Part 14

1.5K 235 1
                                    

"Tunggu, pelan-pelan," Taeyong menepuk lengan Jaehyun sekali, menjulurkan kepalanya ke luar jendela mobil. Angin meniup rambutnya dan helainya bergoyang liar di udara. Mullet yang kepanjangan itu tidak diikat dan Jaehyun ingin menarik Taeyong kembali ke kursinya dengan menjambak rambutnya.

Ia menahan niatnya itu.

"Apa," Jaehyun bertanya tapi ia memelankan laju mobil, membelokkannya ke tepi jalan dan berhenti di depan sebuah toko piringan hitam yang sepi. Mereka sudah berjalan selama dua puluh menit. Taeyong keluar dari mobil, mengejutkan Jaehyun yang bergegas mengikutinya ke dalam toko, melirik sekali apakah aman untuk meninggalkan mobilnya di luar. Tapi, dia punya kuncinya, jadi ia membiarkannya saja.

"Ini bukan supermarketnya, Taeyong." Jaehyun mendesis pelan, berdiri di belakang si rambut karamel. Mereka tidak boleh memberikan kesempatan orang lain menguping dan mengetahui keberadaan mereka. "Ayo pergi."

"No no no, tidak ada salahnya kita di sini sebentar." Toko piringan hitam ini tidak besar — hanya ada dua rak pajangan, beberapa di antaranya majalah dan koran. Jaehyun mencuri pandang pada kasir, seorang remaja laki-laki yang diam-diam mengawasi mereka, setengah wajahnya tertutup buku yang terbalik.

Taeyong mengambil sebuah piringan hitam, kumpulan lagu-lagu terbaik Celine Dion. Wajahnya terpampang di sampul album, alisnya dicukur terlalu tipis dan bibirnya mengkilap. Gaya tata rias tahun 2000-an, pikir Jaehyun. Bukan berarti ia tahu banyak tentang tata rias. Piringan hitam itu kembali ke tempatnya di rak dan Jaehyun memaklumi pikiran Taeyong yang berubah-ubah, mengambil sebuah piringan hanya untuk menaruhnya kembali.

Kasir itu tak henti melirik. Jaehyun melangkah mundur — namun ia tidak sedang melihat ke arah Jaehyun.

Ia memperhatikan Taeyong.

Jaehyun bimbang apakah ini hal yang baik atau tidak, atau netral. Buruk jika ternyata Dragonaire sudah melacak keberadaan mereka dan menyebarkan foto Taeyong agar penduduk melaporkannya — meski itu sangat tidak mungkin, karena mereka tidak membawa apa pun yang bisa dilacak dengan mudah. Pondok itu merupakan salah satu dari banyak tempat persembunyian milik Red Phoenix. Baik jika kasir itu hanya terpesona oleh paras tampan Taeyong dan mungkin menguntungkan mereka. Potongan harga 10%, mungkin?

Dan netral — kasir itu mungkin hanya penasaran dan bertanya-tanya mengapa Taeyong membuat kesalahan seperti membiarkan mulletnya sepanjang itu dan menolak untuk memangkasnya.

Bayangan akan Taeyong memotong rambut indahnya membuat Jaehyun merasa tidak senang.

"Bisakah kau membelikan ini untukku?" Taeyong menyadarkan lamunannya, menyodorkan sebuah piringan hitam Michael Jackson.

Setidaknya dia punya selera yang bagus.

Jaehyun mengangkat bahu dan mengisyaratkan Taeyong untuk mengikutinya ke kasir dengan jarinya. Kasir remaja itu cepat-cepat mengatur ekspresinya dan menaruh bukunya, menyapa pelanggan dengan tak acuh saat Jaehyun menarik keluar sebuah kartu kredit dari kantong di jasnya.

"Di mana kau mendapatkannya?"

"Aku melihatnya di tasmu. Mungkin dari ayahmu. Apa menurutmu kartu ini tak ada batasnya?" Jaehyun memberikan kartu itu ke kasir yang nampaknya kesulitan memindai barcode.

