2- Strategi untuk Bertahan (a)

215 29 2
                                    

“Yang terpenting itu bagaimana kita membentengi diri sendiri.”

●•••●•••●

Siapa yang tak kenal Azzam Hudzaifa Al-Ghazali, santri nomor wahid dari pesantren putra? Kepopulerannya bahkan melebihi putra dan putri pemilik pondok pesantren Al-Azhar sendiri. Cowok itu berhasil menyelesaikan hafalan 30 juznya sebelum lulus tsanawiyah. Ia juga pintar dan memiliki akhlak mulia. Wajahnya bersih dengan postur tubuh tinggi. Bisa dikatakan Azzam memiliki nilai 9 per 10 untuk seorang cowok idaman. Tak heran jika ia sangat terkenal di kalangan para santriwati. Meski bangunan gedung dan hampir seluruh kegiatan santri putra dan putri dilakukan terpisah.

“Duh … beruntung banget sih kamu, Za! Kalo aku pasti udah langsung sujud syukur bisa jadi delegasi bareng sama Azzam,” seloroh Bitna. Hafiza langsung menimpuknya dengan bantal.

“Dih, lebay deh!”

“Seriusan! Kamu kok bisa sih stay cool gitu sering-sering jadi delegasi bareng Azzam? Padahal kan dia calon imam idaman dunia-akhirat semua santriwati di sini. Iya nggak, Rul?”

Nurul hanya membalas dengan senyum tipis. Cewek itu sedang duduk bersandar pada dinding samping tempat tidurnya sendiri di seberang. Kedua tangannya memeluk bantal. Sedangkan Bitna dan Hafiza duduk bersama di ranjang milik Hafiza.

 “Nggak semua juga kali!”

“Emang kamu enggak?” cecar Bitna to the point. Hafiza terdiam sesaat. Tak bisa dipungkiri Azzam memang memiliki kriteria-kriteria sebagai pria idaman. Namun, untuk saat ini bukan hal itu yang perlu diperdebatkan.

“Udah ah, kenapa malah ngeributin Azzam sih?” Hafiza bersungut-sungut. “Aku tuh masih galau mau ikutan progam pertukaran pelajar ini.”

“Galau kenapa, Za?” tanya Nurul penasaran. Hafiza menghela napas panjang.

“Habisnya … selama ini kan aku udah terbiasa hidup di pesantren. Lingkungannya terjaga. Maksud aku, pergaulannya itu loh!” Lalu ia bergidik ngeri, membayangkan selama satu semester ke depan harus berbaur dengan cowok dan teman-teman baru yang kadar pemahaman agamanya beragam.

Yaelah, Za. Kamu kayak orang yang tinggal di gua aja! Dulu kan kamu sempat sekolah TK sama SD umum. Terus kamu juga punya kakak cowok. Iya kalo Nurul, sejak kecil tinggal di pesantren!” Lagi-lagi Nurul hanya tersenyum tipis mendengar komentar Bitna. Entah kenapa cewek hitam manis itu lebih banyak diam sejak tadi.

“Tapi kan beda, Na. Dulu aku masih kecil, sekarang udah baligh. Lagian Bang Hammam kan mahram aku. Beda cerita kalee ….”

Bitna terkikik. “Paling nggak kan masih sama-sama cowok! Eh-eh, udah hampir jam empat nih. Ke gazebo, yuk!” 

Sontak Hafiza menoleh ke arah jam dinding yang menggantung di sebelah lemari. Lima menit lagi sebelum jarum panjang tepat di angka dua belas. Ia belum sempat mandi dan ganti baju gara-gara langsung dicegat begitu kembali dari kantor.

“Kalian duluan deh. Aku mau ganti baju dulu,” ujar Hafiza. Bagaimanapun ia merasa tidak pede jika harus berkumpul dengan masih mengenakan seragam. Kentara banget kalau belum mandi! Setidaknya ia bisa menyemprotkan parfum di beberapa titik gamisnya agar tampak segar.

Pukul empat tepat Hafiza keluar kamar dan bergegas menuju gazebo. Setiap sore ia dan enam santriwati lain memiliki jadwal setor hafalan bersama Ustazah Dinar. Letaknya di gazebo Umar, tak jauh dari masjid.

Sayup-sayup suara tilawah Al-Qur’an terdengar saat jarak kakinya semakin dekat ke masjid. Suara itu makin jelas ketika mata Hafiza menangkap punggung-punggung berbalut jilbab lebar yang duduk berkelompok di teras masjid. Kelompok serupa juga terlihat pada empat bangunan kayu dengan pilar penyangga tanpa dinding di sekitarnya.

Siapa Takut Masuk SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang