Chapter 6

0 0 0
                                    

Eline diam berbaring, melamun, di atas kasurnya.

Lima belas menit.

Tiga puluh menit.

Empat puluh lima menit.

Satu jam.

Lelah.

Ia lelah. Lelah dengan begitu banyaknya rasa yang berkecamuk dalam hatinya. Ada kata-kata yang ingin sekali ia keluarkan, namun bibir tak mampu mengucap. Eline hanyut dalam lamunannya. Hingga handphone-nya pun bergetar, ada nomor tak dikenal meneleponnya. Eline tidak ingin mengangkat telepon itu, ia mengira bahwa itu adalah modus 'mama minta pulsa'.

Nomor tak dikenal itu terus menghubungi Eline. Hingga panggilan ke-16 barulah Eline mengangkatnya. Setelah Eline menerima panggilan itu, betapa terkejutnya Eline mendengar suara laki-laki yang tak asing di telinganya.

Ray. Itu adalah suara Ray. Ray tak pernah kehabisan cara untuk terus mengejar Eline, salah satunya meminta Eline datang ke tempat band-nya manggung malam ini. Secuil kertas berwarna biru yang Eline terima kemarin adalah alamat di mana Ray akan manggung bersama band-nya.

Ray mengatakan bahwa ia ingin meresmikan pertemanannya dengan Eline. Jika Eline menerima Ray sebagai temannya, maka Eline harus datang ke acara tersebut. Tapi jika sebaliknya, maka Eline tak perlu membuang waktu untuk datang ke acara itu.

Eline tak berkata sepatah kata apa pun, ia hanya mendengarkan Ray berbicara dan kemudian mematikan sambungan teleponnya. Eline mengingat kembali di mana ia meletakkan kertas berwarna biru itu.

Didapatinya kertas tersebut masih ada di saku celana olahraganya, ia memegang kertas itu dan bertanya; apakah ia harus pergi atau tidak.

Malam pun tiba, Eline memutuskan untuk pergi ke acara tersebut. Ia mengenakan jeans berwarna hitam polos dan kaos putih oblong serta tas mungil untuk menyimpan handphone-nya. Simpel namun tidak terlihat norak.

“Yah, aku mau pergi. Kalau aku belum pulang, Ayah nggak perlu telepon-telepon aku. Aku bisa pulang sendiri.”

Belum sempat ayahnya menjawab ucapan Eline, Eline sudah tak lagi tampak batang hidungnya. Ayahnya heran melihat kelakuan putri semata wayangnya itu.

Sesampainya Eline di tempat acara, ia dikejutkan dengan adanya Acha di atas panggung. Ternyata Acha dan Ray tergabung dalam grup musik yang sama. Acha sebagai vokalis dan Ray sebagai gitaris.

Eline menikmati lagu yang dibawakan band tersebut dari awal hingga akhir.

Saat acara selesai, Ray segera turun dari panggung dan menemui Eline. Acha yang saat itu juga melihat Eline, ia ikut menghampiri Eline yang kini tengah berada di sudut panggung bersama Ray.

“ELINE!!!”

“Hai, Cha. Penampilan lo tadi keren banget.”

Really? Thank you. By the way, lo kok tahu gue manggung di sini?”

“Gak usah ge-er, gue yang undang Eline, dia ke sini mau nonton gue bukan lo.” Tiba-tiba Ray menyahut.

“dii ki sini mii nintin gii bikin li.” Ucap Acha menirukan perkataan Ray.

Acha pun memberi waktu mereka untuk berdua. Ia izin untuk pulang duluan karena Icha sudah menjemputnya di depan. Lagi pula mamanya sedang sakit, jadi ia harus segera pulang setelah manggung.

Ray mengajak Eline menepi, mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol. Ray menceritakan bagaimana ia bisa bergabung dalam grup musik itu. Kata per kata keluar begitu saja dari bibirnya, ia bercerita seakan sudah akrab dengan Eline sejak zaman batu.

Entah ilmu apa yang Ray gunakan untuk meluluhkan hati Eline hingga Eline terhipnotis untuk mendengarkan dengan serius setiap kata yang terucap oleh Ray.

Saat Ray berada di atas panggung tadi, Eline sengaja mengambil beberapa foto Ray yang tampak amat sangat gagah dengan kaos berwarna hitam disertai dengan gitar yang ia mainkan.

“Oh iya, gue tadi ambil beberapa foto lo loh. Lo mau lihat nggak?”

“Boleh.”

Eline pun menunjukkan foto tersebut pada Ray.

“Gila, ganteng banget gue!” Ucap Ray dengan ke-pe-deannya.

“Idih, harusnya lo minta pendapat ke gue lo itu ganteng atau nggak. Bukannya malah muji diri sendiri.”

“Iya udah. Lin, gue ganteng nggak?”

“Nggak.” Eline menjulurkan lidahnya, mengejek Ray.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 22:07. Eline segera bergegeas untuk pulang. Tentu saja Ray yang mengantar. Awalnya Eline ingin menolak, tapi risiko jika ia menolak ia tidak akan dapat taksi semalam ini. Akhirnya Eline pun mengiyakan tawaran Ray untuk mengantarnya pulang.

Mulai hari ini, Ray dan Eline resmi berteman.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DIMENSI RUANG DAN WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang