[ °° 𝗦𝗘𝗣𝗢𝗧𝗢𝗡𝗚 𝗛𝗔𝗧𝗜 °° ]
𐙚 Dalam perjalanan hidup, setiap orang setidaknya sekali akan bertemu dengan seseorang yang meninggalkan bekas begitu dalam, hingga waktu pun tak mampu menghapusnya. Sosok itu, meskipun hanya hadir sebentar, meng...
SEBELUM CERITA INI DIBERI JUDUL SEPOTONG HATI,CERITA INI AWALNYA BERJUDULSELAT GIBRALTAR.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
000
Di sudut dapur sederhana, seorang gadis terlihat sibuk mengaduk adonan kue di dalam baskom besar. Gerakan tangannya luwes, seolah setiap putaran membawa cerita keahlian yang tak terbantahkan. Membuat kue bukan lagi sekadar kegiatan, melainkan sebuah seni yang ia kuasai. Lampu dapur, meski hanya berdaya 7 watt, cukup memancarkan cahaya hangat, menyinari suasana malam yang tenang.
Gadis itu bernama Nataysha Inggit Mikhayla, namun ibunya lebih sering memanggilnya Inggit. Kehidupannya mungkin tak semewah dongeng, tetapi ia selalu menjadi sosok kuat dalam keluarga kecilnya. Kehilangan ayah sejak kelas 6 SD membuat Inggit tumbuh lebih cepat dari usianya. Ia menjelma menjadi pilar, menopang ibunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tak sendirian, Inggit memiliki seorang adik perempuan yang bernama Bella Andriana Kinasih. Bella adalah satu-satunya saudara yang masih ia miliki, dan panggilan itu menjadi tanda kasih sayangnya yang tak tergantikan. Bella kini duduk di kelas 5 SD, sementara Inggit sendiri tengah menyelesaikan kelas 11 SMA. Di balik senyum mereka, tersimpan kisah perjuangan yang melampaui usia mereka, membuktikan bahwa keluarga kecil itu tetap utuh meski dunia tak selalu berpihak.
"Inggit..." suara lembut itu terdengar dari sudut dapur. Seorang wanita dengan paras teduh berdiri di sana, menatap putrinya penuh kasih. Namanya Asih, sosok yang selama ini menjadi pahlawan bagi keluarganya. Dengan keikhlasan luar biasa, Asih bekerja keras sebagai tukang cuci, berpindah dari satu rumah ke rumah lain. Tak ada pekerjaan yang terlalu berat baginya, selama itu halal. Tak heran jika kedua anaknya menyebutnya sebagai malaikat tanpa sayap.
Mendengar panggilan itu, Inggit menoleh. Matanya bertemu dengan tatapan ibunya yang terlihat sendu. Ada sesuatu yang tak biasa dalam sorot mata wanita yang telah melewati banyak badai itu.
"Ada apa, Bu? Kok Ibu kelihatan sedih banget?" tanya Inggit sambil mendekati ibunya, meninggalkan adonan kue yang tengah dikerjakannya.
Asih tersenyum kecil, meski matanya berkaca-kaca. Ia menggeleng, menolak menunjukkan kelemahannya. "Ibu nggak apa-apa, Nak. Ibu cuma... minta maaf. Gara-gara Ibu, kamu sama Bella harus hidup seperti ini," ucapnya sembari menggenggam kedua tangan Inggit dengan erat.
Inggit hanya tersenyum hangat. Dengan lembut, ia menarik tangan ibunya, memeluknya erat. "Nggak apa-apa, Bu. Inggit justru senang bisa hidup seperti ini, asal Ibu dan Bella selalu ada di sisi aku," jawabnya, suaranya penuh ketulusan.
Bagi Inggit, tak ada yang lebih berharga dari keluarganya. Harta dan kebahagiaan duniawi tak akan berarti jika ia harus kehilangan ibu dan adiknya.
"Mau Ibu bantu?" tawar Asih, melepaskan pelukan itu sambil menatap putrinya dengan cemas. Sorot matanya menyapu wajah Inggit yang mulai terlihat kelelahan, kantung matanya yang menghitam semakin jelas terlihat.