"Siapa peduli? Habiskan saja batasnya kalau bisa. Bukan urusan kita jika bank mencurigainya." Taeyong mengembalikan kartu itu ke Jaehyun dan menolak diberikan kantong plastik untuk piringan hitamnya, menggumamkan sesuatu tentang plastik tidak bisa terurai alami dan dapat membahayakan hewan laut. Jari-jarinya bersentuhan lembut dengan tangan sang kasir dan Jaehyun mendengus, nada suaranya dingin ketika menyuruh Taeyong masuk ke mobil.

Taeyong menekuk kakinya, berjongkok di kursi dengan lutut menempel di dada. Jarinya mengetuk-ngetuk celana jeansnya yang berlubang, kepalanya menggeleng kanan dan kiri. Jaehyun meliriknya sesekali, tidak mau lengah dari jalanan.

"Ada apa? Kau bertingkah aneh."

"Aku kehabisan rokok. Yang tadi pagi itu yang terakhir." Ia mengangkat piringan hitam di atas kepalanya, menengadah untuk meneliti sampulnya. "Berapa lama lagi kita sampai?"

Jaehyun mengambil ponsel yang diberikan Doyoung, melirik waktunya dengan cepat. "8 menit lagi. Ini masih pagi. Kau yakin kau mau membakar paru-parumu lagi?"

"Apa masalahnya? Lebih cepat aku mati, lebih cepat semua ini berakhir. Menyenangkan, bukan?" Taeyong mengintip isi piringan hitamnya, tersenyum miring. "Apa kau sudah lihat pemutar piringan hitam di bawah TV?"

"Uh, belum... ada, ya?"

"Menurutmu aku akan membeli ini kalau tidak ada pemutarnya? Tolol." Taeyong melempar piringan hitam itu ke kursi belakang, terlihat puas tapi masih berkedut-kedut ketika Jaehyun tidak menjawab.

Si pelempar pisau nyaris tertidur saat mereka akhirnya tiba di supermarket. Jaehyun hampir menyeretnya keluar ketika ia tidak mau bergerak, mengeluh tentang Jaehyun yang menyebalkan. Ia diabaikan seraya Jaehyun mengisi keranjang belanja mereka dengan sendok dan piring sekali pakai, segulung tisu dan sebungkus rokok. Taeyong menjadi tenang segera setelah melihat rokok, meringankan beban Jaehyun.

"Ada lagi?"

Taeyong menunjuk sebungkus permen, dan bungkus lainnya, dan sebungkus lagi sebelum Jaehyun merebut kudapan perusak gigi itu dari genggamannya lalu melemparnya kembali ke rak. Supermarket itu kosong — selain seorang nenek yang sedang berada di rak obat-obatan.

Sesuatu menarik perhatian Jaehyun dan ia mengambilnya, menunjukkan kotak itu ke temannya.

"Cat rambut." Taeyong membaca kemasannya. "Aku rasa merah tidak cocok untukmu."

Jaehyun menaruh kotak itu di keranjang dan mengangkat bahu. "Apa yang cocok untukku? Dan ini bukan untukku. Ini untukmu."

"Apa maksudmu? Kau mau bermain salon-salonan denganku?" Sepasang mata biru memelototi Jaehyun. "Aku tidak pernah mengecat rambutku sebelumnya."

"Kurasa nuansa merah apa pun cocok untukmu. Kau harus melakukannya. Kau juga belum menjawab pertanyaanku."

"Ash blonde. Pirang. Merah juga bagus."

Jaehyun sedikit bergetar ketika tangan Taeyong membelai rambut hitamnya, menarik helainya dengan lembut. Anehnya terasa sangat menyenangkan namun ia memalingkan wajahnya, cemberut. Taeyong tidak berkata apa-apa, tidak menunjukkan kalau tindakan Jaehyun menyinggungnya. Wajahnya kembali datar, sama sekali tidak dapat dibaca.

Nenek itu sudah pergi untuk membayar belanjaannya. Ketika barang mereka sedang dipindai, Jaehyun mengecek ponselnya siapa tahu ada panggilan atau pesan, tapi tidak ada apa pun dari Markas Besar. Ia tidak tahu harus khawatir atau tidak, namun alangkah baiknya kalau ada satu atau dua kata dari mereka.

[1] What Lies Ahead: Outset (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang