EPILOG

2.6K 265 34
                                    

Doyoung menggebrak meja marah. "Kita harus membuang mobilnya, Johnny. Bagaimana kalau ada yang mengenalinya!"

Johnny membuang napas, memijat pelipisnya. Rasa nyeri tumpul di kepalanya adalah pertanda ini bukan akhir dari argumen. Ia merasa malas. Inilah mengapa ia benci beradu pendapat dengan Doyoung. Temannya itu terkadang sangat cerewet. "Ada banyak van seperti itu, Doyoung. Dan aku sudah mengganti plat nomornya. Tidak ada yang akan tahu kita di sini — tidak Dragonaire, setidaknya." Ia berharap kata-katanya dapat meyakinkan Doyoung.

Pemegang kartu Gold itu menjatuhkan tubuhnya di kursi karena merasa kalah, mengabaikan tepukan Ten yang berusaha menenangkannya. Mereka baru bersembunyi selama dua hari. Mereka masih berada di radar Dragonaire dan mereka harus selalu waspada.

Red Phoenix sudah jatuh. Mereka harus mencari cara untuk menghubungi Invictus dan meminta bantuan walau tidak mungkin, juga mencoba untuk mencari rekan-rekan yang mungkin mengerti situasi mereka.

Jaehyun duduk diam di bangku. Mereka menerobos paksa sebuah apartemen kosong. Mereka belum tidur selama dua hari berturut-turut, masih paranoid. Mereka kalah jumlah. Mereka tidak tahu apakah anggota lainnya masih hidup. Mereka tidak tahu di mana harus memulai tanpa adanya ponsel atau komputer untuk mengontak yang lainnya. Meski ia enggan, Invictus adalah harapan terbesar. Mungkin ia bisa membujuk ayahnya untuk membantu membenahi Red Phoenix.

Walau ia berusaha memikirkan masalah lain yang mereka punya saat ini, pikiran Jaehyun berujung pada satu hal yang sama. Ia sangat berharap Taeyong masih hidup. Ia tidak bermaksud meninggalkannya begitu saja dan ia menyalahkan dirinya sendiri yang lemah, tidak cukup berani untuk membawa Taeyong pergi dari Dragonaire.

Apa mereka menyiksanya? Apa mereka melakukan yang Jaeseok alami sebelum membunuhnya? Tuhan, semoga itu tidak benar.

Suara ketukan keras terdengar dari pintu, membuat mereka terkejut. Jaehyun melihat sekilas sebelum menyuruh Winwin untuk mundur, mencegahnya membuka pintu.

Jaehyun meraba pistol di pinggulnya dan perlahan memegang kenop pintu, berhitung 1 hingga 3 dalam hati sebelum membuka pintunya dan membidik si penyusup, matanya terbelalak mendapati si rambut merah, samar-samar mendengar seruan kaget dari teman-temannya.

"Taeyong..."

Lee Taeyong berdiri di hadapannya, wajah dan pakaiannya kotor oleh darah kering. Wajahnya dihiasi beberapa sayatan dangkal dan ada luka segar mengintip dari kemejanya yang robek-robek. Jaehyun menurunkan pistolnya seraya matanya melihat kepala Taejun yang ada di samping kakinya.

Ia baru saja hendak bicara ketika sepasang bibir hangat yang pecah-pecah menangkap bibirnya. Wajah Jaehyun memerah dengan cepat, mengingat yang lain belum tahu apa yang terjadi pada mereka di pondok.

Bibir itu pergi terlalu cepat dan Taeyong berjalan melewatinya, membawa kepala Taejun.

Yuta memucat.

"Jangan melihatku seperti itu atau aku akan menghajarmu karena sudah meninggalkanku begitu saja di sana hanya karena kau membenciku." Taeyong mengancam dengan nada monoton, bersandar di meja di mana Doyoung duduk, menjatuhkan kepala musuhnya di sebelah kaki.

"Bagaimana caranya?" Jaehyun bertanya.

"Apa kau lupa aku tidak punya kartu karena aku bisa melakukan semua pekerjaan kalian — aku bisa saja melakukan ini dari awal tapi kalian terlalu takut pada Namgyu untuk membiarkanku melakukan yang kumau. Aku menghabisi sebagian besar anggotanya sebelum menebas kepala Taejun. Aku tahu kalian tahu aku mampu melakukan semua itu."

"Jadi kau sengaja membiarkan dirimu ditangkap?" Yuta bertanya pahit.

"Tidak ada jalan lain. Dia tidak mungkin membunuhku begitu saja di sana — dia ingin melakukan apa yang kulakukan pada putranya." Taeyong mengeluarkan laptop dari tas yang ia bawa namun tidak mereka sadari dan memberikannya pada Doyoung. "Lakukan tugasmu. Aku menginstal beberapa kontak dan data organisasi lain yang bisa kudapatkan dari komputer yang masih berfungsi di Markas Besar."

Doyoung memberinya tatapan kaku. "Wow... kau sangat bertanggungjawab."

Taeyong mendengus, membiarkan Ten mengecek lukanya dengan kotak P3K yang mereka ambil dari van. "Ya, karena aku Kingpinmu, wahai kartu Gold."

"Tunggu, tunggu, tunggu," Jaehyun menginterupsi. "Kau, Kingpin? Pertama-tama, kau bilang kau tidak menginginkannya. Kedua... dengan kondisi kejiwaanmu?"

"Maka kurasa kau harus menjinakkanku lagi... dengan caramu, seperti yang aku suka."

"Um," Winwin mengangkat tangan, terlihat bingung. "Di samping masalah organisasi, kalian... kalian berciuman."

Jaehyun tersedak, ingin memukul Winwin karena kembali mengangkat topik itu. Johnny bersiul menyebalkan, alisnya naik-turun.

"Oh, iya." Taeyong tersenyum, menjalankan ibu jarinya di bibir bawahnya dan sepasang mata biru bertemu dengan wajah Jaehyun yang terpana. "Aku baru menemukan sesuatu yang lebih membuatku ketagihan dibanding permen dan rokok."

*****

BERSAMBUNG KE WHAT LIES AHEAD: DOWNFALL (bisa dilihat di profilku ya 😆)

Thank you for reading! :) sorry kalo masih ada kekurangan dan kata yang dirasa berulang-ulang, ya.

Setelah 5 bagian dari seri WLA ini kelar, nanti aku juga bakal terjemahin karya-karya legendnya heenimlee di AO3, ditunggu!

Shameless promotion aku juga bikin AU JaeYong di twitter hihi @/tinybabytyong

[1] What Lies Ahead: Outset (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang