TB

2 0 0
                                    

Matahari datang dengan cepatnya, Karina yang baru saja bisa tertidur pukul lima dini tadi, terus saja menguap meskipun kedua matanya sudah terbuka lebar.

"Pagi.." sapa Karina pada dirinya sendiri di dalam cermin."Siap untuk hari ini? Harus siap dong pastinya! Semangat lah!!" ujarnya menyemangati dirinya sendiri.

Meskipun terlihat aneh berbicara dengan pantulan dirinya sendiri, tapi Karina sudah melakukan nya sejak dia masuk ke sekolah dasar. Berbicara dengan dirinya sendiri, adalah cara yang ampuh untuk membuat dirinya semangat dalam menjalani setiap pergantian hari. Dan untuk lebih mengerti bagaimana sebenarnya dirinya sendiri. Itu yang Karina rasakan.

Karina pun masuk ke dalam kamar mandi, sampai sekitar lima belas menit, sosoknya muncul sudah dengan tampilan rapih,hanya tinggal memakai hijabnya saja. Tapi sebelum itu, Karina sedikit mengoles crem ke wajahnya yang berkulit putih pucat itu dan sedikit lipstik di bibirnya yang sama pucat nya juga. Untuk membuat wajahnya terkesan segar dan tidak mengantuk ketika dipandang.

Setelahnya baru Karina mengenakan hijab yang sudah dia siapkan lebih dulu. Hari ini Karina memilih untuk mengenakan pasminah dengan perpaduan celana panjang kulot dan kemeja polos yang panjang nya hingga persis diatas lutut.

Saat dirasa penampilan nya sudah lebih baik, barulah Karina beranjak turun ke bawah, untuk sarapan bersama. Karina mengambil tas slempangnya sebelum meraih knop pintu.

Begitu pintu terbuka, Karina dibuat membeku ditempat saat sebuah buket bunga mawar pink berukuran cukup besar berada tepat didepan wajahnya.

Karina menoleh ke samping, sosok pria tegap berpakaian formal, tersenyum tulus padanya. Karina membulatkan matanya, terkejut saat melihat sosok yang sudah lama dia nantikan kehadirannya.

"Mas Roy!" panggil nya, menghambur ke pelukannya. "Kok nggak ngomong? Sampe jam berapa?" tanya Karina beruntun.

Mas Roy, kaka kandung Karina, pria berusia tiga puluh tahun, yang sedang sibuk sibuknya mengelola bisnis keluarga hingga harus bolak balik ke luar kota, ataupun luar negara.

Mas Roy pemilik senyum yang sama manisnya dengan Karina, apalagi ditambah dengan dua buah lesung pipi diwajahnya, membuatnya semakin terlihat mempesona.

"Baru aja. Sekitar satu jam yang lalu lah. Kan, mas udah bilang, mas mau bikin supraise, padahal udah dikasih tau, masih aja kaget."

"Masa iya, mas udah ngomong? Tapi kok, aku kayanya nggak inget ya?" ujarnya merangkulkan kedua tangannya di leher Mas Roy.

Meskipun jarak keduanya yang cukup terpaut jauh, tapi kedekatannya tidak seperti jarak diumur mereka. Malah sebaliknya, Roy, selalu memanjakan adik semata wayang nya, dan selalu menganggap Karina adalah adik kecil nya yang imut dan menggemaskan, meskipun sekarang ini, Karina bukan lagi anak kecil. Melainkan gadis dewasa.

"Itumah kamu aja yang pelupa!"
Mas Roy menyubit ujung hidung Karina gemas.

"Ih. Jangan ngadi ngadi ya? Mana ada Karina pelupa!" ujarnya tak terima.

"Ngadi ngadi? Bahasa mana lagi itu?" Mas Roy menggelengkan kepala dengan bahasa yang digunakan adiknya itu.

"Ah kudet! Gitu aja nggak tau. Ngadi ngadi itu, sama kaya ngada ngada, cuman ya diganti a sama i aja." jelas Karina.

Mas Roy beroria lalu terkekeh geli."Oh, ya ampun. Gitu ya. Ternyata Mas udah ketinggalan banget ya sekarang? Mas jadi pengin tau bahasa bahasa yang lagi ngtren sekarang ini. Biar mas nggak keliatan banget kudetnya. Nanti kamu kasih tau mas ya?"

Karina ikut terkekeh, lalu mengangguk antusias."Siap! Ditangan Karina Mas pasti nggak bakal kudet!"

Mas terkekeh geli.

Karina melepaskan tangannya, lalu menerima bunga yang Mas Roy bawa.

"Mas selalu kasih bunga ke Karina. Kapan Mas kasih bunga ke calon Mas? Kok Karina sampe sekarang belum juga dikenalin yah?"

Mas Roy mencubit ujung hidung Karina lagi."Kalo yang itu, masih rahasia tuhan yah. Tunggu aja, nanti bakal mas kenalin kalo udah ada."

Karina membulatkan kedua matanya.

"Jadi mas masih jomblo?! Kok bisa sih? Ternyata punya tampang ganteng juga nggak ngejamin, ya." ucapku tertawa.

"Oh. Ngeledek nih ya."

Karina berlari mengidari Mas Roy yang mencoba untuk menggeletiknya.

"Ampun mas, ampun. Bercanda."

"Nggak ada ampun!"

..

"Yakin sampe sini aja?" tanya Mas Roy.

Melihat gerbang kampus masih cukup jauh disana. "Kenapa nggak sampe gerbang aja sih? Oh, atau jangan jangan, kamu udah punya pacar yah? Terus takut dia salah paham kalo liat kamu sama Mas, iya yah, iya?"

Karina menggeleng kuat.

"Ih nggak ada kok, jangan su'uzon. Dosa tau!"

"Ya. Terus kenapa? Alesannya apa mas nggak boleh nganter kamu sampe gerbang?"

"Nggak ada alesan. Udah ya, Karina turun dulu. Assalamualaikum!" salamnya, menarik tangan Mas Roy lalu mencium nya cepat.

"Eh! Waalaikum salam warohmatullahi wabarakatuh. Karina, Karina." Roy menggelengkan kepala melihat tingkah adik kesayangannya itu. Meskipun dia sudah tumbuh menjadi wanita dewasa, Karina masih terlihat seperti anak kecil dengan tingkah nya.

"Dah!" teriak Karina, melambaikan tangannya sembari berlari ke arah gerbang. Mas Roy tersebyun

..

Karina memasuki gerbang setelah memastikan Mas Roy sudah putar balik. Bukannya dia tak mau Mas Roy mengantarnya sampai gerbang, hanya saja. Kalau nanti Mas Roy mengantarnya apalagi dengan mobil sport nya itu. Karina takut menjadi pusat perhatian, dan timbul gosip yang tidak benar nantinya. Karna selama ini, Karina selalu menutupi jati dirinya yang sesungguhnya.

"Awas!!"

"Akh!"

Karina membulatkan kedua matanya, saat dirinya hampir saja jatuh ke selokan, kalau bukan karna seseorang yang kini menahan tangannya.

"Kalo jalan, yang bener dong! Udah dikasih dua mata juga, apa masih kurang buat ngeliat jalan yang bener apa?" ujar seseorang yang terdengar kasar.

Karina menoleh cepat, dia yang tadinya ingin berucap terimakasih sepertinya urung saat mendengar kalimat pedas itu.

"Maksud nya gimana ya Mas? Saya bersyukur dengan dua mata ini kok, tapi yang namanya orang khilaf mah wajar kali, kenapa juga masnya yang jadi sewot gini."

Ujar Karina menatap pria tinggi yang berdiri tepat dihadapannya saat ini.

"Siapa yang sewot, lo kali yang sewot! Gue mah cuman ngasih wejangan doang."

"Wejangan apaan? Ngatain mah iya."

"Itu menurut lo."

Ujarnya lalu melangkah pergi begitu saja. Seperti tidak ada yang salah darinya.
Karina menatap pria itu kesal.

Teman Bahagia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang