"Mbak, keluarganya Abe sudah ada di bawah, turun yuk." Salah satu dari petugas WO masuk kamarku dan memanggilku untuk keluar.
Duh, deg-degan.
Aku segera berdiri, dan merapikan kebaya merah dan kain batikku yang agak kusut di bagian belakang.
Bismillah...
Dengan di dampingi Kak Rosi, aku keluar kamar menuju ruang keluarga yang sudah disulap menjadi tempat pertemuan dua keluarga. Di sisi sebelah kanan terdapat keluarga Abe yang berjumlah sekitar 10 orang. Ada dua adiknya Abe, Fatwa dan Fatma, abangnya Abe, Bang Badar dan istrinya. Juga beberapa tetua dari pihak keluarganya.
Aku dipapah menuju sisi sebelah kiri tempat keluagaku berada, lalu duduk diapit papa dan mama yang senada memakai batik berwarna merah.
Tepat di depanku, Abe yang pagi itu memakai batik hitam lengan panjang tampak mempesona sekali. Kemarin aku suruh dia untuk cukur sedikit jambangnya agar rapi, tapi dia menolak. Tapi hari ini, kulihat jambangnya sudah rapi, kumis tipisnya pun sudah bersih. Hm, mungkin dia juga sedikit memangkas rambutnya.
Semua rangkaian acara sudah berjalan dengan lancar, cincin bermata satu pilihan Abe pun sudah disematkan di jari manis tangan kiriku. Aku tersenyum saat ingat bagaimana Abe keliling dari satu toko perhiasan ke tempat lainnya sambil melakukan video call.
"Please, Min, toko terakhir nih. Cepet pilih satu aja yang kamu mau, kalau ngga, kamu harus ngikut pilihan aku."
Aku yang kala itu sibuk dengan urusan di kampus menyerahkan semuanya pada Abe.
"Yaudah, terserah Abe. Kamu pasti tau gimana selera aku, kan?"
Kulihat Abe menutup mukanya dengan sebelah tangannya. Mungkin kesal.
"Untung gue sayang, Min. Mbak, yang ini aja. Cepet ya..." lalu Abe mematikan sambungan videonya.
"Cieee, senyum-senyum sendiri." aku merasa ada yang duduk di sampingku. Ternyata Laras dan Bang Ilham datang sambil membawa semangkuk mie kocok.
"Abe mana, Jas?" tanya Laras.
"Diajak Papa ke kebun belakang." Jawabku.
"Langsung dikasih warisan aja nih si Abe?" Bang Ilham ikut menimpali.
"Tau deh, ada obrolan apa tuh sampai Abe dibawa ke belakang."
"Jangan-jangan Abe ketauan belangnya sama Bapak lo, Jas?"
Eh? Aku mengernyitkan kening. Ketauan apanya ya? Ketauan kalau Abe cewenya banyak? Ketauan kalau dia belum lulus kuliah? Atau...
"Hai, Sayang," pundakku ditepuk dari belakang, ternyata Abe. Udah berani manggil sayang nih si kunyuk.
"Cieee..." bagai koor, Laras dan Bang Ilham malah ngegodain.
"Berasa ABG gue di-cieee-in gini."
Lalu Abe duduk di sebelahku. Langsung kutanya hasil obrolannya dengan papa.
"Apa kata Papa, Be?"
"Cuma ngobrol biasa aja, ngenalin si Putri yang katanya pohon mangga kesayangan Jasmine."
Aku mencubit perutnya Abe.
"Serius, Min, gak ada apa-apa. Om Rahmadi cuma mau memastikan kalau anaknya bakalan aman ditanganku." Jawab Abe sambil mengelus jari manisku yang sudah terpasang cincin pilihannya.
"Lo sayang kan sama Jasmine, Be?" kali ini pertanyaan Laras mewakili isi hatiku.
"Sayang lah, kalau nggak gue ga bakalan mau temenan lama dari SMA." Jawab Abe.
"Gue juga tau itu, nyet." Laras malah kena lirikan tajam dari Bang Ilham. "Maksud gue ya sayang sebagai hubungan pria dan wanita."
Aku diam menunggu jawaban dari Abe. Dia sendiri mungkin bingung harus jawab apa. Karena ya, akupun sayang Abe. Sayang sesayangnya orang yang sudah berteman lama. Dan ketika ditanya saat ini bagaimana perasaanku terhadap Abe yang dua minggu lagi bakalan jadi suamiku, aku gak tau sayangnya sebagai apa.
Abe lalu menggenggam tangan kiriku sembari mengusap pelan.
"Dari dulu, sampai sekarang, gue hanya ingin memastikan bahwa Jasmine baik-baik aja, dia harus sehat, dia harus senang, dia harus bahagia. Entah gue sedang sibuk atau sakit, gue tau Jasmine selalu jadi prioritas gue. Dan gue yang harus selalu melindungi dia."
Mataku memanas.
"So, Ibu Laras, bisa tolong fotokan kami berdua? Sebelum eyeliner dan make up-nya Ibu di sebelah gue ini luntur." sambil tertawa Abe mengeluarkan handphone-nya dan meminta tolong Laras memotokan kami berdua.
Aku mengusap ujung mataku dengan tisu. Benar kata Abe, sebelum luntur karena air mataku yang ga bisa dibendung lagi.
Beberapa kali pose foto yang sudah diambil oleh Laras. Dan menurut Laras, ini adalah Abe yang sesungguhnya. Pancaran mata Abe yang sebenarnya bahwa he loves me. So much.
"Gue ngerasa dejavu. Ini pandangan mata Abe ketika pertama kali gue ngajak elo ketemu dia, se-adorable itu. Dan cuma ke elo doang dia begini, Jas. Selamat, nyet, lo emang pantas dicintai." bisik Laras ketika dia akan pamit pulang.
Aku tersenyum sambil membalas pelukan Laras.
Aku kembali menghampiri Abe yang sedang minum air mineral di pojok ruangan. Nampaknya sebentar lagi dia dan keluarganya pun akan pamit pulang.
"Thank you, Be." ucapku tepat di telinganya Abe. Dia segera menengok ke arahku.
"Jangan mancing deh, Min." sungutnya. Dia lalu mengeluarkan handphone dan nampak sibuk.
"Oh, jadi titik sensitifnya Abe ada di sini? Okay." aku tertawa.
Semenit berlalu Abe sibuk dengan handphone-nya. Mungkin ada klien penting yang menghubungi dia. Tak lama, dia menunjukan layar handphone-nya, postingan terbaru dari Abe. Fotoku dan dia yang diambil Laras tadi, berdua sambil memamerkan cincin lamaran dengan caption '#menujuhalal'.
"Kenapa di posting?" tanyaku. Karena kutahu Abe bukan tipe orang yang suka show off tentang kehidupan pribadinya. Isi Instagramnya dia pun hanya seputar event yang dia jalani.
"I know you, Jasmine."
Yes, Dia tahu aku.
Jasmine yang butuh pengakuan. Dan dia pun melakukannya tanpa paksaan bahkan tanpa kuminta.
+++
KAMU SEDANG MEMBACA
Love-Hate Relationship
Roman d'amourAbe dan Jasmine, bersahabat dari kecil. Abe yang gak banyak omong bisa sabar menghadapi kecerewetan Jasmine. Jasmine yang galau karena deadline menikah dari papanya, dan Abe yang kena batunya. Love-Hate Relationship, kisah benci-benci cinta dari Jas...