Aku kesal dan frustrasi. Mengapa harga rumah kontrakan di sekitar butik tempatku kerja tidak ada yang manusiawi untuk kumiliki? Aku bahkan sudah terjaga hingga dini hari demi menemukan rumah baru yang bisa kusewa dengan harga yang setidaknya sama dengan harga sewa rumahku saat ini. Pagiku terasa tak semenyenangkan biasanya. Mendapati kenyataan harus bersisian dengan pria itu, membuat semangatku jadi ambruk.
"Pagi, Ratih." Pria itu entah sejak kapan sudah berada di depan pagar rumahku. Memakai kaus kerah dengan celana jins yang membuatnya tampak kasual—dan sialnya semakin tampan.
Aku mencoba abai pada sapaannya dan tetap membuka grendel dan pagarku agar motorku bisa keluar rumah. Aku harus bekerja keras demi masa depan. Masa depan cerah dan menyenangkan yang tak ada pria itu juga masa lalu kelam kami di dalamnya.
"Mau apa kamu masuk ke dalam?" Aku berteriak tak suka saat ternyata pria itu ikut masuk ke dalam pagar rumahku. "Aku mau pergi! Pergi kamu!" Aku mengunci pintu rumahku, mengunci kaitan helmku dan menutup wajahku dengan kaca helm gelap agar pria itu gak perlu melihat wajahku pagi ini.
Ia tampak menghela napas panjang dan lirih. "Ratih kamu ke mana saja?" Suaranya lembut dan tertangkap telingaku penuh penyesalan. "Aku cari kamu dan kupikir kamu—" matanya memindai hunian sederhana yang kukontrak lima tahun ini. "—sudah berkeluarga."
Entahlah. Memindai wajahnya yang tengah menatapku, membuat satu sudut hatiku terasa nyeri. Ini tidak benar. Ia adalah sosok yang harus segera kuenyahkan dari pikiranku, hatiku, juga hidupku.
"Aku tinggal di rumah sebelah. Keberuntunganku yang akhirnya bisa bertemu lagi sama kamu."
Aku bergeming. Tak menjawab apapun yang katakan saat ini. Seharusnya, alih-alih menggangguku, kenapa ia tidak membantu istrinya saja di rumah. Samar aku menghela napas lirih dari balik helmku. Istri. Segitu mudahnya ia melanjutkan hidup, sedang aku sebegini berjuangnya hanya untuk terus melangkah maju menembus waktu. Aku menaiki motorku, membawanya keluar pagar dan kembali turun untuk menutup pagar rumah.
"Keluar," ucapku ketus dan dingin pada pria itu yang masih berdiri di balik pagar rumahku. Ia melangkah gontai keluar pagar dan menungguku mengunci pagar rumah. Aku membuka kaca helm, lalu menatapnya sesaat sebelum bicara, "Kalaupun aku sudah menikah lagi, itu bukan urusanmu. Yang perlu kamu lakukan hanya menjauh dariku dan pergi dari hidupku." Aku menurunkan kaca helmku lagi lalu melangkah menuju motorku dan meninggalkannya.
Tanpa ia tahu, bahwa mataku basah dan kaca helmku berembun. Terpaksa aku membuka kaca itu dan membiarkan angin bebas menyaksikan betapa rasa itu masih mendera hati dan hidupku.
*
"Mona apaan, sih!" Aku bergerak gusar dengan wajah jengah pada gadis ini. Sejak tadi, bukannya mengerjakan tugas dari Bu Rahma, ia malah terus memperhatikanku dengan wajahnya yang membuatku tak nyaman.
"Rumor soal rumah sebelah Mbak yang berhantu itu benar, ya, Mbak? Aku tadi gak sengaja dengar Mbak tanya-tanya ke orang produksi tentang rumah kontrakan dan—mata Mbak sembab kaya habis nangis atau gak tidur sampai subuh. Menurutku, kita adakan pengajian saja, Mbak. Barangkali penghuni nakalnya bisa terusir."
Aku mendengkus lirih dan cepat. "Andai pengajian bisa mengusir penghuni sebelah, aku rela adakan pengajian tujuh hari tujuh malam." Mataku menerawang pada logo butik yang bertuliskan Rahmantika Label, tempatku melanjutkan hidup setelah pergi dari rumah itu. "Aku nyaman berada di sini, tetapi aku bimbang apa harus pergi lagi."
"Mbak kenapa?" Mona meletakkan pena gambarnya dan beranjak dari meja kerja gadis itu. Kini, ia sudah berada di hadapanku, duduk di kursi yang biasa Bu Rahma tempati saat berdiskusi tentang rancangan busana yang kubuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Ex and Mistakes
RomanceAku benci mantan suamiku dan kesalahan besar yang ia lakukan. Terlalu banyak rasa sakit yang ia torehkan kepadaku. Enam tahun berlalu setelah perceraian kami, aku memiliki hidupku sendiri dan menikmati kenyamanan dalam kehampaan dan sunyi. Namun, k...