Part 20

1.6K 224 2
                                    

"Apa kita kehabisan sereal?"

"Apa kau melihat ada sereal di sana?"

"Tidak ada."

"Maka Lee Taeyong, ini informasi untuk IQ 220mu itu, kita kehabisan sereal." Jaehyun memeriksa kembali pistolnya dan memasukkannya ke sarung pistol, sebelum menyelipkannya di tas. Ia hendak menanyakan Taeyong apa yang ia ingin makan ketika ponselnya berdering. Namun Taeyong mendahuluinya — lebih cepat dari siapa pun dan mengangkat teleponnya, matanya mengeras. Jaehyun tahu itu artinya kabar buruk.

"Bicaralah." Taeyong menghardik si penelepon.

Jaehyun melihatnya, menunggu apa pun — Taeyong tidak bereaksi pada informasi yang diberikan, wajahnya tidak bergerak, matanya tidak berkedip dan bibirnya terlipat dalam sebuah garis tipis.

Namun ketika Jaehyun melihat ke bawah dan mendarat pada tangan Taeyong yang bergetar, ia tidak membuang waktu dan keluar dari rumah, ke arah mobil mereka. Ia menarik secarik kertas yang tersangkut di wiper dan membaliknya.

Apa yang ia lihat membuatnya tertegun. Ia tahu ia tidak punya waktu untuk terkejut, ia kembali ke ruang tengah di mana Taeyong berdiri diam, ponselnya sudah hancur dengan serpihan-serpihan di sekeliling sepatunya.

"Taeyong."

Si rambut merah merebut paksa foto di tangan Jaehyun dan memandanginya, tajam dan menyeramkan. Di foto itu terlihat tubuh ayahnya dan adik perempuannya, telanjang tulisan 'C'est la guerre' terukir di atas kulitnya. Semakin ia menatap foto itu, Taeyong melihat kebencian di wajah adiknya yang sudah meninggal dan membayangkan seberapa kuat ia menahan rasa sakit sebelum akhirnya menyerah. Ia tidak terlalu peduli tentang ayahnya — merasa ayahnya pantas menerima itu setelah menelantarkan keluarganya, tapi adiknya, adik perempuannya yang manis seharusnya tidak ada di gambar ini. Ibunya mungkin sedang diculik dan dipaksa melayani pria-pria itu.

"Pelacur," Taeyong bergumam sebelum merobek foto itu menjadi dua. Ia mendorong Jaehyun minggir dan berlutut, melepas beberapa papan lantai. Menunjukkan sebuah jalan masuk ke bawah tanah dan Taeyong turun ke sana, mengejutkan Jaehyun.

"What the fuck. Kau tidak bilang tentang hal ini." Jaehyun melihat sederet pisau yang tergantung di tembok. Taeyong menaruh kotak besi di atas meja kayu yang berada di tengah ruang bawah tanah gelap itu, sumber cahaya hanya berasal dari ruang tamu di atas. Ia mengeluarkan beberapa pisau, mengumpat keras ketika senjata kejut listrik tidak berfungsi.

"Ini dibuat untuk keadaan darurat. Kau hanya perlu tahu ini jika terjadi sesuatu. Ambil ini." Taeyong melempar tempat peluru ke arahnya. "Yang menelepon bukan Doyoung. Itu Kim Taejun dari Dragonaire. Sepertinya anggota kita telah dihabisi. Mereka menangkap teman-temanmu. Aku harus memastikan hal itu agar kau tidak terlalu sedih. Katanya temanmu berguna untuk membangun kembali organisasi mereka. Sekarang," Taeyong mengokang pistol yang ia temukan di kotak dan membidik tembok, menancapkan peluru di sana. "Red Phoenix kuat, dulunya. Tapi Dragonaire lebih bijak dari yang mereka kira. Moon Taeil pasti tidak awas akan hal itu. Kalau kau ingin mencari bantuan, jangan. Kau tidak boleh melibatkan mitra bisnis lainnya ke dalam masalah pribadi. Tentunya kau tidak mau menghancurkan Invictus juga, 'kan?"

"Jadi kita hanya berdua saja. Apa lagi yang mereka katakan padamu?"

"Besok. Mereka ingin aku ke sana besok, mati atau hidup. Rupanya organku akan terjual mahal di pasar gelap, jadi tidak masalah jika aku datang dalam keadaan busuk." Taeyong menaruh pistolnya dan mencoret-coret kertas. Sepertinya ruang bawah tanah ini menyimpan barang-barang yang pernah digunakan si rambut merah sebelumnya. Taeyong menempelkan kertas itu di dada Jaehyun.

Jaehyun membacanya berulang-ulang hingga ia menyimpulkan ia tidak mengerti, lalu melihat Taeyong bingung. "Ini kuburan milik organisasi. Apa rencanamu?"

Taeyong menyeringai dan menutup kotak besi itu sembarang, suaranya berdenting keras bergema di ruangan. "Kau akan segera tahu."

Selama ia menghabiskan waktu dengan si rambut merah gila itu, Jaehyun menyadari ia masih tidak mengerti jalan pikirannya. Kebanyakan dari idenya adalah spontan, tak terduga, sesuatu yang tidak akan terlintas di pikiran manusia waras. Kini, sembari Taeyong menyusuri kuburan dengan menyeret sekop, tepi jas hitamnya berhembus karena angin, Jaehyun merasa bahwa mungkin tidak memiliki IQ 220 adalah sebuah berkah.

"Kau tidak sedang ingin menggali kuburanmu lebih awal, 'kan?"

"Tidak." Taeyong melanjutkan perjalanannya, secara mengerikan menggoyangkan sekopnya maju mundur dengan bersiul ceria. Jaehyun menabrak punggungnya ketika ia berhenti tiba-tiba, menoleh pada kuburan tak bernisan. "Apa kau tahu kalau musuh mati di tangan seorang anggota Red Phoenix, mereka mendapat pemakaman yang layak di sini? Perbedaannya adalah—" Taeyong menunjuk sebuah kuburan secara acak. "Mereka tidak mendapat nisan dengan nama, karena mereka tidak layak untuk dikenali." Sebelum Jaehyun sempat menjawab, Taeyong mendorong sekopnya ke tanah, menggali.

"Apa yang kau lakukan?!"

Taeyong mengabaikannya, terus melanjutkan kegiatan menggalinya. Jaehyun tidak bisa mengungkapkan sikap konyol Taeyong dengan kata-kata. Ia melangkah mundur dan memantaunya, merinding akan rencana menjijikkan yang Taeyong punya di kepalanya.

Ketika kuburan itu berhasil digali, sebuah gundukan tanah menumpuk di sampingnya. Taeyong dengan paksa membuka paku pada peti mati itu dan Jaehyun memandangnya ngeri ketika si rambut merah menginjak dada Jaeseok, menjambak rambutnya dan menarik kepalanya hingga lepas dari tubuhnya.

"Bajingan— apa kau sudah gila?!"

"Kau bertanya itu padaku?" Taeyong mengangkat kepala mayat itu, membuatnya sejajar dengan wajahnya sendiri. "Sudah terlambat kalau kau baru sadar kau main-main dengan orang yang salah, Jaehyun."

"Benarkah." Jaehyun menghela napas pasrah, memandangnya tajam. "Itu salahku, Tuan."

Taeyong melempar-tangkap kepala itu dengan kedua tangannya. "Ha, kau pikir siapa aku?"

"Bedebah gila. Orang yang paling dicari di lingkaran mafia Korea."

"Orang Korea, ya. Coba," Taeyong menyelipkan kepala itu di antara kakinya dan melihat sekelilingnya, rambutnya ditiup angin sejuk. "Apa kau pikir mereka akan melepaskanku kalau aku bilang aku warga negara Prancis?"

Bibir Jaehyun mengerucut, menahan niat untuk tertawa pada lelucon yang tidak lucu itu. Ia mengecek waktu di jam tangannya dan menepuk-nepuk jasnya sebelum mengisyaratkan Taeyong untuk kembali ke mobil.

"Berdoa saja Taejun cukup gila untuk melepasmu begitu saja."

[1] What Lies Ahead: Outset (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang