Epilog

3 1 0
                                    

"Halo Gio."

Sebab Salsa akan selalu menyebut namanya ketika mengingat sosok hangat yang selalu tersenyum untuk dirinya. Sebab waktu tak akan mampu mengalahkan seruan rasa yang masih menggebu-gebu di dalam hatinya untuk satu nama yang tak pernah absen menariknya dalam dekap hangat yang selalu ia rindukan.

Pagi itu sinar mentari yang hangat menjalarkan setitik harapan, pada senyum lebar perempuan cantik dengan bandana merah di rambutnya. Buket bunga tulip merah ada di dalam genggamannya dan dengan langkah tegasnya ia berjalan menelusuri jalan kecil menuju sebuah tempat kekasih hatinya tertidur.

Salsa berhenti tepat di depan batu nisan yang mengukir nama seseorang yang sangat ia cintai dan rindukan kehadirannya. Nama yang tidak pernah ia lupakan di setiap untaian doa yang selalu ia panjatkan kepada Tuhan. Dia Gionya. Gio yang membawanya mengenal arti cinta, bahagia, dan patah. Sekarang, ia berdiri dengan percaya diri dan senyum merekah yang membuat mata itu, memancarkan sinar kehangatan sehangat mentari pagi yang saat ini menemaninya.

Menundukkan badanya untuk menaruh buket bunga tulip ke atas batu nisan dan mendudukkan dirinya di samping batu tersebut. Mengusap lembut nama yang terukir indah di atasnya.

"Aku kangen," lirihnya masih dengan senyum yang berusaha ia pertahankan. Ia berjanji untuk tidak ada tangis yang tumpah hari ini. Ia berjanji untuk hanya ada senyum di hari bahagianya ini.

"Kamu harus kasih penghargaan buat aku, karena aku sekarang adalah Dokter Salsa Spesialis Anak. Gimana? Kamu pasti makin jatuh cinta sama aku," ucapnya penuh percaya diri.

Mengingat lagi perjuangan yang telah ia lalui selama bertahun-tahun untuk sampai ke titik ini, ke titik dirinya yang baru dengan harapan baru yang tergenggam kuat dalam dekapannya.

"Cita-cita kamu tuh susah banget di raihnya, tapi ternyata aku berhasil dan ini benar-benar sesuatu pencapaian yang membanggakan buat aku." Senyum itu merekah semakin lebar mengiringi setiap untaian kata yang terucap dari bibirnya.

"Kamu kaget ngga si sama aku yang sekarang? Jujur aja aku kaget banget si, padahal dulu aku ngga pernah kepikiran sama sekali buat jadi dokter. Bayanginnya aja udah males banget, bikin pusing dan aku males belajar..." jeda sejenak sebelum Salsa melanjutkan ucapannya dengan sedikit tercekat. "Tapi cuma ini, satu-satunya bagian dari kamu yang bisa terus aku genggam dengan nyata. Mimpi kamu yang selalu berhasil bikin senyum kamu jadi lebar banget setiap kita ngomongin itu. Dokter dan anak-anak adalah bagian dari kamu yang ingin aku miliki. Karena aku yang ngga bisa memiliki kamu tetap memilih egois untuk ingin memiliki sesuatu tentang kamu, walaupun hanya mampu memiliki mimpimu."

Salsa berusaha dengan segenap hatinya untuk tidak meneteskan bulir-bulir yang seakan berteriak ingin terjun bebas mengaliri pipinya. Ini ternyata jauh lebih sulit dari bayangannya. Semua hal tentang Gio memang tidak pernah mudah untuknya. Namun tetap saja, Salsa hanya ingin menampilkan senyum terbaiknya hari ini.

"Aku minta maaf sama kamu, karena sempat ingin melupakan semua hal tentang kita. Dan terima kasih, karena di saat aku ingin berlari mengejarmu kamu justru mendorongku dan membuatku terbangun lagi." Salsa mengingat lagi tentang tidur panjangnya kala itu, tentang keinginan kuatnya untuk menyusul pangerannya pergi.

"Maaf, karena aku ngga bisa menjadi Juliet untuk kamu." Salsa tertawa kecil mendengar omongan konyolnya sendiri, "Kamu juga pasti benci banget waktu aku pengen jadi Juliet. Sekarang, kamu emang udah jadi Romeo buat aku. Tapi, aku ngga bisa jadi Juliet buat kamu."

Salsa berdiri dan mendongakkan kepalanya untuk menahan bulir-bulir air yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Terus berada di sini dan ia hanya akan melanggar janjinya untuk tidak menangis. Jadi dia memutuskan untuk menyudahinya sampai di sini. Cukup sudah untuk hari ini.

"Aku janji sama kamu, akan terus menjadi Salsa yang lebih bahagia setiap harinya," ucapnya mengakhiri pertemuannya hari ini sebelum berbalik pergi meninggalkan batu berukir nama yang terus terpatri erat dalam hatinya.

Langkah terhenti ketika ia ingat bahwa ada sesuatu yang terlupakan. Ia pun lantas berbalik, mengeluarkan sepucuk surat berwarna merah dan meletakkan tepat di atas batu nisan Gio.

"Ini hadiah untuk kamu, cerita yang tak mampu kusuarakan tetapi ingin aku sampaikan."

***

"Udahan pacarannya?" tanya Dion yang berdiri kesal di samping mobilnya. Ia kesal karena Salsa tidak mengizinkan dirinya ikut menemui adiknya.

Salsa tertawa kecil melihat gurat kekesalan di wajah tampan Dion.

"Kenapa? Jangan bilang kamu cemburu sama adik kamu sendiri," candanya dengan mata menyipit penuh selidik.

Dion terkekeh melihat wajah menggemaskan Salsa dan ucapan konyolnya. Dia berjalan mendekat dan merengkuh tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Mencium lembut kepala Salsa dan mengusap rambutnya dengan penuh kasih sayang.

"Mana mungkin aku cemburu, dia emang Romeo buat kamu, tapi aku... is your future husband."

***

Dear my romeo

Halo Gio

Ini adalah ungkapan hatiku yang tak mampu kusuarakan, kusampaikan secara tersurat untukmu agar kau mengerti tentang isi hatiku yang sesungguhnya.

Aku rindu senyuman hangatmu, rindu tatapan lembutmu, dan rindu dekapan nyamanmu. Bagiku kamu adalah rumahku, tempatku berkeluh kesah meluapkan segala amarah yang kupendam. Kamu adalah arahku, kamu adalah tujuanku. Setiap doa yang kupanjatkan kepada Tuhan hanya tentang aku dan dirimu. Malam ketika aku selalu berdoa, memohon kepada Tuhan untuk menjadikanmu milikku selamanya. Setiap harapku, setiap anganku, setiap doaku, semua itu hanya tertuju untuk satu nama, yaitu kamu. Gio Gezrandia. Laki-laki yang selalu mampu membuatku jatuh tak berdaya dalam pesonanya yang begitu memikat. Hingga kugantungkan setiap asa yang kuimpikan kepada dirimu.

Namun entah betapa kejamnya takdir yang datang kepadaku. Hingga dengan begitu teganya membawa pergi dariku. Lalu, setelah kepergianmu, aku harus apa? Aku harus bagaimana? Sedangkan hadirmu adalah candu untukku. Bagaimana aku hidup setelah kamu pergi? Bukankah kamu berjanji untuk selalu ada? Lalu kamu dengan seenaknya mengingkarinya, menjatuhkan diriku ke dalam jurang pesakitan yang begitu kelam, pekat, menakutkan, dan seperti tak memiliki ujung. Aku tersesat. Aku tak tahu ada di mana. Aku tak tahu harus melakukan apa. Selain menangis dan meratapi kepergianmu dengan begitu menyedihkan.

Setiap malam yang kulalui tak ada lagi dihiasi oleh mimpi indah yang biasa diisi oleh wajah tampanmu. Semuanya berubah. Hanya ada mimpi buruk yang selalu menghantui setiap malamku. Tak ada bisikkan cinta pengantar tidur yang kudengar dari suaramu, hanya ada suara dentingan jam yang seolah mengejek kehilanganku akan dirimu. Detik-detik waktu seolah berjalan begitu lambat, menyiksaku dengan kenyataan bahwa kamu tak ada lagi di duniaku.

Pernah suatu pagi aku berdiri menantimu, seperti orang bodoh yang menunggumu di depan gerbang rumahku. Menantimu dengan seribu harapan yang tak akan pernah terwujud. Berharap dapat melihat motor hitammu terparkir di depan rumahku. Berharap dapat melihat senyum hangatmu. Berharap dapat mendengar suara indahmu. Berharap dapat melihat tatapan lembutmu. Berharap dapat menyentuh paras tampanmu. Namun satu kenyataan menamparku dengan begitu kejamnya. Menyadarkanku bahwa kamu tak lagi ada. Bahwa semua yang kuinginkan hanyalah sekadar halusinasiku. Bahwa semua yang kulalui dengan tak lebih dari buaian mimpi yang tak pernah nyata.

Lagi dan lagi aku hanya mampu menangis pilu, menatap nanar jalanan yang kosong tanpa bayangmu. Tangisku pecah, ingin aku berteriak kepada siapa pun yang ada di dunia ini. Kenapa satu-satunya kebahagiaan yang mampu kudekap harus terlepas juga? Apa aku tak diizinkan untuk bahagia? Apa salahku? Aku sungguh tak mengerti dengan jalan takdir yang begitu kejam.

Namun akhirnya kuputuskan untuk berhenti. Berhenti menangis, berhenti bersedih, berhenti mempertanyakan takdir yang aku jalani. Kuputuskan untuk terus berjalan, meniti lagi satu persatu asa yang sempat kujatuhkan. Tak mudah memang, tetapi aku yakin aku bisa. Dengan namamu yang terus kuucapkan dalam hatiku. Kamu dan segala hal tentang dirimu akan selalu memiliki ruang khusus di dalam hatiku. Terima kasih, telah menjadikan aku seorang perempuan paling beruntung di dunia ini. Memiliki laki-laki yang mencintaiku hingga akhir hidupnya. Aku mencintaimu. Selalu. Selamanya. 

Dear My RomeoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang