Chapter 3

3 1 0
                                    

Eline menunggu Acha di depan gerbang sekolah, sebenarnya ia malas tapi karena Acha adalah teman baiknya, maka Eline pun menunggu kedatangan Acha.

Lima menit…

Sepuluh menit…

Lima belas menit…

Yang dinanti tak kunjung tiba, sudah dua botol keringat Eline bercucuran karena menunggu Acha. Ia yakin bahwa Acha kesiangan (lagi) hari ini. Eline menggerutu kesal. Tiba-tiba datanglah Rudi, teman sekelas Ray. Rudi memberikan potongan kertas kecil berwarna biru pada Eline, kertas yang berisikan sebuah alamat.

Belum sempat Eline membuka kertas itu, pandangannya kini teralihkan oleh kedatangan Acha yang dengan santainya melewati gerbang tanpa rasa berdosa sedikit pun terhadap Eline.

“Hai, Lin. Lo ngapain di sini? Yuk masuk kelas.”

“ACHA!!! Lo bener-bener nggak nge-rasa berdosa sedikit pun sama gue, ya? Gue di sini nungguin lo udah hampir jadi patung!”

“Baru hampir kan? Belum jadi beneran?”

Eline menggelengkan kepalanya, heran melihat kelakuan temannya itu.

Sejak kejadian Eline bermain siram-siraman dengan Kent, entah kenapa Eline terus bertanya-tanya dalam dirinya tentang Kent. Seperti apa dia, datang dari keluarga mana, bagaimana kesehariannya, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya.

“Icha, lo kan sekelas sama Kent, dia tuh orangnya kayak gimana, sih?”

“Baik, friendly, pintar, terus dia paling kalem juga di kelas, nggak banyak tingkah gitu deh pokoknya.”

“Kalau Ray?”

“Hmm apa, ya? Asik, sih, menurut gue. Walau pun agak pecicilan, tapi otaknya main.”

“Lo kenapa, Lin, tiba-tiba nanyain Kent sama Ray?” Acha tiba-tiba menyahut.

Eline tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya.

DIMENSI RUANG DAN WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang