"Ternyata, semua perlakuan itu hanya sebuah jebakan. Jebakan, yang sengaja kau buat untuk membuat diriku jatuh ke lembah paling buruk lagi."
~Tasya K.A
***
'Tahan air mata, tahan! Jangan terlalu lemah! Please, untuk sekali ini saja, jangan biarkan aku menangis di hadapan ayah ku sendiri,' gumamnya meringis pedih. Sembari memejamkan matanya, berusaha mengontrol emosi agar tidak semakin menjadi.'
"Jangan masuk dulu Kamu! Awas kalau masuk!" Tegas Arif, sontak membuat Tasya memberhentikan langkah kakinya.
"Bu, ibuu! Kesini bentar, deh!" teriak Arif santai, memanggil pelan sang istri. Pandangan matanya belum teralihkan, masih menatap Tasya dengan penuh kebencian.
"Kenapa, Yah?" sahut Bulan spontan, ketika sudah berada di ruang tamu.
"Itu lihat! Siapa yang pulang," ujar pria paruh baya itu tersenyum miring, lalu mengarahkan jari telunjuknya ke arah Tasya berdiri.
Arif, yang berharap sang istri akan memaki anak kandungnya dengan sepuas hati, tanpa ampun. Namun ternyata, hal itu terjadi hanya sebatas ekspektasi.
Bulan tersenyum manis kepada anak itu. Sorot mata yang tenang ia tujukan kepada sang anak. Lalu menghampiri gadisnya dengan langkah pelan, dan raut wajah bahagia.
"Udah pulang? Nak?" tanya Bulan, sontak membuat hati Tasya tiba-tiba merasa terenyuh.
Bukan merasa bahagia, tapi gadis itu malah merasa aneh. Ketika melihat seorang ibu yang amat membenci dirinya, tiba-tiba mendadak menjadi ramah. Mengapa wanita ini bersikap tidak seperti biasanya? Apakah ia sudah mulai berubah?
"I-iya, Bu," jawab gadis itu sedikit terbata.
"Kamu kenapa? Kok pucat banget?" tanyanya heran, ketika mendapati wajah sang anak, seperti sedang tidak sehat.
"Engg-"
"Tasya, Kamu kemana aja? Kenapa Kamu perginya lama banget! Ibu khawatir, Nak." Tutur wanita itu cemas. Kini membuat diri gadis itu semakin bertambah bingung.
"SAYANG!" teriak seseorang berwajah sinis. Menatap tajam sang istri. Namun yang ditatap, malah membalasnya dengan tetap tersenyum tenang.
Apakah ini bercanda? Apakah ini hanya tipuan belaka?
"Tasyaaa," tanpa aba-aba, wanita paruh baya itu langsung menghambur dan mendekap erat tubuh anak gadisnya.
"I-ibu,"
"Peluk Ibu, Sayang," ucapnya dengan lembut. Sembari membelai kepala yang berbalut hijab itu, penuh kasih.
Sementara Tasya, ia benar-benar tidak percaya! Akan apa yang baru saja menimpa dirinya. Seperti bermimpi. Namun faktanya, ini adalah nyata!
Dengan sedikit ragu-ragu, tangannya mulai meraih untuk mendekap tubuh sang ibu.
"Bu, ini beneran Ibu, 'kan?" tanya Tasya hati-hati. Ketika mulai memberanikan diri memeluk ibundanya sendiri.
Tak ada satu pun balasan, namun wanita itu masih terus menghelus pelan kepala anaknya. Seakan benar-benar khidmat merasakan kebersamaan bersama anak tersayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suratan Takdir Seorang Insani (Hiatus)
Teen FictionBlurb: "Suratan Takdir Seorang Insani" Jika dirimu hanya dianggap benalu. Jika bicara mu hanya dianggap patung. Jika kau ada namun tak pernah dianggap. Jika kisah hidupmu hanya bercerita tentang luka. Bagaimana rasanya? Apakah hatimu takkan sakit? ...