Tema : Cerita Masa Lalu
Status : Dibuat pada Juli 2020
Catatan : Cerita telah direvisi, karya asli dapat dibaca di “Kumpulan Cerita Pendek”.***
Sret! Halaman demi halaman dibalik dengan lembut. Dari caranya, siapa juga bisa tahu bahwa ia memiliki rasa hormat terhadap buku, pada bubur kayu yang telah dibuat menjadi lembaran kertas. Kepada terang yang menemani siangnya, seorang perempuan tampak menikmati hari dengan sedikit tersenyum.
“Album kenangan ...?” tanya seorang laki-laki sedikit meragukan dirinya sendiri.
“Ya. Tadi pagi aku menemukannya, saat sedang membersihkan gudang belakang.”
“...” Membersihkan gudang belakang?
“Banyu–” Perempuan yang memiliki paras ayu itu menoleh pada laki-laki yang ikut duduk di sampingnya. “Kehilangan fungsi satu kaki bukan alasan untukku menjadi tidak berguna, kan?”
“... kamu benar.”
Pasangan suami istri ini membiarkan percakapan menyedihkan itu berlalu. Kembali dengan senyum teduhnya, Kalia kemudian mengajak Banyu menikmati album kenangan mereka. Waktu itu mereka masih SMA. Masih terlalu dini untuk menebak masa depan.
“Dulu saya terlihat aneh,” kata Banyu memperhatikan raut wajahnya yang tercetak di atas kertas.
“...” Kalia turut memperhatikan. “Banyu selalu tampan kok,” balasnya membantah perkataan Banyu dengan lembut.
***
“Biru, katanya kamu dekat dengan anak pindahan itu. Apa benar?” tanya Banyu pada temannya semasa kecil.
“Apa kamu bercanda? Aku ini preman sekolah, mana mau gadis secantik dia dekat denganku?”
Banyu dan Biru sudah saling mengenal sejak kecil. Mereka bertetangga. Tak ada rumah lain yang memisahkan tempat tinggal mereka. Dulu ketika Banyu lahir, Biru masih harus menunggu beberapa bulan untuk bisa menjadi temannya. Kemudian setelah Biru lahir, mereka masih harus menunggu sampai mereka mengerti akan ada hal yang lebih berharga dari teman, yaitu sahabat.
“Tapi Biru itu orang baik.”
Biru mengembuskan napas perlahan. Banyu-Biru seperti sesuatu yang tak bisa dipisah. Sejak masuk SMA banyak yang mengira bahwa orientasi mereka berbeda. Padahal tidak begitu. Nyatanya, Biru mengerti bahwa Banyu masih terlalu naif.
“Banyu. Gadis itu sekelas denganku. Tadi pagi dia memperkenalkan diri di depan kelas dan kebetulan aku datang terlambat– kamu bisa menebak apa yang Pak Yusuf lakukan setelahnya, kan?”
“...”
“Oh! Panjang umur!” kata Biru sedikit menyentak, “Kalia, kenalkan, dia Banyu, sahabatku. Kelasnya berada jauh di lorong sana. Banyu datang ke sini karena penasaran denganmu. Ajak ngobrol dia, ya! Aku mau pergi dulu, sudah ditunggu, tuh, sama Jabrik dan yang lain!” lanjutnya terburu-buru dan langsung keluar kelas.
Meski dikatakan demikian, nyatanya, Banyu dan Kalia masih merasa canggung. Namun, karena kebetulan saat ini adalah jam pulang sekolah, kedua anak muda itu pun memutuskan untuk pulang bersama. Kalia adalah gadis yang cantik, kependiamannya terlihat anggun bak seorang putri dari sebuah kerajaan.
“Biru itu,” Kalia tiba-tiba mengeluarkan suaranya yang terdengar lirih, “orang yang baik, ya.”
“Iya, kan?” Banyu terdengar bersemangat. “Padahal dia itu baik, tapi semua orang menghindarinya.”
“Ah!” Kalia menanggapi, meletakkan tangannya yang terkepal lembut di dekat bibir. “Mungkin karena Biru berteman dengan Jabrik?”
Banyu langsung terlihat lesu dan segera menjawab, “Tapi Jabrik juga orang baik.”
Mendengar jawaban itu, Kalia pun terkekeh untuk beberapa saat. Memang tak ada yang lucu, tetapi melihat reaksi Banyu baru-baru ini, Kalia jadi mengerti mengapa Biru menitipkan Banyu padanya, beberapa waktu yang lalu.
“Dulu sekali, ketika aku masih sekolah dasar,” Lagi-lagi Kalia membuka pembicaraan yang langsung didengarkan oleh Banyu. “Aku pernah dikucilkan oleh teman-temanku. Aku merasa sendiri, aku menangis dan kemudian pahlawanku datang!”
Seketika Banyu terlihat sangat tertarik. Dengan menarik dan menggenggam erat tali pada tas punggungnya, remaja laki-laki itu pun rela menjadi pendengar yang baik bagi gadis cantik yang baru dikenalnya.
“Kamu tidak mau bertanya?” tanya Kalia menoleh pada remaja laki-laki di sampingnya.
“... memangnya saya kenal dengan pahlawanmu?”
‘Saya’? Kalia terdiam, menatap remaja laki-laki bernama Banyu itu. “Kamu mengenalnya.”
“...” Banyu berpikir sejenak. Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya remaja laki-laki itu mengernyit tak percaya.
“Pahlawanku adalah seorang anak laki-laki. Sekarang dia disebut sebagai ‘preman sekolah’ dan sepertinya ... dia tak mengingatku.”
Kalia mengakhiri ceritanya. Tidak dengan perasaan sedih karena dilupakan, tetapi dengan senyum yang dibawanya sejak dulu, bersama dengan kenangan tentang pahlawannya.
***
“Biru masih menjadi pahlawan untuk Kalia.”
“Saya iri padanya,” ungkap Banyu mengusap foto lama mereka bertiga.
Foto itu adalah kenangan yang diambil khusus, sebelum mereka lulus SMA.
Jika diingat kembali, Banyu akan merasa malu, tetapi juga merasa haru. Sahabatnya menyukainya. Sahabatnya menyayanginya. Kemudian yang terakhir, sahabatnya mencintainya. Banyu merasa malu bukan karena fakta tentang Biru, tetapi karena Banyu yang dengan bodohnya selalu menyakiti Biru.
“Biru baik, ya?” tanya Kalia ingin mempertegas pendapatnya.
“Ya. Biru orang yang baik. Dia menjadi pahlawanmu sejak dulu–” Banyu menoleh, menatap Kalia dengan ekspresi yang sangat sedih dan sulit untuk diartikan. “Tapi dia juga pahlawan saya, Kalia.”
Melihat suaminya menitikkan air mata yang sedikit berbeda dengan tempo hari, Kalia pun langsung memeluknya, mengusap lembut rambut belakangnya. Perempuan itu tak tahu apa yang harus dikatakan, tetapi dia mengerti bahwa Banyu benar-benar merasa buruk saat ini.
“Dia tau bahwa dia akan terluka, tapi dia tetap membiarkan saya memilihmu. Dia tau bagaimana sakitnya, tapi dia mengembalikan saya padamu. Dia–”
“Pahlawan, kan?” Kalia masih mengusap rambut Banyu.
“...”
“Banyu, jangan pernah bilang pada Biru bahwa kamu ‘mengerti’, ya?” Banyu mengangguk setuju. “Pembicaraan itu adalah rahasia antara aku dan Biru ....”
Kalia kembali terdiam. Lucu. Hidupnya dikelilingi oleh Banyu dan Biru. Faktanya, bila bukan karena Biru, ia tak akan menikah dengan Banyu. Bila bukan karena ‘hal itu’, ia tak akan–
“Pokoknya, jangan pernah bilang pada Biru bahwa pertengkaran kita dulu karena ‘hal itu’, ya! Jangan pernah!!”
“...” Banyu tak berniat menjawab. Bila harus dikatakan jujur, laki-laki itu juga tak akan pernah bisa membawa topik ini ke permukaan.
Ya, harus selalu diingat. Bila bukan karena Biru, tak akan ada kesempatan untuk mereka bersama. Bila bukan karena Biru, Banyu tak akan pernah kembali pada Kalia, perempuan yang bahkan tak berhasil menyimpan satu rahasia. Perempuan yang nyaris menjadi cerita di masa lalu. Perempuan yang juga tersakiti. Di sini, di kisah ini ... tak ada yang tidak tersakiti. Bahkan Banyu sekalipun.
°°°
Vinna Dwi Yanti
Bekasi, 08 Desember 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Yang Tak Lagi Biru
General Fiction[ WARNING!! ] Cerita ini mengandung unsur homoseksual. Implisit. Suicidal thoughts! Homophobic (anti-homo) diharapkan untuk segera menjauh! SLOW UPDATE Hanya sebuah kisah tentang anak manusia. Cerita soal Banyu, Kalia, Biru, Langit dan Rindu. --- Be...