Tsoa terbangun menatap jam di dinding kamarnya yang menunjukkan pukul 22.00. Dia mengambil mantel berbulu dan memakainya. Malam ini dia akan menyelinap keluar, sama seperti malam-malam sebelumnya setiap hari rabu.
Setelah tak ada tanda-tanda kehadiran Sachi, Tsoa mulai membuka pintu dan berjalan di bawah hujan salju. Hanya dengan berlindungkan mantel dan sepatu boots, orang-orang yang melihat Tsoa mungkin akan berpikir bahwa gadis itu telah gila. Dingin menusuk wajahnya. Telinga dan puncak hidungnya mulai memerah.
Kaki Tsoa membawanya menuju sebuah taman. Tentu saja taman tersebut tak lagi bisa disebut taman karena telah terselimuti salju tebal. Dia berdiri mematung menatap ke arah hamparan salju dengan tatapan kosong. Pikirannya berkelanan menguak memori-memori tentang Yuko.
"Takaoka, apakah kamu masih mengingatku?" gumamnya. Hembusan napas yang dikeluarkan Tsoa membentuk sebuah asap. Menandakan isi tubuhnya hangat, tetapi terbentur oleh hawa dingin dari dunia luar. Hatinya mendidih mengingat detik-detik penderitaan yang pernah diterimanya. Pada tempat yang sama, tetapi dengan waktu yang berbeda.
Saat itu kota Magome juga diselimuti salju dan kabut yang tebal. Dengan raga yang berbeda Tsoa tak berdaya, bersimbah darah, tertimbun salju. Permohonannya yang terakhir adalah untuk kembali dipertemukan dengan Takaoka. Namun, sampai sekarang Tsoa belum menemukan kehadiran laki-laki itu.
Mungkin Takaoka sudah memiliki keriput. Mungkin juga Takaoka sudah memiliki keluarganya sendiri. Tsoa tidak peduli semua itu asalkan dia dapat kembali melihat kekasihnya. Seribu tahun berganti raga pun Tsoa tidak peduli selama ia masih dapat bertemu dengan Takaoka. Apakah dia manusia yang egois?
"Hmm, apakah kau tidak kedinginan?" Suara yang berat itu membuat Tsoa sedikit terlonjak. Pikiran yang sebelumnya berkelana kini kembali berkumpul di tempat raganya berada.
Tsoa menoleh memandang seorang laki-laki bertubuh lebih tinggi darinya. Wajah laki-laki itu pucat dan memancarkan aura bijaksana dari tatapannya. Merasa familiar Tsoa mulai mengamati keseluruhan wajah laki-laki itu. Wajah yang tidak begitu tampan, rambut hitam legam, sorot mata yang tajam, rahang yang kokoh, dan hidung tinggi seperti gunung fuji. Kekasih Yuko kini berdiri di sampingnya. Apakah dia berhalusinasi?
"Hey, apakah kau mendengarkanku?" tanyanya lagi yang membuat Tsoa yakin bahwa ini bukanlah mimpi. Sepanjang hidup Tsoa menunggu ikatan takdir ini. Menunggu kesempatan untuk kembali dipertemukan dengan Takaoka. Namun, lidahkan seakan keluh. Tsoa tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Hatinya berteriak bahagia, tetapi bibirnya tidak bisa melengkungkan senyum.
"Haahhh...." Laki-laki itu menghela napas. Dia memandang ke arah yang sama seperti pandangan Tsoa sebelumnya. Mereka sama-sama terdiam. Tangan mereka yang sebelumnya terasa dingin menjadi mati rasa. Cukup lama mereka berdiam diri dan bekutat dengan pikirannya masing-masing.
"Tempat ini di mana hatiku tertinggal," ucap Takaoka sembari mendongak menatap bulan yang memancarkan sinarnya. Tsoa memperhatikan, tetapi tidak memberi tanggapan. Hati dan otaknya masih saja bertengkar menentukan siapa yang akan mengambil alih tubuhnya. Hati berkata untuk mengakui bahwa dia adalah Yuko, kekasihnya. Namun, otak berkata untuk tetap diam karena mungkin saja Takaoka sudah melupakannya.
"Malam semakin larut dan udara semakin dingin. Apakah kau tidak ingin kembali?" Takaoka kini menghadap ke arah Tsoa. Kaki Tsoa melemas saat tatapan meneduhkan itu seakan melumatnya. Bibirnya kaku, dia hanya bisa mengangguk dan ikut melangkah keluar dari area taman.
"Selamat malam," ucap Takoka sembari berbalik meninggalkan Tsoa sendirian di sana. Sebelum Takoka benar-benar menghilang, kaki Tsoa membawanya berlari menggapai laki-laki itu. Bodoh bila dia menyia-nyiakan kesempatan ini. Bodoh bila dia membiarkan kekasihnya pergi untuk yang kedua kalinya.
"Ada apa?" Takaoka berbalik saat merasa seseorang menarik mantelnya. Tsoa menunduk, jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Sepertinya sebentar lagi dia akan mati karena serangan jantung.
"A...apakah kau akan datang lagi?" Tsoa merutuki dirinya yang mengeluarkan pertanyaan bodoh itu. Sekarang Takaoka pasti menganggapnya orang asing yang aneh.
"Iya, aku akan datang lagi." Takaoka tersenyum. Senyum itu merupakan senyum yang sama seperti 20 tahun yang lalu saat Yuko pertama kali bertemu dengan Takaoka.
"Mari bertemu lagi, aku Tsoa," ucap Tsoa dengan lantang. Takaoka tertawa melihat ekspresi Tsoa yang kaku. Dia menepuk pucuk kepala Tsoa beberapa kali, setelah itu berbalik meninggalkannya. Tsoa terdiam merasakan sensasi hangat di sekujur tubuhnya. Dingin hembusan angin tidak lagi terasa. Sentuhan Takaoka bagaikan sihir penghangat untuk Tsoa.
30 menit sebelum berganti hari, Tsoa sudah kambali pulang. Dia melepas boots dan mantel yang dipenuhi titik-titik salju. Dengan langkah gontai Tsoa menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamar tidurnya. Wangi cat yang pekat dari berbagai lukisannya menyambut kehadiran Tsoa.
Tanpa membersihkan diri terlebih dahulu, Tsoa langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Bayangan wajah Takaoka yang sudah dewasa mengambil alih pikirannya. Tsoa tidak bisa membohongi dirinya sendiri, wajah Takaoka yang sekarang memang terlihat lebih tampan daripada waktu muda. Tatapan yang semakin tajam dan rahang yang semakin kokoh membuat dunia Tsoa seakan berputar di tempat. Dia sudah gila, cinta memang membuat semua orang gila. Terima kasih kepada semesta yang sudah menjawab semua doanya. Bertemu kembali dengan kekasihnya merupakan penantian yang Tsoa idam-idamkan sepanjang hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keajaiban di Kota Magome [END]
Short StoryCat warna yang dipadukan sedemikian rupa di atas kanvas membentuk wajah sepasang kekasih. Tsoa pelukis terkenal dari kota Magome menghadiri suatu acara untuk menggali latar belakang lukisannya yang berjudul Keajaiban di Kota Magome. Namun, pertanyaa...