Prolog

10.4K 1.4K 177
                                    

THE COUNTDOWN - Kekasih Hitung Mundur

Prolog

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

"DENGAN keadaan seperti ini, jika transplantasi tidak segera dilaksanakan, saya tidak menjamin jantung Akasia mampu bertahan hingga akhir tahun ini."

Pria bersneli di depan itu masih saja memaparkan panjang-lebar, tetapi Akasia Cendrasari yang duduk di ranjang pasien menulikan telinganya. Matanya tetap tunduk menatap ponsel di genggaman. Ibu jarinya rutin menggeser layar. Sesekali dia tertawa kecil karena komentar-komentar lucu netizen menggelitik perutnya.

Masa bodoh dengan mamanya yang tersedu-sedu dalam pelukan papanya selagi mendengar penuturan dokter itu.

Sudah tahu bikin nangis, buat apa didengar? Itu pikirnya.

Jadi dibiarkannya sampai dokter berperawakan jangkung itu keluar kamar perawatan, barulah Asia menengadah dari ponselnya.

"Aku pesan piza di GoFood buat makan siang. Mama sama Papa mau juga nggak? Mumpung belum check out."

Fajar, sang papa, mengurai napas berat ketika mendekat. "Asia ...."

"Pa, Mama coba suruh diam dulu, pilih topping, habis itu boleh nangis lagi. Aku lapar. Terus GoPay-ku habis, Papa bisa isikan? Mau perpanjang langganan drakor bulan ini, Pa," potong Asia cepat-cepat.

Yana segera duduk di sisi ranjang bersama putrinya, mengusap air mata sekenanya lalu tersenyum. "Mana pilihan topping-nya? Coba Mama lihat," tanyanya bergetar, namun selalu mencoba tegar. "Mmh ... yang jamur atau nanas, ya ...."

Baik Fajar dan Yana tahu betul bahwa putri bungsu mereka paling benci ditangisi, sebab itu keduanya sedapat mungkin berusaha untuk tidak terlalu menampakkan kesedihan. Meski sudah pasti itu mustahil; mereka telah berduka sejak Asia berusia lima belas tahun, hingga hari ini di mana Asia seharusnya menghabiskan waktu dengan kesibukan karena status mahasiswa.

Ya, seharusnya. Bukan berdiam di ranjang beraroma antiseptik sepanjang hari dengan rutinitas menonton Netflix atau memantau akun-akun receh.

Pesanan piza sudah datang. Gadis itu menyambut ceria dengan wajah pucatnya. Seperti biasa, Fajar menggeser overbed table ke ranjang putrinya supaya Asia bisa makan sambil nonton tablet.

Meski mulutnya mengunyah, matanya terpaku pada tokoh Han Ji-pyeong di layar, namun pikiran Asia sedang tidak di sini.

Kata-kata dokter itu kembali bergema.

Tidak, Asia tidak peduli jika memang harus mati akhir tahun ini. Sudah cukup dia menangisi keadaan selama empat tahun. Satu tahun belakangan Asia belajar menerima semua.

Terutama menerima kematian, sejak bank organ tidak memprioritaskannya untuk mendapat jantung baru. Asia dinilai tidak memenuhi kriteria. Secara kasar di mata Asia, bank organ seolah berkata, 'Akasia tidak butuh-butuh amat jantung, lagipula dia bukan orang berpengaruh, cuma gadis remaja'.

Satu tahun belakangan, Asia mengisi harinya dengan apa yang masih mungkin dia lakukan dari atas ranjang. Menonton, membaca buku, kadang menulis, atau mengambil foto saat diizinkan keluar bangsal jantung. Lama-lama, semua itu bikin jenuh juga.

Saat mengunyah pinggiran keju, Asia seakan disadarkan akan waktunya yang tidak lama lagi. Waktu yang sedikit ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin, diisi dengan pengalaman yang sama sekali belum pernah didapat.

Asia semakin tenggelam dalam renungan, memikirkan matang-matang sebuah target yang harus tercapai sebelum akhir tahun. Hal yang normal terjadi pada gadis seusianya, tapi penyakit kongenital sialan ini membatasi ruang geraknya. Apa, ya?

[REPOST] THE COUNTDOWN: Kekasih Hitung MundurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang