Keajaiban nyatanya bisa hadir di mana saja. Pencipta semesta selalu memberikan keadilan. Bila saat ini kamu belum mendapatkannya, maka besabarlah sebentar lagi. Mungkin saja keadilan itu akan Dia berikan pada kehidupanmu selanjutnya.
Tsoa memandang pohon-pohon sakura yang bermekaran lewat kaca jendela. Pantulan sinar matahari yang mengenai sebagian wajahnya memperjelas lekukan yang begitu anggun. Bibirnya tak melengkungkan senyum, tetapi lewat sorot matanya terlukis kebahagiaan. Rambut cokelat yang terurai dan sedikit bergelombang di bagian bawah membuatnya tampak sempurna.
Di hadapannya terdapat berbagai pasang mata. Beberapa dari mereka siap dengan kamera dan perekam suara. Lukisan sepasang kekasih dengan latar belakang kota Magome juga terpampang jelas di sana. Di bagian bawah lukisan itu tertulis sebuah nama, Tsoa. Pelukis yang kini menjadi sorotan di negeri Sakura karena lukisannya yang berjudul Keajaiban di kota Magome.
"Apakah kita bisa memulai wawancaranya?" Tsoa mengangguk. Dia menatap sang pembawa acara dengan antusias sembari memautkan jemarinya di atas meja.
"Baiklah pertanyaan pertama, ini merupakan pertanyaan yang banyak sekali diperbincangkan saat ini. Mengapa anda menggambarkan keajaiban di kota Magome dengan lukisan sepasang kekasih?"
Mendengar pertanyaan itu Tsoa terdiam. Namun, beberapa detik kemudian dia tersenyum, hingga membuat matanya melengkung seperti bulan sabit pada musim salju beberapa tahun yang lalu.
Musim salju menyelimuti kota Magome. Seperti berhibernasi dari dunia, kesunyian ikut menyelinap di antara rumah-rumah kayu yang saling berjejer. Kabut membuat jendela-jendela rumah tertutup dengan kelabu. Tak ada lubang yang membuat hawa dingin dari luar dapat menyelinap masuk. Pemanas ruangan juga sudah mencapai angka yang dapat menghangatkan setiap makhluk hidup di dalamnya. Namun, Sachi tetap menggigil memandang sepasang mata sayu yang tak berkedip seperti sebuah patung manekin di hadapannya.
"Tsoa, mengapa kau tidak menghabiskan makananmu?" Sachi memperhatikan anak semata wayangnya yang tampak dingin menatap sup dengan kepulan asap di atasnya.
"Ibu, aku permisi dulu." Gadis berambut cokelat yang senada dengan warna kornea matanya itu berdiri meninggalkan ruang makan dengan ekspresi wajah yang tak berubah sedikit pun.
Sachi menghela napas, dia tidak tahu mengapa putrinya memiliki kepribadian yang dingin seperti itu. Sejak lahir Tsoa memang berbeda dengan anak-anak lainnya. Dia tidak pernah mengeluh dan bersikap seperti orang yang sudah dewasa. Sebenarnya ada apa dengan Tsoa? Apa yang selama ini dia sembunyikan? Sachi sebagai Ibu yang melahirkan Tsoa bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan se-sederhana itu. Dia tidak bisa memahami anaknya sendiri. Apakah dia belum menjadi Ibu yang baik?
Tsoa membaringkan tubuhnya di atas ranjang menatap langit-langit kamar yang dihiasi stiker bintang sembari tersenyum mengejek. "Kekanak-kanakan," gumamnya.
Suara nyaring bagai ayam berkokok di pagi hari yang dapat membuat seseorang terbangun dari tidur pulasnya memenuhi seisi ruang. Suara itu menusuk pendengaran Tsoa yang sedang berkeliaran di alam bawah sadarnya.
Tsoa menoleh menghadap alarm berbentuk lingkaran dengan corak polkadot berwarna hitam dan putih. Pukul 19.00, waktu yang sama ketika alarm tersebut akan berbunyi setiap harinya. Aneh, tidak ada yang tahu apa maksud Tsoa menyalakan alarm pada pukul ini. Gadis itu pun seperti tidak melakukan kegiatan yang berarti. Dia hanya membiarkan alarm tersebut terus berbunyi dan mematikannya tepat pada menit ke dua belas, lalu mengulangi kegiatan aneh ini setiap harinya.
"Takaoka...," gumam Tsoa sembari mengusap wajahnya dengan kasar. Perlahan air mulai menetes di kulit wajahnya yang seputih susu. Itu bukan air dari langit-langit, bukan juga dari pemanas yang mengantung di sudut kamarnya. Namun, air itu keluar dari kedua matanya yang memancarkan aura kosong. Tidak ada kebahagiaan, tidak berarti.
Tsoa berdiri mencari sebuah buku kecil di dalam laci nakas di sebelahnya. Dengan tangan yang gemulai itu dan bantuan benda bertinta, ia mulai menari-nari di atas kertas. Melukiskan memori yang terpendam sepanjang kehidupannya. Tsoa atau Yuko, dia kehilangan identitasnya.
Gambaran wajah yang sama terlukis di sana. Bukan wajah Tsoa, bukan juga wajah yang ia temui dalam kesehariannya. Itu adalah wajah dari memorinya yang terpendam. Seorang laki-laki yang tak tampan seperti pemain drama, tidak juga memiliki badan yang bagus seperti seorang tentara. Itu hanyalah wajah laki-laki Jepang biasa dengan rambut yang sedikit berantakan seperti tertepa angin.
Tsoa menutup buku kecil tersebut dan kembali menyimpannya di dalam laci nakas. Dia menopang wajahnya dengan satu tangan dan menatap cermin di hadapannya. Bayangan wajahnya terpantul, tetapi dia seperti asing dengan bayangan itu. Jiwa yang sama, tetapi dengan raga yang berbeda.
Rambut yang seharusnya berwarna hitam, kini berubah menjadi cokelat terang. Mata yang seharusnya tidak memiliki lipatan, kini memiliki dua lipatan sekaligus di sana. Ingin sekali Tsoa menyangkal raga ini, tetapi dia tidak bisa. Terlahir kembali dengan raga yang berbeda membuatnya harus menerima takdir. Alur kehidupan yang sudah ditentukan oleh pemilik semesta itu dia terima. Namun, dia tidak terima bila harus dipisahkan dengan kekasihnya. Takaoka dan Yuko yang seharusnya hidup bahagia 20 tahun yang lalu.
Suara pintu kayu yang diketuk dengan ritme cepat membuyarkan pikiran Tsoa. Dia kembali memasang wajah tak bermakna dan menghapus jejak air mata yang membekas di kedua sudut pipinya.
Pintu terbuka. Wanita paruh baya dengan kakinya yang masih dapat berdiri kokoh berjalan mendekati Tsoa. Tangan keriput wanita itu membelai lembut rambut cokelatnya. Dengan tatapan sayu dia menyusuri wajah Tsoa dari cermin. Mencari sebuah titik perasaan terpendam buah hatinya. Rahasia yang selalu dikunci rapat dengan topeng manekin yang digunakannya.
"Adakah yang mau kamu bicarakan dengan Ibu?" Sachi memecahkan keheningan di antara mereka. Sudah berapa lama mereka tidak berbicara dari hati ke hati? Sepertinya tidak pernah sejak Tsoa dilahirkan. Lagi pula Tsoa bukanlah gadis yang mudah diajak untuk berbicara. Lihatlah bahkan saat ini dia masih saja terdiam. Membeku seperti boneka salju yang ada di pekarangan rumahnya.
"Tsoa?" Untuk yang kedua kalinya Sachi mengeluarkan suara dan dengan setia menunggu jawaban dari mulut anaknya. Detik mulai berganti ke menit. Tsoa masih terdiam di posisi yang sama.
Sachi menghela napas. Merasa tidak akan mendapatkan respon dari Tsoa akhirnya Sachi mengambil langkah untuk keluar dari kamar yang dipenuhi lukisan itu. Senyum yang sebelumnya merekah mulai tersapu oleh air mata. Sachi merasa gagal. Dia sudah menjadi seorang Ibu yang gagal atau mungkin ada hal yang janggal?
KAMU SEDANG MEMBACA
Keajaiban di Kota Magome [END]
Short StoryCat warna yang dipadukan sedemikian rupa di atas kanvas membentuk wajah sepasang kekasih. Tsoa pelukis terkenal dari kota Magome menghadiri suatu acara untuk menggali latar belakang lukisannya yang berjudul Keajaiban di Kota Magome. Namun, pertanyaa...