Kantin

73 8 2
                                    

Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata kantin? Apa yang akan kalian lakukan ketika sedang di kantin.

Banyak hal yang bisa dilakukan, terkhususnya bagi Arlan, siswa paling kocak di SMK Semesta.

🔥 Baca ceritanya sekarang!

*****

Setelah keluar dari ruangan Pak Didi, kini Arlan berjalan menuju kantin untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan sedari tadi. Kali ini dia hanya mendapatkan peringatan keras dari kepala sekolah karena sudah mengirimkan surat kepada Bu Nanda. Arlan Herdi Kusuma, itulah namanya. Sudah berumur 18 tahun, tetapi masih jomlo. Miris. Siswa kelas XII TGB (Teknik Gambar Bangunan), SMK Semesta.

Manusia setengah waras ini sering bikin orang di sekitarnya pusing, apalagi kalau sedang di sekolah. Entah itu karena hal-hal konyol yang Arlan lakukan atau bahkan perkataan kurang jelas dari mulutnya. Kalau ada yang bilang Arlan tak sama dengan manusia pada umumnya, mungkin orang itu patut dicap pintar. Terkadang, tingkat keseriusan Arlan tak pernah ada yang bisa menduga.

Arlan yang sedang berjalan di sepanjang koridor seketika bergeming kala melihat kecantikan luar biasa dari salah satu siswi di depannya. Senyumnya terukir menjijikkan lantaran siswi yang disenyumi langsung bergidik geli. Kakinya perlahan kembali melangkah dengan mata yang terus tertuju pada siswi itu dan―Bruak!

“Aduh! Sialan. Siapa yang pindahin tiang ke sini?!” umpatnya kesal sembari menepuk tiang bangunan kelas yang baru saja ditabrak.

“Enggak apa-apa?” tanya siswi itu pada Arlan. “Kalau sakit langsung pulang aja, minta izin sama guru, sekalian enggak usah masuk sekolah lagi mulai besok.” Siswi itu terkekeh sesaat.

Sementara, Arlan yang merasa sedikit malu bergegas meninggalkan siswi itu menuju kantin sambil menggerutu tidak karuan. Arlan berkacak pinggang setelah sampai di kantin―yang saat itu sedang ramai. “Udah kayak pasar malam aja nih kantin,” ujarnya memandang semua orang. Arlan berjalan menuju kursi kosong yang berada di pojok belakang.

“Bu, Arlan mau pesan seperti biasa!” teriak Arlan pada Bu Cantika, penjaga kantin, untuk memesan makanannya.

“Iya!” balas Bu Cantika yang sudah mengerti.

Tak lama kemudian, Bu Cantika membawakan pesanan Arlan. Dua pempek kapal selam selalu menjadi makanan favoritnya di kantin ini. Ditambah dengan kehadiran segelas es teh manis membuat dia nyaman duduk di tempatnya.

“Terima kasih, Bu.” Arlan tersenyum pada Bu Cantika.

Bu Cantika bergidik geli. “Enggak usah senyum, merusak mata,” ejeknya.

“Ibu itu kalau ngomong sesekali enggak usah terlalu serius biar gak nyakitin.”

“Biarin!” Bu Cantika langsung berjalan kembali ke tempatnya.

Sambil menikmati makanannya, Arlan menatap layar ponsel yang menampilkan daftar lagu. Jarinya terus mencari lagu yang pas untuk menemani suasana makan saat ini. “Nah, ini pas,” katanya kemudian. Lagu dangdut yang suara penyanyinya sudah khas di telinga masyarakat Indonesia terdengar. Arlan bernyanyi sebisa mungkin.

“Sayang opo kowe krungu jerite atiku?
Mengharap engkau kembali
Sayang, nganti memutih rambutku
And heavy rotation―”

“Makan sekoteng, dicampur kedondong. Anak ganteng, mau gabung, dong.” Entah dari mana kedua temannya itu datang, seketika Martin langsung memotong ucapan Arlan dengan pantun. Lagu campuran itu terhenti.

Arlan menghela napas malas. “Ganggu orang lagi nyanyi aja lo, Tin.” Arlan mematikan kembali musiknya. Dia mengobrol sembari menikmati makanannya.

“Ngapain juga lo nyanyi-nyanyi gak jelas di sini? Emang toilet penuh, Lan?” Edi langsung menimpali perkataan Arlan.

“Iya, penuh. Keluarga lo semua di dalam toilet!” ketus Arlan. Kedua matanya beralih ke Martin. “Ini lagi si Matin. Lain kali kalau dateng enggak usah sok pantun segala, berisik. Lagian ngaku ganteng, sama Edi aja lo masih kalah, Tin. Sering-sering ngaca,” ejeknya yang membuat Edi tergelak puas.

“Lo gak tahu aja kalau gue sering ngaca di rumah. Gue kalau ngaca di rumah itu pasti mirip Salman Khan,” bela Martin, yang langsung menunjukkan senyumnya.

“Jelas miriplah, kacanya aja lo tempelin poster Salman Khan,” celetuk Edi lalu tergelak puas. Arlan pun juga ikut tergelak.

Inilah ketiga orang yang sebenarnya memiliki tingkat pemikiran, kepedean, kepintaran, dan ketampanan tidak jauh berbeda. Meskipun begitu, tetapi mereka tetap merasa nyaman apa adanya. Terkadang, ketiga orang ini selalu membuat orang di sekitar mereka tertawa karena tingkah dan kelucuan yang dihadirkan. Ketiganya pun sudah berteman sejak kelas sepuluh dan entah akan terjalin sampai kapan.

Satu hal yang perlu diketahui dari mereka adalah ketiganya ini masih jomlo dan sulit untuk mencari pacar. Mungkin untuk dekat dengan cewek hanya Arlan yang mampu, itupun karena cewek tersebut sudah berteman dengannya sejak kecil.

“Hari ini kalian lihat Keysa, gak?” tanya Arlan kemudian pada dua temannya.

“Enggak, Lan. Emang kenapa?” Edi menimpali.

“Enggak apa-apa, sih.” Arlan kini sudah selesai dengan makanannya, dia fokus mengobrol sama kedua temannya. “Oh iya, masalah lomba stand up comedy dan puisi kenapa nama gue yang tertera?” Arlan menatap tajam ke arah Edi.

“Edi yang nulis nama lo, Lan,” aku Martin begitu saja.

“Ah, kampret emang lo, Di!” Arlan menatap wajah Edi kecewa.

Edi menyengir tak jelas di hadapan Arlan. “Udah telanjur juga, Lan. Enggak bisa dibatalin lagi, yang ada entar malah kelas kita kena marah kalau gak ada perwakilan. Gue sebagai ketua kelas gak mau dipanggil ke BK,” jelasnya.

“Dipanggil Yang Maha Kuasa mau lo?!” sanggah Arlan cepat.

“Tenang, jangan emosian gitu, Lan. Gue yakin kalau lo pasti bisa. Sekalian entar gue undang Limbat buat ngajarin lo puisi dan stand up, gimana?” Martin kembali menimpali.

“Otak lo emang kudu diinstal ulang kayaknya, Tin. Gue yakin kalau otak lo udah virusan. Mana bisa Limbat ngajarin gue puisi sama stand up, lo ada-ada aja.”

“Kan, lo bisa minta bantuan sama Keysa, Lan,” saran Edi.

Arlan tersenyum mencerna perkataan Edi dengan baik. Ada benarnya juga Edi memberikan saran kali ini. “Lo bener juga, Di. Entar gue mau minta ajarin sama dia, tapi kalau untuk hari ini kayaknya enggak dulu.”

“Kenapa?”

“Tadi pagi gue sengaja ninggalin Keysa pergi sekolah duluan, Di. Sekarang, tuh, anak pasti lagi nyariin gue. Untung tadi gue dipanggil Pak Didi ke ruangannya, jadi bisa menghindar dari amukan Keysa.”

“Lah, dipanggil Pak Didi dibilang beruntung?” Martin menatap wajah Arlan heran.

“Terserah gue, Tin. Mending lo diam aja dulu!”

Tiba-tiba saja bel masuk berbunyi. Ketiga siswa itu segera meninggalkan kantin untuk kembali ke kelas setelah Arlan membayar pesanannya tadi. Namun, di tengah perjalanan Arlan terkendala dengan perutnya yang tidak bisa diajak kompromi. Edi dan Martin segera meninggalkan Arlan yang sudah bergegas menuju toilet.

Lima menit kemudian, Arlan kembali keluar. Dia meneruskan langkah menuju kelas. Akan tetapi, beberapa meter di hadapannya sudah berdiri Keysa―yang menatap tajam sembari berkacak pinggang. Cewek itu sedang menunggunya dengan raut wajah kesal. Arlan melafalkan doa dalam hati supaya Keysa kali ini bisa berbaik hati dengannya.

“Sialan ada Keysa di depan,” gerutu Arlan pura-pura tak melihat Keysa.

Perlahan Arlan berbalik badan hendak melangkah pergi mencari jalan lain untuk ke kelasnya. Namun sayang, cewek itu berlari cepat menghampiri dan langsung menahan pundaknya. “Mati gue!” Arlan menepuk kening pasrah.
_______________________________

Bersambung...

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar.

Ada Apa Dengan Arlan? [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang