Berbeda

10 3 1
                                    

Keheningan menyelimuti kedua orang yang tengah berdiri di pinggir rooftop gedung tinggi itu. Keduanya seperti mencari momen yang pas untuk berbicara. Menunggu kesiapan diri sebelum mengeluarkan kata-kata.

Nia menarik napas sambil matanya memandang langit malam yang melonggarkan sesak di dadanya. "Kenapa kamu ngejauh? Apa aku ada salah?" Demikian pertanyaan yang sedari tadi dipendam, akhirnya terlontar. Jantung gadis itu berdetak lebih kencang.

"Emangnya aku ngejauh, ya?" Andri bertanya, seolah tidak merasakan jarak antara dirinya dan Nia. Pemuda itu apa adanya jika berbicara, tapi tanpa ia sadari, beberapa kali hal itu membuat seseorang merasakan sakit.

Nia diam sejenak. Matanya terasa panas hanya karena pertanyaan kecil dari Andri. Dia berusaha untuk mempertahankan agar air matanya tidak turun.

"Aku rasa iya." Singkat. Nia tidak bisa berbicara lebih banyak. Tenggorokannya seperti tercekat oleh sesuatu yang ... entahlah.

Hening kembali hadir. Tidak ada yang berbicara. Keduanya terlarut dalam pikiran masing-masing. Nia mengarahkan pandangan kepada Andri, memberanikan diri untuk melihat wajah pemuda yang masih dicintainya itu.

"Aku cuma nggak mau kamu terjebak." Diam. Nia tidak menjawab apa-apa. "Aku tau perasaan kamu masih sama, Nya. Kamu juga tau kalau aku udah punya orang yang gantiin posisi kamu sebelumnya."

Kini pertahanan Nia runtuh. Air matanya jatuh, deras. Dia tahu keadaan ini. Sejak awal pun dia sudah tahu jika saat ini akan terjadi.

"Kenapa," ucap Nia terjeda oleh isakan, "Kenapa aku pernah milih buat sayang sama kamu, padahal tau akhirnya bakal begini?" Gadis itu meletakkan kedua telapak tangannya di wajah, menutupi air matanya, dan menunduk.

Andri melihat kepada Nia. Dia tidak pernah mengira perempuan ceria ini bisa serapuh yang terlihat di sampingnya kini.

"Lalu, apa alasan kamu ngejauh? Aku udah siap dari awal kalau kita emang cuma bisa berteman. Aku nyaman, iya. Bukan berarti harus ada di posisi lebih dari itu," lirih Nia, mengeluarkan perasaan yang masih mengganjal di benaknya.

"Karena aku nggak bisa bagi satu hati buat dua orang sekaligus."

Cukup. Jawaban itu sudah mewakili semua pertanyaan. Nia tahu, pria di sampingnya bukanlah orang yang suka bermain-main dengan perasaan.

Kini, yang harus dia ingat, dia bukan siapa-siapa. Hanya bagian dari masa lalu seseorang yang juga menjadi bagian dari masa lalu Nia.

"Sama bukan berarti selalu bersatu. Seperti aku dan kamu, misalnya. Kita adalah dua sama yang berbeda, tapi tak bisa bersatu."
- Nathania Ekklesia

Kumpulan Cermin Karya LISSICYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang