Chapter 2

8 1 0
                                    

Perlahan Eline mulai membiasakan dirinya dengan sekolah barunya. Kini ia memiliki dua teman yang dekat dengannya, Icha dan Acha. Icha dan Acha adalah dua gadis kembar yang saling bertolak belakang. Icha yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata berada di kelas 12-A dan Acha yang memiliki bakat di bidang tarik suara berada di kelas 12-C bersama Eline.

“Lin, temanin gue ke kelas 12-A dong. Gue lupa nih ambil buku sejarah gue di Icha.”

“Lima menit lagi kan bel masuk, Cha.”

Please, bentar aja deh, janji nggak akan lama.”

Dengan berat hati, Eline pun bangkit dari kursinya dan pergi ke kelas 12-A. Jarak dari kelas 12-C ke kelas 12-A sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja mereka yang jalan melambat karena terlalu asik mengobrol. Eline bertanya bagaimana cara membedakan antara Icha dan Acha, karena sampai sekarang pun ia masih bingung membedakan keduanya.

Dan benar saja, saat Eline dan Acha tiba di kelasnya, Bu Tifa sudah mengajar di depan kelas. Alhasil, Acha dan Eline pun tidak diperkenankan mengikuti jam pelajaran matematika.

“Ya udah, sih, Lin. Lo baru telat sekali nggak bakal juga lo dikeluarin dari sekolah.”

“Ya bukan gitu maksud gue. Gue kan posisinya anak baru nih di sini, ya kali nama gue langsung tercatat di buku merahnya Bu Tifa. Nggak lucu bang-“

Acha menutup mulut Eline dengan jari telunjuknya. “Ssttt, udah sekarang lo nggak usah banyak omong, lo ikut gue aja.”

Belum sempat Eline bertanya akan ke mana mereka pergi, Acha sudah menariknya paksa. Acha membawa Eline pergi ke kantin rahasia. Kantin di belakang sekolah. Sebenarnya bukan kantin sekolah, lebih tepatnya warung kecil yang dijadikan markas oleh anak-anak kelas 12-C. Acha menyuruh Eline memanjat pagar agar bisa keluar dari sekolah.

Sesampainya di markas itu, Eline terkejut bahwasannya bukan hanya ia dan Acha yang di sana. Budi dan Jerry, teman sekelasnya pun berada di sana juga.

“Jerry, Budi, kalian ngapain di sini?” Tanya Eline dengan ekspresinya yang kebingungan.

“Lin, mending lo duduk dulu. Jangan panik gitu, santai aja.” Jawab Budi sembari mematikan rokoknya.

“Ya nggak gitu maksud gue, nanti kalian dimarahin Bu Tifa gimana?”

“Lo sendiri? Nggak takut dimarahin Bu Tifa?”

“Ya kalau gue kan beda cerita, gue telat jadi nggak boleh masuk kelas.”

Budi dan Jerry menceritakan mengapa mereka tidak masuk ke kelas dan lebih memilih merokok di belakang sekolah, itu semua karena mereka memang tidak menyukai pelajaran matematika. Alih-alih dapat merokok dengan tenang dan tanpa ketahuan guru, tapi kini mereka justru malah harus mendengarkan ocehan Eline. Eline memberi mereka siraman rohani, menasihati mereka agar serius untuk sekolah di tahun terakhir semasa SMA.

Namun, tampaknya Eline belum mengetahui semboyan 12-C, nggak masalah nggak pinter-pinter banget, yang penting solidaritas tetap tinggi. Dan memang terbukti, walau pun kelas 12-C hampir didominasi oleh anak-anak dengan sedikit minat belajar, tetapi guru-guru menetapkan kelas mereka sebagai kelas tersolid.

Setelah kegiatan belajar mengajar selesai, Eline dan Acha seharusnya tidak pulang terlebih dahulu karena harus membersihkan toilet para guru sebagai hukuman tambahan dari Bu Tifa. Tapi Acha terpaksa harus meninggalkan Eline, Acha harus pergi berlatih vocal untuk penampilannya besok malam.

“Acha! Gue kan telat gara-gara lo, masa lo mau ninggalin gue, sih?!”

Sorry, Lin, tapi urgent banget nih. Besok sarapan lo gue deh yang bayarin.”

“Udah gue aja yang gantiin Acha.” Tanpa diundang, muncullah Kent secara tiba-tiba.

“Nah kebetulan banget. Thanks, ya, Kent? Lope-lope banget deh pokoknya. Bye-bye.”

Eline pun berkacak pinggang sembari melotot ke arah Acha. Tapi setelah ia pikir-pikir, tak ada salahnya menerima bantuan dari Kent dari pada ia harus membersihkan toilet di siang bolong sendirian. Kent yang terkesan diam di kelas, ternyata kelakuannya tidak kalah bobrok dari teman-teman Eline.

Saat mereka tengah mengepel lantai toilet, tak sengaja Kent terpeleset karena ia menginjak air sabun yang baru saja Eline tumpahkan ke lantai yang berujung saling siram. Alhasil keduanya pun sama-sama basah. Entah kenapa Eline dapat menerima Kent begitu saja, sedangkan dengan Ray? Ya tahu sendiri kan gimana. Tapi jangan salah paham dulu, maksud dari ‘menerima’ itu Eline menerima Kent sebagai temannya.

Setelah membersihkan toilet guru dan acara siram-siraman selesai, Kent menawarkan diri untuk mengantar Eline pulang. Tenang, bukan modus kok!

“Lin, lo balik bareng gue aja. Jam segini udah sepi, jarang tuh taksi atau angkot yang lewat sini.”

“Nggak nge-repotin nih?”

“Nggak, udah ayo naik aja.”

Eline pun menuruti perkataan Kent dan Kent menjadi manusia pertama yang mengetahui lokasi rumah Eline semenjak Eline pindah rumah.

Saat tiba di rumah Eline, Eline menawarkan pada Kent untuk mampir terlebih dahulu  ke rumahnya. Tetapi Kent menolak dengan alasan bahwa ia harus pergi les Bahasa Jepang siang ini. Eline pun mengucapkan terima kasih pada Kent, dan Kent segera pergi ke tempat les-nya.

Eline pun lanjut membersihkan rumah, memasak, mencuci baju, dan tak lupa pula menyiram bunga mawar kesayangannya. Setiap kali ia melihat bunga itu, ia selalu teringat akan mendiang ibunya. Ada kesedihan yang tak terungkap terlukis jelas di sorot matanya.

“Eline, hari ini Ayah nggak bisa bawa makanan enak. Kita makan pakai telur saja, ya?”

“Ayah aja yang makan, aku capek, mau tidur.”

Eline lantas meninggalkan ayahnya sendirian di meja makan. Tentu saja Eline berbohong, padahal ia sangat lapar karena belum makan sejak ia pulang dari sekolah. Tapi ia tetap saja masih belum bisa menerima keadaan bahwa ia harus hidup dengan seadanya, bukan lagi yang serba ada seperti dulu.

Tanpa sepengetahuan Eline, ayah-nya sering menangis di penghujung malamnya sebelum tidur. Begitu banyak rasa yang tercampur dalam benaknya yang selama ini ia pendam sendiri, tak pernah ia ungkapkan pada siapa pun. Tapi itulah sosok ayah, diamnya menyimpan rahasia-rahasia yang tak pernah ia bagikan.

DIMENSI RUANG DAN WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang