History in Jogja
Hari yang berat bagi gue, bolak balik kantor karena mau ada pameran lukisan sepuluh hari lagi. Lukisan gue mau dipamerkan memperingati ulang tahun perusahan tempat gue kerja, perusahaan yang bergerak di bidang dekorasi, furniture, dan segala bentuk hiasan rumah juga alat rumah tangga.
Oh iya, kenalin, gue Amy Hastari. Udah setahun sejak lulus di Universitas Negeri Yogyakarta, gue kerja di sini, perusahaan ini. Gue juga suka berkarya lewat lukisan yang selalu diikutsertakan dalam pameran-pameran di Jogja. Gue asli Jakarta, cuman udah lima tahun di Jogja karena menurut gue kota ini adalah surga buat seniman kayak gue.
Lagi menghadap komputer untuk memeriksa desain tempat pameran nanti, eh, ada video call masuk.
Sadha?
Tumben anak itu video call, biasanya dia paling sibuk diantara kita berempat. Gue, Mulyo, Fahri dan dia itu sahabat pas di SMA. Awalnya, gue gak terlalu kenal mereka, sampai akhirnya, siswa berandalan bernama Rahman ganggu mereka. Nah, gue yang pemberani akhirnya lawan tuh si Rahman. Dari situ, kita sahabatan, dan dari situ pulaaaa... Si Rahman benci sama kita.
By the way, Sadha itu teman sebangku gue paling gokil, awalnya gue benci banget harus bangkuan sama dia, tapi dia asyik juga orangnya. Orang yang paling bisa gue percaya buat menyimpan semua rahasia curhatan gue, curhatan tentang rasa gue sama orang yang bangkunya dibelakang gue.
Bukan! Bukan Mulyo!
Tapi Fahri.
Temen curhat
Sadha tiba-tiba mengajak gue buat reunian kecil-kecilan sama Fahri dan Mulyo. Sementara, gue gak bisa, masalahnya bukan hanya sibuk mau pameran, tapi gue masih ada perasaan gak enak aja sih kalo harus ketemu Fahri. Sebabnya? Gue sebenernya udah gak mau bahas ini, bahkan sebenernya lihat wajah Fahri pun gue selalu flashback memori yang gak enak dulu. Tapi entah kenapa, gue gak pernah nolak video call dari dia. Rasa cinta gue yang mendorong gue buat terus bersikap ramah pada dia, padahal di balik semua itu, ada sesuatu yang tersembunyi.
Cuman Sadha yang gue percaya buat simpan semua rahasia gue, tapi awalnya juga gue gak begitu aja curhat sama dia, gue malu buat bilang ke orang bahwa gue suka sama Fahri, temen gue sendiri. Barulah waktu kelas tiga gue bilang sama Sadha kalo gue cinta sama Fahri. Ekspresi Sadha kaget, dan ada sedikit respon misterius yang gue gak tau apa isi hati dia. Yang jelas, pas gue bilang, dia lagi minum es tawar di kantin, dia orangnya ngirit, jadi jajannya es tawar. Dan air yang disedot itu muncrat kemana-mana.
Ada yang unik plus nyebelin dari temen gue satu ini, Sadha itu percaya dirinya tinggi banget.
Kelas satu SMA, gue disuruh duduk sebangku sama Sadha. Menurut gue itu kayak musibah. Sampai suatu saat, dia nolongin gue (walau gak ikhlas kayaknya). Waktu itu, gue ke sekolah dibonceng sama Kakak gue yang cantik. Dia itu mengantar sambil berangkat kerja, dan pas pulang... Katanya dia lembur. So, gue harus nunggu sampai malam gitu?
Di depan kelas, seperti biasa, kita berempat berjalan beriringan. Gue minta tolong sama tiga cowok ini.
"Coy, kakak gua gak bisa jemput nih?" Gue menatap wajah mereka satu-persatu.
Mulyo bingung tuh, "Eh, em... Gue... Gue harus cepet-cepet pulang nih, sorry, ya?" Dia lari terbirit-birit.
Sialan tuh bocah bongsor!
Gue menatap my Prince Fahri, dalam hati gue, Ya Allah, moga dia bisa nganter hamba. Hamba ingin sekali dibonceng my Prince.
"Sorry, ya, My..."
WHAT!!!!
"Rumah kita gak searah, lagian gue juga ada jadwal maen futsal pulang sekolah." Jawab my Prince Fahri.
Sumpah, gue kesel banget, padahal gue tuh semalam mimpi dibonceng My Prince naik kuda, iya naik kuda. Jadi pakaiannya itu ala-ala Cinderella sama Pangeran tampan. Tapi nyatanya sekarang? It's okay, gue coba terima jawabannya, kasihan juga dia kalau harus antar gue, rumahnya jauh banget.
"Oh, yaudah gak apa-apa." Gue sambil senyum maksa.
Akhirnya si Fahri pamit, dan diam-diam si Sadha menyelinap mau pergi juga.
"Mau kemana Lo?!"
Sadha menghentikan langkahnya, dia nengok dengan wajah senyum persis kayak kambing lagi kencing.
"Hehehe... Mau pulang buru-buru." Jawabnya.
"Hihihi... Mii piling biri-biri." Gue ngeledek dia sambil membengkokkan bibir.
"Lo kok tega sih, Sad? Masa gue harus nunggu kakak gue jemput sendirian di sini sampe malem," gue mulai nyerocos, "lu gak kasian apa sama gue, gue tuh cewek, kalo mang Yana godain gue gimana? Kalo dia colek-colek gue gimana? Huft! Atau, kalo gue diperkos..."
"udah, iya, iya, gue anter." Akhirnya dia bersedia, walaupun wajahnya manyun gitu, tapi daripada gue gak bisa pulang.
Btw, mang Yana itu penjaga sekolah, orangnya ganjen parah, dia emang masih muda sih, jadi wajar genit kalau lihat siswi cantik kayak gue.
Akhirnya, gue pulang sama Sadha, dibonceng pakai motor maticnya.
Malamnya, Kakak gue datang, dia nanya sama gue.
"Lu tadi pulang sama siapa?"
"Li tidi piling simi siipi?" Gaya gue kalau ngeledek lawan bicara, "eh, harusnya kalo lu mau lembur, lu bilang kek dari pagi, Kak. Tau gitu gue minta uang lebih ke Mama buat ngojek ke tukang ojek."
"Ya maaf, orang ngedadak jam kerja gue ditambah sama bos." Jelasnya sambil wajah kesal. Loh, kok dia yang malah kesel ke gue?
"Jadi, mulai sekarang, lu gak bisa balik bareng gue lagi?" Gue terperanjat dari sofa.
"Iya. Gini aja, lu mulai besok pulang sama yang nganter lu tadi. Masalah ongkos, nanti gue bayar bulanan deh sama dia." Dia rayu gue supaya mau, dia rangkul gue.
Yaudah, gimana lagi? Dia kan yang suka ngasih apa aja yang gue mau selain Mama dan Papa. Kalo gue tolak, ya, dia bakal dipecat, mungkin.
Gue mengangguk.
Gue telepon si Sadha, dan sejak itu gue selalu pulang bareng sama dia, kecuali kalo tifusnya kumat dan dia gak sekolah. Tapi, baiknya Sadha, dia selalu nolak uang bulanan dari Kakak gue yang gue tawarkan, tadinya mau gue korupsi tapi takut dosa, alhasil, dia nganter gue dengan ikhlas.
Gue sama Sadha udah bukan sekedar teman lagi, sih. Dia udah gue anggap sebagai Kakak laki-laki gue, walau tingkahnya gak menunjukan seorang kakak, malah gue yang selalu melindungi dia dari si Rahman, tapi dia itu orangnya will be there for me, emang the best banget sih dia.
Sayangnya, kebaikan gue kadang disalahartikan, dia sering minta contekan pelajaran Seni Budaya ke gue. Awalnya gue selalu kasih, tapi makin kesini, gue jarang ngasih. Abisnya, dia itu pelit kalau dia yang dimintain. Secara, dia paling pintar pelajaran Bahasa Indonesia.
Pernah sekali, pas ulangan harian, dia ngasih lembar jawabannya sama gue, Mulyo dan Fahri. Pas udah selesai dinilai... Gue, Fahri dan Mulyo dapet nilai 50.
Dan dia... 100.
What the...
Pas kita bertiga interogasi dia di belakang sekolah, dia bilang "Maaf, tadi gue baru inget beberapa jawaban yang salah. Mau kasih tau lu pada, eh udah pada dikumpulin."
Pengen gue jitak juga tuh palanya.
Tapi, itulah Sadha, meski begitu, dia paling setia kawan diantara kita. Dia selalu memprioritaskan temannya yang kesusahan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Between Us
HumorSadha, Ami, Fahri dan Mulyo bersahabat pada masa SMA. Sadha mulai mencintai Ami yang tumbuh ketika mereka sering bersama, tapi ternyata Mulyo juga memendam rasa pada Ami. Masalah semakin rumit ketika Ami ternyata suka pada Fahri.