5.

29.5K 3.4K 120
                                    

"Ratih, kamu masih ada rasa sama aku, gak?"

Orang gila ini sudah lima hari menanyakan hal yang sama. Setiap malam ia mengetuk pagar rumahku dan menyodorkan kantung plastik berisi menu makan malam. Seperti saat ini, aku bisa melihat boks nasi padang dalam kantung plastik bening.

"Aku bukan fakir miskin yang harus kamu sedekahi makanan selarut malam ini." Mataku memicing sinis pada wajahnya yang tampak lelah.

"Aku keingetan kamu," ucapnya lembut dan pelan sekali.

Aku berkacak pinggang seraya memasang wajah ketus dan galak. "Aku gak perlu kamu ingat-ingat. Ingat ya, Dimas Adjie, kita sudah tak memiliki hubungan apa-apa lagi dan aku pun tak ingin berhubungan apapun denganmu."

"Tapi kalau aku mau, gimana?"

"Bullshit!" Aku membentaknya dengan mata yang sudah terasa panas. Ia tak boleh tahu apapun yang selalu kurasa ketika berhadapan dengannya. Demi Tuhan, Dimas masih merajai hatiku dan pria itu masih saja sama seperti dulu. Mendekati wanita saat sudah memiliki wanita lain sebagai istrinya. Aku pernah berada di posisi wanita rambut panjang itu dan tak ingin menjadi orang ketiga atau simpanan si brengsek ini.

Semalaman aku menangis sendiri hingga tak sempat selesaikan sketsa gaun dan tuksedo anak untuk kujual di laman Instagramku. Ingatanku terlempar pada masa silam saat menjadi kekasih dan juga istrinya. Aku dan Dimas menjalin hubungan sangat lama, sejak kami SMA. Aku menunggunya hingga ia lulus kuliah dan kami menikah. Aku tak kuliah seperti dirinya. Selama empat tahun saat Dimas menjadi mahasiswa, aku mengikuti kursus jahit dan bekerja di sebuah konveksi sebagai penjahit. Saat Dimas lulus kuliah, orangtuaku menanyakan kesiapan Dimas menikahiku yang saat itu dilamar salah seorang teman kantor bapakku. Aku memohon kepada Dimas agar kami menikah, sehingga aku tak perlu menerima lamaran pria lain.

Kami menikah, tetapi rumah tangga kami hanya berjalan delapan bulan. Aku tak menyangka jika berumah tangga bersama pria itu membuatku lebih banyak menuai rasa sakit daripada bahagia.

Kini, setelah enam tahun berpisah sebagai suami istri, kami bertemu lagi dengan kondisi yang jauh berbeda. Karirnya kuyakin melesat dengan baik dan mudah baginya mencari wanita baru, yang lebih cantik dan menarik dariku. Sedang aku, sendiri dalam kesunyian dan hampa hati. Hanya penyesalan mengapa tak menuruti perjodohan yang bapakku atur untukku dulu dan justru memilih menikah dengan kekasih yang ternyata mata keranjang.

Kupikir, menjadi kekasih selama enam tahun dapat membuat hati kami terpaut erat dan saling menambatkan hati dan nama di pikiran masing-masing. Nyatanya, di bulan keenam pernikahanku, aku mendapatinya berkencan dengan wanita lain dan mereka berciuman. Aku yang banting tulang demi membantunya mengarungi rumah tangga, justru mendapat penghargaan sebusuk itu. Dimas Adjie bajingan! Brengsek! Dan satu lagi kesalahanku yang masih kukutuk hingga saat ini, bahwa aku masih memiliki rasanya padanya. Jahanam.

Pagiku terasa berat dan tak menggairahkan. Padahal, hari ini jadwal Sita mengambil baju yang selesai kujahit untuknya. Pesanannya selesai kurang dari dua minggu. Bu Rahma menghubungi gadis itu kemarin dan memintanya datang pagi ini untuk fitting. Jika pas dan cocok, maka ia bisa membawa pulang setelah transaksi. Jika ada yang kurang, aku masih memiliki waktu untuk memperbaiki.

Aku memaksa tubuhku untuk bangkit dan bersiap pergi ke butik. Usai mandi, aku memasak mie instan dan melahap dengan cepat. Saat membuka pintu dan bersiap pergi, pergerakanku terhenti. Ada mobil Dimas tepat di depan rumahku, menutupi gerbang yang menjadi satu-satunya aksesku keluar masuk rumah.

Orang ini memang kurang ajar dan tak tahu adab serta adat. Dimana otaknya saat menghentikan mobil hingga seenaknya parkir di depan pintu orang. Aku menyingsingkan lengan jaket yang biasa kugunakan untuk berkendara, lantas berjalan lantang mendekati mobilnya. Aku bisa saja mengambil gunting jahit dan merusah mobilnya saat ini.

Saat tubuhku sudah keluar pagar dan berada tepat di samping benda itu, kaca mobil terbuka dan senyum Dimas menyapa. "Bareng, Tih?"

Aku berdecih dengan seringai sinis. "Lihat waktu dan kesempatan jika ingin menggoda perempuan. Lihat-lihat juga perempuan yang ingin kamu goda. Tak tahu malu. Pergi!" Aku mengusirnya dengan wajah marah. Emosiku seperti ingin meledak melihatnya berwajah tenang menawariku pergi dengannya, padahal ada wanita rambut panjang di kursi penumpang depan.

Wanita itu berkata pada Dimas untuk segera pergi karena mereka sudah terlalu lama menunggu. Aku tak peduli. Aku punya harga diri dan tak ingin bersama pria yang tak pernah menghargai kesetiaan dan komitmen.

Bahkan hingga tubuhku sampai di butik, napasku masih terembus tak beraturan dengan tubuh yang gemetar samar. Puji syukur karena Tuhan melindungiku selama perjalanan. Aku mengemudikan motorku dengan emosi dan pikiran penuh benci pada Dimas yang kini mengusik hidupku.

"Haus, Mbak?" Mona bertanya kepadaku dengan wajah yang memindai caraku meneguk air mineral dari showcase butik. "Air galon di rumah Mbak habis? Kayaknya butuh mineral banget, ya?" Aku memaklumi jika gadis itu terheran melihatku yang meneguk seakan baru keluar dari padang pasir yang panas dan menyiksa.

"Aku harus segera menemukan rumah baru," tukasku seraya menutup botol yang sudah habis dan membuang di tempat sampah. "Aku beneran bisa gila kalau setiap hari interaksi sama dia."

"Kenapa harus interaksi? Bukannya Mbak lebih banyak di dalam rumah alih-alih sosialisasi sama orang, ya?"

"Dia terus datang ke rumah dan memancing interaksi kami. Aku terganggu dan gak nyaman."

Mona mengangguk pelan. Kuharap ia paham dengan apa yang kurasa terhadap kehadiran Dimas yang tiba-tiba. "Susah sih kalau masih ada rasa memang. Apalagi, Mbak bilang dia udah punya istri baru."

Aku mendengkus lalu duduk di kursi kerjaku. "Aku pernah hidup dengan pria mata keranjang yang sukanya godain perempuan. Aku butuh membuat jarak sejauh mungkin agar gak harus bertemu dan berurusan sama dia lagi. Ini bukan hanya tentang perasaan, Mon. Aku yakin bisa membunuh rasa itu seiring waktu. Sekarang mungkin belum sepenuhnya hilang, tapi esok bisa saja sudah berubah menjadi netral, bukan?" Iya, bisa jadi dan tak ada kemungkinan yang tak mungkin. Perasaanku memang masih nyata ada dan besar. "Masalahnya ini tentang harga diri dan norma hidup. Aku gak mungkin balikan lagi sama dia, serindu apapun aku. Apalagi, dia udah ada istri dan aku gak sudi menjadi wanita perusah rumah tangga."

"Mbak terlambat, ya?"

Mataku menatap Mona yang kusadari tengah memandangku dengan wajah ... entahlah, aku tak bisa membawa isi kepalanya. "Terlambat? Hidupku dengan Dimas sudah selesai dan hancur berantakan enam tahun lalu, Mon. Sakit banget rasanya lihat suami ciuman sama perempuan lain. Aku gak akan kembali bersama pria seperti dia dan gak akan sudi menempatkanku pada wanita yang berciuman dengannya saat kami menikah dulu."

"Yang jadi istrinya itu, yang berciuman sebelum Mbak cerai?"

Keningku mengernyit sebelum menggeleng pelan. "Sepertinya beda. Wanita yang setiap malam ada di rumah Dimas, postur tubuhnya beda dengan yang menciumnya saat kami menikah dulu."

"Kalau begitu ... dia tipe pria yang mudah berpaling, ya?"

"Kemungkinan besar, ya, dan aku bodoh mempertahankan hubungan kami. Seharusnya, dulu aku terima saja lamaran teman kantor bapakku meski usia kami terpaut jauh. Pria dewasa biasanya lebih mampu menghargai komitmen dan bersikap tegas pada pernikahan."

Mulut Mona sedikti mengerucut dengan wajah yang tampak menimbang ucapanku. "Apa Mbak gak mau coba menjalin hubungan baru? Dengan pria yang kata Mbak dewasa itu? Menurutku, memiliki pendamping bisa jadi cara supaya mantan suami Mbak gak usik Mbak lagi."

Aku menatap Mona dengan konstan. Pikiranku memutar ulang ucapan Mona sesaat lalu. Menjalin hubungan baru? Dengan siapa? Aku bahkan tak pernah keluar rumah untuk bertetangga.

******

Dear Ex and MistakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang