9.

25.2K 3.3K 98
                                    

"Vanessa! Dokternya kenapa belum datang juga?"

Samar aku mendengar suara Dimas. Ya, aku yakin itu suara Dimas meski kepalaku masih terasa berat untuk kuangkat.

"Kamu pikir dokter ke sini naik roket, Dimas? Tunggu saja! Kalau tidak sabar, kenapa bukan kamu yang menghampiri dokter di klinik? Jangan manja!"

Aku mengerjap pelan dan berusaha membuka mata. Kilatan kunang masih mengganggu keseimbangan pandanganku. Namun, aku bisa melihat bagaimana wajah Dimas tampak kalut dan cemas.

"Aku baik-baik saja." Aku berusaha bersuara meski sangat lirih dan serak. Sial, apa yang terjadi pada tubuhku, sih?

"Ratih!" Dimas mengangkat pelan tubuhku dan membawaku ke dalam pelukannya. Ini tidak nyaman. Aku jelas mendengar suara wanita sesaat lalu dan kini Dimas memelukku saat ada istrinya di tempat ini.

"Lepas," perintahku mencoba tegas. "Aku tak ingin kamu bercerai dengan istrimu karena aku."

"Kamu bicara apa, sih? Kamu pingsan dan jatuh dari motormu. Kalau tidak enak badan, tidak usah bekerja!" Suara Dimas tegas dan lantang. Wajahnya mengeras seakan memarahiku yang melakukan kesalahan besar.

Aku berdecih lirih dan menatapnya sinis. "Maaf, kamu bilang apa tadi? Aku tidak usah bekerja? Kamu siapa, seenaknya memarahiku dan memerintahku ini dan itu? Ini hidupku dan aku butuh kerja untuk tetap hidup. Urusi saja istrimu itu dan jangan pedulikan aku!"

Aku mendesis menahan rasa sakit. Seperti apa aku terjatuh tadi dan bagaimana kondisi motorku saat ini? Aku ingin pulang dan tidur saja. Enggan rasanya bicara dengan Dimas yang sok melarangku bekerja. Apa dia lupa, bagaimana ia keras melarangku untuk mengikutinya ke Surabaya dan memintaku tetap bekerja demi modal berumah tangga. Sekarang? Wow sekali caranya menggoyahkan hatiku dengan memintaku tak bekerja.

"Dokternya sudah datang." Wanita rambut panjang itu datang dan berdiri di ambang pintu kamar ini. Aku sudah bangun dan sekarang duduk di tepi ranjang. Mataku meliar memindai seisi ruangan.

"Ini kamarku," ucap Dimas seakan tahu apa yang ada di pikiranku saat ini. "Dan itu Vanessa, bukan istriku."

Mataku kini menatap sosok ramping, cantik, berambut panjang dengan kulit putih langsat yang menatapku dengan wajah datar dan raut tanpa minat. Tak lama, ia seorang dokter datang dan Dimas mempersilakan pria itu masuk kamar dan memeriksaku.

"Ibu menderita darah rendah dan gejala anemia. Saya rasa, asupan yang kurang memenuhi kebutuhan tubuh, juga kelelahan menjadi pemicu kenapa tiba-tiba pingsan dan pusing. Saya beri resep dan tolong ditebus sekarang juga, agar obatnya bisa dikonsumsi malam ini sesudah makan."

Dokter muda itu menulis di atas secarik kertas, lalu memberikannya kepada Dimas. Dokter itu pamit kembali ke klinik diantar Dimas entah sampai mana. Tak lama, pria itu kembali dan memintaku bersiap pergi.

"Aku mau pulang dan tidur. Dokter itu berlebihan. Aku hanya butuh aspirin dan istirahat." Aku mencoba bangkit dari ranjang, tetapi tubuhku terduduk kembali karena limbung.

"Aku yakin kamu belum makan, Ratih!" Suara Dimas rendah tetapi sarat dengan amarah. Pria itu membopongku keluar kamar dan membawaku masuk ke dalam mobil yang selalu ia gunakan.

Aku tak tahu kemana pria itu membawaku. Jujur, aku ingin menolak pulang saja. istirahat seorang diri menurutku lebih baik dari pada harus berinteraksi dengannya lagi. Namun, ucapan Dimas yang mengatakan perempuan bernama Vanessa itu bukan istrinya, membuatku terus bungkan dengan pikiran yang mencoba membuat asumsi, mengapa perempuan itu tinggal bersama Dimas berdua.

Rumah Dimas memang selalu ramai di malam hari. Meski tidak setiap hari, tetapi kuperhatikan ada hari-hari tertentu dimana beberapa orang datang dan mereka menghabiskan malam bersama. Aku tak tahu apa yang dimas kerjakan di rumah itu. Ia berkata kerja di rumah, tetapi mengapa suka membuat keramaian di malam hari bersama teman-temannya?

Jika bukan istri? Lalu, siapa Vanessa? Seingatku, tak ada keluarga Dimas yang bernama Vanessa, pun aku tak familiar dengan wajahnya. Meski usia pernikahanku singkat, hubunganku dengan Dimas berjalan cukup lama. Selama itu aku sudah sering bertemu keluarganya. Jadi, aku tahu siapa-siapa saja orang terdekat dimas.

Lamunanku terhenti saat aroma soto tercium. Aku tak sadar jika mobil Dimas berheti dan pria itu membungkus tiga porsi soto. "Kita makan bersama. Aku harus pastikan kamu makan dengan layak, Tih."

"Aku tidak butuh belas kasihanmu," jawabku lirih dan sinis.

Dimas terlihat menghela napas panjang sebelum menjawab dengan binar mata yang kutahu memendam amarah. "Aku hanya kasihan dengan orangtuamu jika anaknya ditemukan mati kelaparan." Suaranya datar dan dingin. Ia tak lagi bicara dan menggerakan kendaraan ini entah ke mana.

Tanganku terasa lemas seperti tak bertulang. Jika perempuan itu bukan istrinya, apa artinya Dimas belum menikah hingga saat ini? Mengapa? Bukankah ia menikmati ciuman panjangnya bersama perempuan sundal itu? Mengapa tidak menikah saja dan memuaskan hasratnya? Aku masih ingat seberapa semangat dan bergairah seorang Dimas Adjie saat di ranjang. Aku paham betul seberapa ia menikmati setiap gerak percintaan hingga terkadang kepalaku masih memutar bagaimana desah dan erangan Dimas saat kami bercinta.

Sial! Hatiku kembali terasa nyeri dan air mata ini mengalir lagi. Kami menikah saat jiwa muda kami membara. Kegiatan bercinta selalu menjadi saat yang kunantikan dan pelampiasan energi paling menyenangkan. Sayang, kondisi hubungan pernikahan kami membuatku tak bisa memberikan kebutuhan biologisnya hingga Dimas bermain wanita di belakangku.

"Aku sudah beli obatnya. Setelah ini kita makan dan kamu harus minum obat." Dimas tercenung sesaat, melihatku berlinang air mata dengan deras. Tak ada isak, hanya air mata yang mengalir deras tanpa bisa kucegah.

Rasa sakit ini semakin terasa saat tatapan mata kami bertemu. Entah berapa lama kami saling beradu manik mata, hingga tarikan Dimas terhadap tubuhku terasa. Ia merengkuhku dan memelukku erat. Ini tidak benar. Meski andai benar ia belum menikah, tetap saja ini tidak benar karena kami bukan lagi suami istri.

"Kamu jahat, Dimas. Kamu jahat." Isakku pecah. Kepalaku bersandar pada dadanya dan dapat kurasakan degup jantungnya yang memukul kencang.

"Kita pulang sekarang. Aku temani kamu makan dan minum obat. Selama sakit, kamu tidur di rumahku, ya."

Aku menggeleng. Tawarannya menggoda, tetapi berpotensi besar membuat hatiku semakin hancur nantinya. "Aku ingin pulang dan tidur sendiri."

"Di rumahku pun kamu tidur sendiri. Aku bisa pindah ke karpet ruang tengah, Tih."

"Tidak," tolakku seraya menggeleng lebih cepat dan tegas. "Aku mau pulang ke tempatku,"

Helaan napas Dimas terdengar. Aku merasakan pelukannya kembali mengerat dan ia mengecupku singkat di kepala. Hatiku berdesir hangat, tapi juga nyeri bersamaan.

******

Berasa dikit? Emberrr!!! Cerita ini tuh, babnya bakal panjang, tapi isi per ban sedikit. hanya seribuan kata lebih sedikit, tapi aku target bisa tiga kali update tiap hari wkwkkwkwk.

Happy Reading!


LopLop

Hapsari

Dear Ex and MistakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang