4.

29.4K 3.9K 148
                                    

Ini apa lagi?

Aku menghentikan laju sepeda motorku di depan pagar rumah. Pria itu berdiri di sana entah sejak kapan. Seharusnya, selarut malam ini ia tidur saja dengan istrinya dan menghangatkan ranjang mereka. Tak usah sok peduli kepadaku dengan berdiri seperti hantu di depan pagar rumah dan tersenyum memuakkan.

"Sudah makan malam, Tih?" Dia menyodorkan satu kantung plastik berlogo restauran cepat saji kesukaanku. "Aku tadi lewat restauran ini dan ingat kamu."

Aku membuka grendel pagar rumahku dan kembali menaiki motor, tanpa menerima sodoran plastik berisi burger dan soda itu. "Aku sudah makan. Terima kasih. Bawa pulang lagi saja makanan itu." Tanpa permisi, aku melajukan motorku ke dalam rumah dan buru-buru mengunci pagar lagi sebelum pria itu lancang memasuki area teritoriku.

"Sudah berapa lama tinggal di sini, Tih?" Pertanyaan itu membuat niatku untuk langsung masuk rumah terhenti. Aku mengangkat wajah dan membalas tatapannya yang masih mengangsurkan plastik burger itu dengan wajah bodoh. "Kenapa gak pernah pulang ke rumah Ibu dan Bapak?"

"Mereka bukan ibu dan bapakmu," jawabku dingin, menandingi dinginnnya angin malam ini. "Pulang atau tidak dan apapun yang terjadi dengan hidupku, bukan urusanmu lagi."

"Kamu belum makan. Aku tahu itu."

"Aku lapar atau kenyang pun, bukan urusanmu."

"Kamu masih sama, Tih. Kupikir enam tahun memberikan kamu pelajaran dari kesalahan kita dulu."

"Kesalahanku hanya satu. Percaya kepadamu dan menikah denganmu."

Aku berbalik dan berjalan cepat membawa motorku masuk ke dalam rumah. Harga diri dan hati yang harus kulindungi ini, membuatku mencba abai pada panggilannya yang terdengar keras. Malam ini tak ada ingar bingar. Baguslah. Aku ingin memasak mie instan dan lanjut merancang busana anak yang akan aku jahit besok. Selama dua hari kedepan aku memiliki libur dan berencana untuk tetap berada di dalam rumah dengan stok sarden, kornet, mie instan dan beberapa roti yang kubeli tadi. Aku tak ingin keluar rumah dan bertemu dengannya. Menjahit baju dan mengirim kepada pemesan daringku lebih utama dari pada bicara dengan si muka dua.

*

Pagiku terasa lelah. Aku membuka mata saat matahari sudah bersinar dengan terik. Entah sampai jam berapa aku menjahit dan memasang payet pada gaun pink pesanan dari Solo itu. Yang jelas, saat ini tubuhku terasa lelah. Aku beranjak dari ranjang dan berjalan gontai menuju kamar mandi. Rencanaku, setelah ini aku ingin sarapan roti dan segelas susu, lalu kembali bermain bersama mesin jahit dan menekuri gaun-gaun mungil itu.

Mataku memindai lantai rumah yang penuh serakan perca. Aku pun harus membereskan perca-perca itu dan menyulapnya menjadi keset atau tatakan panci. Untuk limbah kain, biasanya aku memberi gratis pada pembeli gaun anak-anak. Bagi mereka ini bonus, tetapi bagiku, cara ini membantuku mengurangi jumlah sampah yang bisa saja membebaniku.

Suara radio dari ponsel terdengar dan mengisi kesunyian yang selalu menyelimuti rumahku. Kakiku mulai bergerak bersama tangan dan pikiran dan konsentrasi penuh pada hasil jahitan. Senyumku mengembang sempurna saat satu per satu gaun lucu berhasil kuselesaikan. Sempurna. Aku menggantung satu hasil jahitanku dan berencana membungkusnya esok hari.

Tiga gaun harus bisa kuselesaikan hari ini. Aku menggunting pola, mengukur, dan menjahit tanpa henti hingga tak terasa perutku berbunyi dan sore sudah datang. Seharian ini, aku hanya memasukkan roti dan susu ke dalam perutku pagi tadi. Setelah itu, aku tak mengunyah apapun dan tenggelam bersama jahitan yang kukerjakan.

Aku beranjak ke dapur dan memasak nasi di ricecooker mini milikku. Mengambil sarden dan mulai memotong bumbu untuk segera kutumis dan makan. Beginilah hariku. Menembus setiap detik seorang diri dengan kondisi sesederhana ini. Tak apa, aku sudah biasa. Keluargaku bukan orang kaya dan itu membuatku tak merasa merana dengan hidupku yang begini-begini saja. Kecuali, jika mengingat bagaimana aku berjuang membuatnya bahagia tetapi terus disalahkan atas hal-hal kecil yang dimatanya membuatnya gagal, hatiku tak terima.

Air mata ini menetes pasti karena bawang merah yang kurajang. Tak mungkin, kan, sakit hati itu masih tersimpan hingga membuatku lemah seperti ini. Hallo, Ratih, kamu sudah bebas darinya enam tahun lalu dan kini hidupmu sudah tak memiliki beban lagi. Seharusnya begitu. Tak ada tuntutan atau kesalahan yang akan menjadi pemicu pertengkaran dan membuatmu merasa terhina.

Tolong hentikan tangis ini. Hentikan duka yang mebuatmu merasa memiliki hidup yang runyam. Sekalipun benar serunyam itu, kamu harus yakin bahwa kamu bisa menghadapi fase baru hidupmu. Termasuk, berdamai dan menerima kenyataan jika tembok sebelah diisi oleh mantan suamimu dan istrinya.

Aku menghabiskan makan siang, sore, dan malamku dengan cepat. Satu kali makan sudah cukup karena setelah ini aku harus lanjut mengolah perca-perca itu menjadi kain lap untuk tangan atau tatakan panci. Setelah itu, aku akan lanjut menggambar pola untuk kujahit esok hari.

Leherku terasa pegal. Aku memiringkan kepala ke kanan dan kiri demi melemaskan otot-otot yang terasa tegang. Hari sudah petang. Aku bahkan lupa menyalakan lampu depan saking sibuknya membuat tatakan panci yang akan kukirim bersama gaun-gaun mungil itu. Aku menekan saklar dan seketika halaman depan rumahku terang.

Tak berselang lama, aku mendengar deru mobil dan suara pagar rumahku. Aku yang tengah menggunting pola, terpaksa berhenti demi melihat siapa yang menggangguku petang begini. Wajahku masam saat membuka pintu dan mendapati pria itu tersenyum dengan tangan yang mengangkat kantung.

"Aku beli donat untuk kamu." Ia berteriak kepadaku dengan terus menggerak-gerakkan kantung donat digenggamannya.

Aku melangkah malas mendekati pria itu. Bukan, bukan untuk menerima pemberiannya, tetapi untuk menolak dan menyuruhnya pulang. Saat aku sudah berdiri tepat di depannya, senyum pria itu semakin tampak merekah dan jantungnya perlahan tapi pasti berdegup semakin kencang. Rasa sialan dan rasa tak tahu diri!

"Mau ikutan makan di rumahku?"

Tawarannya menarik, tetapi sampai mati aku tak sudi menerima itu. Aku melirik ke belakang tubuh pria itu dan mendapati wanita rambut panjang yang tampak memperhatikan interaksiku dengan suaminya. Aku membalas tatapannya yang berbinar ceria. "Kamu tidak berubah dari dulu. Kupikir, enam tahun memberimu pelajaran dari kesalahanmu."

"Kamu ngomong apa sih, Tih? Aku mau kasih kamu donat dan ajak kamu makan bersama di rumahku. Aku beli ayam goreng tiga ekor dan tak mungkin kuhabiskan sendiri, bukan?"

"Suruh saja istrimu yang menghabiskan itu semua. Jangan mendekati perempuan lain jika kamu sudah memiliki komitmen dengan satu wanita. Kamu tidak tahu rasanya ketika—" tanpa sadar napasku sudah naik turun dengan intinasi nada yang tinggi. Sejak kapan aku marah di depannya? "Pergi," pintaku lirih seraya bergerak ingin berbalik. "Aku tak akan menerima apapun darimu."

"Kamu salah paham, Ratih." Suaranya lirih dan rendah. "Sejak dulu, hingga saat ini masih saja selalu berpikiran buruk tentang aku."

"Karena di mataku kamu memang seburuk itu." Aku berbalik dan meninggalkannya. Tak peduli bagaimana wajahnya padaku saat ini. Mungkin menegang karena marah? Aku tak peduli, karena sekarang ia tak bisa lagi menumpahkan emosinya sembarangan kepadaku.

******

Cuss ramein dongs, biar aku semangat ngebutnya wkwkkwkwk...

LopLop

Hapsari

Dear Ex and MistakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang