Banyu menatap kosong pada ruang tamu yang disinggahinya saat ini, tampak berbeda dengan Kalia yang masih belum bisa menunjukkan wajah. Meski Biru sudah pergi sejak beberapa jam lalu, nyatanya perempuan itu masih belum mampu bangkit dari rasa bersalahnya. Jadi, alasan Banyu sangat marah enam bulan lalu itu adalah ‘ini’? Bukan karena Banyu baru menyadari bahwa ia pun seorang homoseksual? Bodoh. Kenapa juga hal seperti itu bisa terlintas dipikirannya?
“Banyu—” Suara Kalia terdengar serak, “apa yang kamu pikirkan saat aku menceritakan hal itu padamu?” tanyanya seraya mengusap pipi.
“Kamu bertanya tentang apa yang saya pikirkan saat itu?” Banyu mengulangi pertanyaan Kalia. “Saya kecewa. Saya tak berpikir, tetapi saya merasa demikian.”
“...”
“Saya selalu bertanya pada diri saya sendiri, ‘kenapa dia tak bisa menjaga rahasia Biru?’. Katakan! Apa karena kamu merasa cemburu? Padahal kamu tau bahwa saya dan Biru bersahabat? Kalia, dalam hidup saya, dia adalah nomer dua setelah keluarga saya.” Kalia sama sekali tak bisa menjawab. “Saat itu usia pernikahan kita memang masih terbilang muda. Namun, mengingat berapa lama kita saling mengenal, mengingat berapa lama kita menjalin hubungan ... di mana otakmu?”
Perempuan bernama Kalia Pratiwi itu lagi-lagi terdiam. Enam bulan setelah kejadian itu, dua minggu setelah Banyu kembali pulang. Sudah selama itu, tetapi baru hari ini Kalia mengerti alasan mengapa rumah tangganya berada di ujung kehancuran.
“Apa alasanmu cemburu? Apa yang ada dipikiranmu sebelum dan sesudah kamu mengatakan hal itu? Saya selalu mempertanyakannya.” Banyu tak lagi segan mengatakan isi kepalanya. “Apa karena dia gay, kamu jadi takut dia merebut saya darimu? Lalu, apa yang kamu bayangkan selama enam bulan terakhir?”
“Aku—”
“... khawatir kalau saya akan membalas perasaannya? Takut bahwa saya akan menceraikanmu dan lebih memilihnya?” tebak Banyu yang dibenarkan oleh Kalia.
Kalia hanya perempuan biasa, bukan salahnya bila dia merasa khawatir, kan?
Setelah sekian lama, Banyu akhirnya mengeluh. Terus mengembuskan napas berulang, laki-laki itu pun terlihat cukup berusaha menekan amarahnya yang selama ini ditahan.
Sejak awal, Banyu tahu bahwa pernikahan bukanlah suatu hal yang mudah. Ia menjalin hubungan tanpa komitmen selama lebih dari lima tahun, tentu bukan tanpa alasan. Memang tak masuk akal dan terkesan egois, tetapi tujuan utamanya adalah ... Banyu ingin pasangannya mengerti bahwa ‘dia’ bukanlah prioritas utama.
“Kalia, tadinya saya tak berpikir bahwa saya akan mengatakan hal ini padamu.”
“Hal ini ...?”
“Saya tidak memiliki kewajiban untuk menikahimu waktu itu,” jawab Banyu yang membuat Kalia sedikit terkejut.
“Banyu, tidakkah ini keterlaluan?” Kalia mencoba menegur.
“Tidak. Jujur saja, saya bisa menikah dengan siapa pun, kapan pun saya mau. Tidak harus kamu.”
Kalia tak memberi komentar apa pun lagi. Melihat bagaimana raut wajah Banyu saat ini, perempuan itu merasa dapat mengerti kalimat apa yang akan Banyu ucapkan selanjutnya. Banyu memang pernah bersedih dan menangis. Namun, selama 8 tahun saling mengenal, Kalia tak pernah sekali pun melihat Banyu terpuruk. Ya, bisa dibilang ini adalah kali pertamanya melihat wajah kesakitan sang suami.
“... tapi kamu tau? Saya memiliki sahabat yang baik, yang mengenal bagaimana saya. Dia tau saya sangat menyukaimu. Dia tau saya mencintaimu. Dia tau segalanya tentang saya, tapi saya tidak apa pun tentangnya.”
“...”
“Bila bukan karena Biru yang mengingatkan saya tentang rasa rindu, saya tak akan kembali ke rumah. Meski meninggalkanmu rasanya menyakitkan, itu tak sebanding dengan sakit hati yang Biru alami karena mencintai saya. Heteroseksual.”
Kalia benar-benar mengangkat wajahnya. Berada di satu sofa yang sama, perempuan itu pun mulai menggeser tubuhnya mendekati Banyu.
Kalia tak ingin peduli meski di luar sana ada pihak yang menganggap tindakannya tak salah. Kalia tak butuh pembelaan orang lain, ia tak ingin pembenaran. Menurutnya, ia hanya butuh pasangannya, Banyu Deska. Memiliki pasangan yang bahkan bisa menyakiti perasaannya adalah pilihannya. Setidaknya, dia adalah seseorang yang mau menegurnya, seseorang yang tak sungkan menyalahkannya.
“Aku akan menjaga apa yang ingin kamu jaga. Aku tak mau lagi menyakiti sesuatu yang berharga bagimu. Banyu, kamu mau memaafkanku?” tanya Kalia sembari memeluk bahu Banyu.
“Saya seorang hetero yang memiliki pasangan. Tolong, jangan sakiti sahabat saya meski itu tak sengaja! Jangan cemburu padanya! Saya bahkan tak bisa membalasnya—”
“Ya, aku mengerti,” balas Kalia tersenyum. “Mari berharap yang terbaik untuk Biru.”
Banyu mengangguk. Kembali mengingat bagaimana cerita Biru siang tadi, Banyu pun lagi-lagi termenung. Menghapus titik air mata yang tersisa, laki-laki itu lalu melepas pelukan Kalia dan menatapnya penuh tanya. Jika diingat kembali, perempuan di hadapannya ini menerima begitu saja cerita Biru, seolah dia mengenal seseorang yang Biru jelaskan. Namun, bagaimana bisa?
“Ada apa?”
“Kamu mengenalnya? Maksud saya, partnernya Biru?” Kalia menatap tak percaya pada Banyu.
“Kamu tak ingat? Langit Angkasa ...?”
“...?”
“Dulu, aku mengundangnya ke pernikahan kita—” Kalia berusaha menjelaskan, “Ah, benar! Dia itu Jabrik. Kamu ingat, kan? Nama aslinya Langit Angkasa.”
“Dia ... Jabrik?” Kalia mengangguk yakin.
Laki-laki yang berusia tiga bulan lebih tua dari Biru Pramuda itu kembali terdiam. Jabrik? Dia memang orang baik, sih, tapi ... Banyu tiba-tiba menghela napas dengan kasar, sehingga membuat Kalia sedikit bingung.
———————
Kalia: Banyu– /Kalia membalik halaman buku yang sedang dibaca/
Banyu: Hm?
Kalia: Udah selesai, tuh, tadi katanya mau bilang sesuatu ke pembaca ...?
Banyu: Oh, iya. /matiin layar ponsel; fokus ke pembaca/ Hallo, saya Banyu! Penulis bilang, lapak ini mungkin sepi–
Kalia: Memang, kan? /menutup buku yang tadi dibaca/
Banyu: Ck, Kalia! Teman-teman, jangan dengarkan dia, ya! Baiklah, langsung aja. Saya mau tanya ... apakah saya dan yang lain perlu diberikan visual?
Kalia: Engga! /pura-pura jadi pembaca; menyuarakan pendapat penulis/ Ohh! Apakah Kami perlu buka Q&A?
Banyu: Tidak.
Kalia: ...
Banyu: Itu aja, sih. Terima kasih untuk waktunya. Sampai jumpa lagi /senyum; lambai tangan/
***
Vinna Dwi Yanti
Bekasi, 11 Desember 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Yang Tak Lagi Biru
General Fiction[ WARNING!! ] Cerita ini mengandung unsur homoseksual. Implisit. Suicidal thoughts! Homophobic (anti-homo) diharapkan untuk segera menjauh! SLOW UPDATE Hanya sebuah kisah tentang anak manusia. Cerita soal Banyu, Kalia, Biru, Langit dan Rindu. --- Be...