“Happy anniversary ke enam bulan, pangeran aku!”
Aku melirik pada sosok gadis berpakaian putih abu-abu yang berteriak riang dari meja kasir resto cepat saji ini menuju salah satu meja. Langkahnya ringan sekali meski membawa banyak burger dan soda dalam baki yang gadis itu pegang. Wajahnya ceria dengan senyum tak tak juga hilang dari wajahnya.
Aku menyeringai dengan decih remeh dalam hati. Anak jaman sekarang. Enam bulan dan perayaan masa kebersamaan, terlalu lebay. Aku memusatkan lagi perhatianku pada sketsa-sketsa gaun anak-anak yang tengah kukerjakan. Meski ini bukan pekerjaan utama yang memberiku gaj bulanan untuk hidup di kota ini, tetap saja aku harus menyelesaikan beberapa sketsa agar bisa segera kueksekusi menjadi gaun indah dan kujual.
Untuk beberapa hal termasuk menggambar, kadang aku memang butuh tempat seperti restauran cepat saji ini hanya untuk mencari suasana baru. Di hari kerja seperti saat ini, restauran cepat saji tak seramai saat akhir minggu. Apalagi, saat ini jam tiga sore dan para pekerja kantoran pasti tak ada yang berniat mampir untuk makan siang.
“Aku gak sangka banget, Sayang, kita sudah bersama selama ini. Aku makin sayang sama kamu.”
Demi Tuhan, runguku sedikit muak dengan kalimat yang gadis itu ucapkan. Suaranya lantang dengan nada ceria. Jika sudah begini, fokusku jadi sedikit goyah dan bola mataku mau tak mau melirik lagi pada sepasang bocah ingusan yang kuyakin, laki-lakinya saja paling baru mengalami mimpi basah satu dua kali.
Gadis itu menyodorkan gelas minuman pada pacarnya, lalu melanjutkan minum satu sedotan berdua. Iyuh, menjijikkan. Kalau uang jajannya kurang, lebih baik makan bakso kaki lima saja alih-alih resto tetapi segalanya dibagi dua. Jika belum bermodal, lebih baik banyak belajar saja.
Aku menggeleng sekilas seraya mengangkat bahu tak acuh dan samar. Buat apa aku jadi pusing memerhatikan bocah ingusan? Aku masih harus kembali ke butik dan menyelesaikan bebera desain gaun formal yang Bu Rahma tugaskan padaku. Tiga bulan lagi butik tempatku bekerja akan mengikuti acara tahunan dan Bu Rahma sedang ingin mengeluarkan koleksi baju formal yang bisa dipakai untuk pesta atau bekerja. Pangsa pasar busana formal sedang bagus saat ini. Kate Middleton membuat beberapa wanita menyukai gaun formal karena dirasa berkelas tanpa harus tampil berlebihan.
Ponselku berdenting. Aku melirik sekilas pada layar dan kudapati pesan dari Mona.
Ratih, Bu Rahma minta tolong jam tujuh ketemu tamu beliau ya. Ada yang mau pesan gaun katanya. Bu Rahma gak bisa hadir karena ada urusan mendadak.
Aku menaikkan satu alisku dan mengangguk. Aku tahu, Mona tak mungkin bisa melihat responsku. Aku tak perlu menjawab pesannya, karena setelah ini aku pasti kembali ke butik dan menghabiskan malam di sana, seperti biasa.
Yah, apa lagi yang bisa kuperbuat untuk mengisi kekosongan hari? Hanya butik tempatku menghabiskan waktu dan menggali banyak penghasilan. Hidupku tak pernah mudah. Sungguh, urusan lembur setiap hari dan terus menggambar hanyalah satu dari sekian hal kecil yang kunikmati. Masih banyak berat dan menyedihkan yang terasa memberatkan pundakku setiap kali melangkah. Beban tak kasat mata ini, bahkan mampu membuatku sulit bernapas.
“I love you, sayang!”
Ya, nikmatilah masa indah ini, anak kecil. Hamburkan saja kata cinta itu sesuka hatimu hingga mulut dan telingamu lelah sendiri. Aku hanya berharap, kelak kamu tak akan menyesali dan menangisi apa yang terjadi sore ini bersama pria yang hanya fokus menghabiskan sisa burger yang tak mampu perutmu tampung.
Mengambil kembali drawing pen, aku melanjutkan sketsa gaun anak beserta tuksedo yang bisa dipasangkan. Menjahit membuatku memiliki kepuasan batin tersendiri. Aku seperti mampu mengubah imaginasiku menjadi nyata. Hidupku tak semudah dan seindah harapan juga bayanganku. Jadi, ketika aku berimajinasi dan menuangkan semua itu di atas kertas, lalu bekerja keras hingga aku bisa menyentuh bentuk nyatanya dalam genggaman, aku merasa bahwa masih ada dalah hidup ini yang bisa kita perjuangkan. Meski hanya beberapa potong baju dari hasil ide dan kreatifku.
Berbeda dengan hidupku sendiri yang tak lagi bisa kuperjuangkan apalagi dijadikan indah seperti gaun toska berenda yang kurancang untuk anak usia tujuh tahun ini. Soal hidup, baiknya semua kulupakan saja dan kembali melangkah meski terkadang bayang beban itu terasa sulit kulepas pergi.
Gerak tanganku berhenti saat kusadari jika gelas sodaku tak lagi berisi. Kosong, bahkan tak ada lagi sisa es batu karena sudah mencair dan kusedot hingga habis. Sepasang anak ingusan itu pun sudah tak ada lagi. Mungkin orangtuanya menghubungi dan meneriaki mereka untuk lekas berada di rumah. Kasihan, anak ingusan itu belum tahu pentingnya aturan dan norma ketat. Orang tua bersikap keras bukan berarti mereka jahat. Orangtua mereka, kuyakin tahu yang terbaik dan merayakan hari jadi ke berapa hari tadi? Enam jam? Ah, berapapun pendeknya masa itu, bukanlah hal yang akan mereka banggakan atau syukuri kelak.
Percaya padaku!
Aku membereskan buku sketsa dan beberapa kertas juga pena gambar ke dalam tasku. Sudah waktunya kembali ke butik karena Mona harus pergi sebelum jam lima sore. Teman kerjaku itu sedang menjalani kuliah kelas karyawan yang membuatnya harus ada di kelas setiap malam. Berbeda dengan aku yang tak memiliki keinginan untuk mengenyam bangku kuliah. Memiliki kemampuan menjahit dan menggambar desain baju sudah cukup bagiku. Bu Rahma mengarahkanku hingga kemampuan yang enam tahun lalu hanya sekadar menggambar pola, jadi bisa merancang dengan baik dan benar. Ini saja sudah cukup. Aku tak mau merepotkan banyak orang dan mengambil banyak hal dari hidup mereka.
Aku melajukan motor matikku kembali menuju butik. Saat sampai sana, Bu Rahma tengah bersiap di ruangannya. Beliau memintaku untuk bertemu dengan pelanggan baru yang ingin membuat baju.
“Cukup gambarkan aja sketsa kasar model yang dia mau. Berikan katalog contoh bahan dan keterangan kelebihan juga kekurangan bahan itu serta cara perawatannya. Nanti, setelah dia memutuskan, baru saya lanjutkan rancangan itu dan membuatkan untuk dia.” Bu Rahma memberiku banyak pesan hingga langkah wanita itu sudah berada di samping sedan mewahnya. “Bisa, ya, Tih?”
Tentu. Aku mengangguk tegas dan antusias. “Saya rencana di sini sampai jam sepuluh malam, Bu. Mau potong pola untuk furing baju yang harus saya jahit besok.”
Bu Rahma tersenyum manis dan simpul kepadaku. Wajahnya menyiratkan aliran semangat yang tinggi, meski matanya menatapku dengan binar sendu. Aku tahu arti tatapan itu kepadaku. Selalu begitu, sejak enam tahun lalu, saat pertama kali aku diberi belas kasihan berupa kesempatan untuk menjahit dan berkembang di sini hingga saat ini.
“Jangan terlalu lelah, Ratih. Kamu juga harus memikirkan kebutuhan dan hidupmu.” Wanita itu berkata lirih sebelum masuk ke dalam mobil bersama supir yang mengantarnya ke mana pun ia pergi.
Dari area parkir ini, aku hanya tersenyum getir memindai kepergian sedan itu hingga menghilang di persimpangan. Bu Rahma bilang apa tadi? Kebutuhan? Hidupku? Aku tak lagi butuh apapun di hidupku yang sudah runyam enam tahun lalu. Bagiku, menjalani hari sendiri dalam sepi seperti ini jauh lebih baik dan menentramkan, daripada harus berteriak marah dan menangis hingga tertekan batin sendiri. Menghabiskan energi dan waktu untuk meranjang baju dan menjahit bagus untuk batinku yang terguncang sejak enam tahun lalu. Jadi, aku tak butuh apapun lagi, selain tugas merancang busana dan pesanan gaun pesta anak yang kukerjakan di kontrakanku sendiri.
*******
Ramein votesnya yaaakkk!Muuaacchhh
LopLop
Hapsari
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Ex and Mistakes
RomanceAku benci mantan suamiku dan kesalahan besar yang ia lakukan. Terlalu banyak rasa sakit yang ia torehkan kepadaku. Enam tahun berlalu setelah perceraian kami, aku memiliki hidupku sendiri dan menikmati kenyamanan dalam kehampaan dan sunyi. Namun, k...