Chapter 1

8 1 0
                                    

Hari ini kali pertama Eline masuk sekolah, ia terpaksa harus pindah dari sekolah lamanya. Tidaklah mudah bagi ia yang biasa hidup dengan bergelimpang harta, kini harus hidup serba seadanya.

“Ray.” Panggil kepala sekolah SMA Tridarma. “Kamu tolong antar dia ke kelas 12 C, ya? Anak baru.”

“Siap, Pak.”

Eline mengikuti langkah Ray.

“Lo pindahan dari sekolah mana?” Tanya Ray.

“Lo nggak perlu tahu.”

“Hal itu mungkin gue emang nggak perlu tahu. Tapi satu hal yang perlu lo tahu.”

Eline dan Ray sama-sama menghentikan langkahnya, Eline menatap bingung Ray.

“Lo ketemu sama gue hari ini adalah sebuah takdir.”

“Kalau gue bisa milih, gue nggak bakal mau ketemu sama cowok yang banyak tanya kayak lo.”

“Sekarang emang gue yang banyak tanya sama lo, tapi akan tiba hari di mana lo yang bertanya-tanya tentang gue.”

Eline menatap aneh lelaki itu.

Hari pertama Eline di sekolah barunya, ia mengikuti pelajaran dengan tenang. Ya sebagaimana murid baru pada umumnya, sungkan jika ingin melakukan apapun. Baru sehari Eline pindah ke sekolah barunya, ia sudah dikejutkan dengan kelakuan-kelakuan receh anak-anak 12 C.

“Baik anak-anak, pelajaran kita hari ini cukup sampai di sini dulu, ya?”

Saat Pak Edi ingin keluar kelas, tiba-tiba Jerry menahannya. “Pak, Bapak kalau tidur sama istri Bapak atau sendiri?”

“Jerry! Nggak sopan ya kamu tanya seperti itu!”

“Saya jual sutra loh, Pak. Bapak minat?”

Kelas pun menjadi ramai dengan gelak tawa yang tercampur menjadi satu.

“Jerry! Kamu makin hari makin nggak sopan ya! Setelah ini kamu temui saya!”

Pak Edi pun keluar kelas dan diikuti dengan Jerry, mereka tampak berbicara sangat serius. Seperti sedang membicarakan dokumen negara; sangat rahasia.

“Jerry, kamu jual berapa harganya?” Bisik Pak Edi pada Jerry.

“Ya ampun, Bapak. Ngomong dong dari tadi, Bapak nggak usah malu-malu sama saya. Buat Bapak saya kasih harga khusus deh, Pak.”

Mereka berdua tampak sibuk bernegosiasi. Setelah bernegosiasi panjang lebar, akhirnya terjadilah kesepakatan di antara mereka. Mereka berjabat tangan sebagai tanda deal. Tanpa disadari, ternyata anak-anak kelas 12-C yang lainnya mengintip transaksi antara Jerry dan Pak Edi.

DEAL!!!” Ucap anak-anak kelas 12-C yang sedari tadi mengintip dari balik pintu.

Pak Edi yang kala itu masih berjabat tangan dengan Jerry, segera melepaskan tangannya dan pergi ke kantor.

Setelah Jerry kembali ke kelas, ia langsung diserbu oleh teman-temannya dengan ribuan pertanyaan dan tatapan yang mengintimidasi. Mulai dari harga yang Jerry tawarkan pada Pak Edi, sampai berapa banyak Pak Edi membeli barang tersebut pada Jerry. Dan yang lebih mencengangkannya lagi, teman-temannya bertanya tentang 'rasa' favorit Pak Edi!

Saat jam istirahat, Jerry mengajak teman sekelasnya untuk makan di kantin dengan mengatakan bahwa ia yang akan membayarnya. Tak lain dan tak salah, tentu ia akan menggunakan uang hasil transaksinya tadi. Tapi Eline menolak, karena ia masih kurang nyaman dengan penampilan Jerry yang sedikit terlihat urakan itu.

Eline berjalan menuju toilet, sendirian, tapi saat dalam perjalanan ia bertemu dengan lelaki yang tadi pagi membantunya mencari kelas 12-C.

“Hai, kita tadi belum kenalan.” Ray menyodorkan tangan kanannya.

“Hati-hati, Ray playboy.” Teriak salah satu temannya.

Ray menatap tajam teman-temannya. “Jangan didengarin. Kenalin nama gue Ray, Raynald Richard. Cowok paling ganteng di kelas 12-A. Nama lo?”

“Eline.”

“Cantik, kayak orangnya. Mau ikut ke kantin?”

Eline tidak menjawabnya, ia justru meninggalkan Ray begitu saja.

“Makanya, Ray, lo itu kalau mau dekatin cewek harus atur strategi dulu.”

“Masalahnya ini bukan cewek biasa, Don.”

“Lagian lo kenapa, sih? Ngebet banget pengin kenalan.”

“Gue jatuh cinta sama dia.”

Teman-temannya mentertawakannya.

“Ray, lo aja baru ketemu dia tadi pagi, kan? Lo bisa jatuh cinta sama dia karena apa coba?”

“Gue lihat ada sesuatu yang berbeda dari dia.”

“Nggak usah sok jadi peramal. Gue lapar, lo mau ikut ke kantin nggak?”

“Lo duluan aja, gue nyusul.”

Entah hal apa yang telah menarik Ray kepada Eline, ada rasa penasaran yang begitu besar yang ingin sekali ia temukan jawabannya. Rasa penasaran yang sebelumnya tidak pernah seingin tahu saat ini. Beribu pertanyaan muncul di kepalanya, padahal baru beberapa jam yang lalu ia bertemu Eline.

“Lo kenapa, sih, ngikutin gue?”

“Lo kan anak baru, gue takut lo kenapa-kenapa.”

Tiba-tiba Eline tersenyum kepada Ray. “Lo yakin mau ikutin gue?”

Sontak Ray menegakkan tubuhnya. “Kemana pun lo pergi, gue ikut.”

“Gue mau ke toilet, masih mau ikut?”

“Ha? Ah, iya gue lupa dipanggil Bu Risa, gue pergi dulu, ya?”

Ray terpaksa pergi, padahal ia masih ingin membuntuti Eline. Sangat tidak mungkin jika Ray harus menunggu di depan toilet wanita, yang ada nanti guru-guru yang melintas di depan toilet akan menuduhnya macam-macam.

Setelah seharian dikejutkan dengan kejadian-kejadian aneh di sekolahnya, Eline pun pulang ke rumah.

Sesampainya Eline di rumah, ia marah dan membanting tutup saji yang ada di meja makanya. Ia lapar, ingin makan, namun tidak ada apa-apa. Termasuk ayahnya juga, tidak ada di rumah.

“Ah, lapar banget.” Eline berdecak kesal.

“Assalamualaikum.”

“Yah, Ayah dari mana aja, sih? Aku lapar, mau makan.”

“Kalau ada orang salam itu di jawab dulu, Eline.”

“Jawab salam nggak bikin aku kenyang, Yah. Udahlah Ayah makan aja sendiri, aku udah nggak mood.”

Ayahnya tidak tahu lagi harus dengan cara apa agar Eline tidak menjadi anak yang kurang ajar kepada orang tua, terutama orang tuanya sendiri.

Kini Eline hanya tinggal berdua dengan ayahnya karena ibunya telah meninggal saat sebelum Eline pindah sekolah. Walaupun Eline tampak tidak sopan dengan ayahnya, sebenarnya ada alasan tersendiri mengapa ia menjadi seperti itu. Jauh di lubuk hatinya, ingin rasanya berkeluh kesah dengan lelaki yang menjaganya sedari kecil itu. Namun apalah daya, rasa egoisnya jauh lebih mendominasi perasaannya saat ini.

DIMENSI RUANG DAN WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang