Prolog

79 9 7
                                    

To : Bu Nanda.
From : Arlan Si Manusia Super.

Assalamualaikum. Waalaikumsalam. Arlan tahu kalau Bu Nanda pasti akan membalas salamnya, makanya Arlan wakilkan lebih dahulu. Di pagi yang sangat gelap ini, karena ada Martin dan Edi di samping, Arlan mau menyampaikan pidato singkat atas kepemilikan lahan seluas ... berapa, ya? Maaf, Arlan lupa. Yang pasti lahan itu disebut hati.

Dengan datangnya surat ini, meski tak dijemput dan pulangnya nanti tak diantar, Arlan mau memastikan kalau hati Bu Nanda masih sepi tak berpenghuni. Jangan memandang tulisannya jelek, karena tulisan ini mengikuti orangnya. Maklumin saja, Bu, meski terpaksa.

Meski tak ada pelangi di malam hari, tapi ada Bu Nanda yang membuat bahagia. Senyum Bu Nanda itu ibarat tumpukan uang seratus ribu satu truk, bisa bikin orang yang sengsara langsung bahagia luar biasa.
Jangan lelah buat mengajar di kelas kami, ya, Bu. Arlan janji akan mengamankan para siswa yang melirik Bu Nanda sepanjang jalan. Jangan juga fobia mengajar di kelas kami karena melihat wajah Arlan, Edi, dan Martin. Meskipun Arlan tidak seganteng personil Super Junior, tapi urusan hati jangan diragukan lagi, Bu. Apalagi masalah pasangan, ya ... dari lahir jomlo.

Ini Arlan jujur apa adanya, Bu. Ya, meskipun sambil menangis karena kaki pura-pura diinjak sama Martin, biar feel sedihnya dapat gitu. Jujur dari DNA yang paling dalam, Arlan mau jadi penggemar nomor satu Bu Nanda di SMK Semesta ini. Boleh, kan? Arlan sudah meminta Edi untuk pura-pura menjadi Bu Nanda, mewakilkan menyetujui permintaan itu. Kata Edi boleh. Alhamdulillah.
Terakhir, Arlan mau pergi ke kantin dulu, ya, Bu. Tenaga ini perlu diisi, pikiran ini perlu ditenangkan. Bukan tidak lain karena Arlan enggak mau sakit, nanti yang ada sulit untuk memikirkan Bu Nanda. Dah ... enggak perlu melambaikan tangan, karena bukan acara perpisahan di halte bus atau stasiun.

“Kamu tahu gak apa yang kamu tulis itu salah?!” tanya Pak Didi, kepala sekolah, yang baru saja selesai mendengarkan Arlan membacakan isi suratnya. Suara Pak Didi menggelegar sampai keluar ruangan. Sementara, Arlan yang berada di hadapan Pak Didi tertunduk seolah sedih.

“Kalender mana yang sudah kamu sobek buat dijadiin amplop surat ini?! Mana ada gambar promosi sabun colek segala!” Perkataan Pak Didi membuat Arlan menahan tawanya sekuat tenaga. Arlan masih diam tak mau menjawab.

______________________________

Bersambung...

Ada Apa Dengan Arlan? [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang