin pula," cerocos Dara dengan mengipasi wajahnya menggunakan tangan, padahal tidak ada rasanya sama sekali.
Meisya hanya terkekeh menanggapi penuturan temannya ini, ada benarnya juga, sih. Tapi ya sudahlah, jalani saja. Badai akan indah pada waktunya bukan?
Dara menghentikan langkahnya, melihat keramaian kantin membuatnya bergidik. Ia tidak suka berdesakan, terlebih harus berinteraksi dengan banyak orang yang tidak dikenalnya. Meisya yang melihat itu turut menghentikan langkahnya, pandangannya menoleh pada Dara, meminta pendapat.
"Rame nih, gimana, dong?" tanya Dara dengan bibir yang mengerucut, padahal sedari tadi ia menahan perutnya yang sudah tidak bisa lagi diajak kompromi.
Meisya mengangguk pelan. "Ya mau gimana lagi? Coba yuk masuk, cari dulu. Siapa tau masih ada yang kosong. Siap?" Dara menghembuskan nafasnya kasar, namun setelahnya ia mengangguk, menyetujui ajakan Meisya.
Sembari bergandeng tangan, mereka membelah kerumunan orang-orang yang berbondong-bondong untuk mengisi perutnya. Mereka terus melangkah sampai pojok kantin, dengan Meisya di depan tentunya. Hingga tatapan mereka tertuju pada dua bangku yang masih kosong.
Mereka tepat berhenti di depan bangku yang muat empat orang itu, dan duanya sudah diisi oleh orang lain. Meisya dan Dara saling pandang, masalahnya ini tempat duduk kakak kelasnya, jarang ada yang diperbolehkan untuk duduk di tempat itu. Dara mengangguk, mengucapkan kata 'coba' tanpa suara. Meisya pun ikut mengangguk.
"Em, permisi, Kak. Boleh gabung?" tanya Meisya pelan kepada dua orang laki-laki yang sama-sama menundukkan kepala, menatap layar handphonenya.
Keduanya mendongakkan kepala, mereka saling terkejut setelah tahu siapa lawan bicaranya. "Loh, Sayang? Sini duduk, bolehlah, apa sih yang nggak boleh buat pacar," ujar salah satu laki-laki tersebut, Bagaskara Juanda, biasa dipanggil Bagas, ia merupakan kekasih Meisya sejak masih SMA kelas XII.
"Loh?! Kamu, Yang. Pantesan bau parfumnya familiar banget." Meisya mendudukkan pantatnya di sebelah Bagas. "Ciee, hafal sama parfum calon suami, uhuy," goda Bagas. "Awh, sakit, Sayang, kok dicubit, sih?!" ringis Bagas yang mendapat cubitan maut dari kekasihnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALDARA (ON GOING)
Novela JuvenilDara itu hangat, sedangkan Alda itu dingin. Dara itu lemah lembut, sedangkan Alda itu keras kepala. Dara itu manja, sedangkan Alda benci sikap manja. Namun bagaimana jika akhirnya, sifat mereka menjadi bertolak belakang dengan kepribadian mereka sen...