Antologi cerpen, puisi dan quotes mengenai makna maaf dan terima kasih. Dua hal yang terkadang dianggap sepele dan terlupakan. Dua hal tersebut, maaf dan terima kasih seakan menjadi sebuah garis yang sama. Menjadi sebuah dimensi yang sejalan dalam d...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pada sebuah peron di stasiun yang tak pernah kehilangan ramainya, antrean orang-orang yang berjejalan, memenuhi loket tiket dan bangku ruang tunggu yang dipenuhi dengan muka-muka mereka yang pucat dan pada beberapa kursi terlihat sebegitu berkarat. Sebagian orang memilih membuka barang bawaan mereka, membuka bekal yang dibungkus dengan daun pisang yang menambah khas harum yang menambah nikmat; nasi timbel, tempe goreng, sambal madu, kerupuk udang, dan rempeyek. Masih tak asing mereka dengan musim yang tak lagi menyuarakan hujan, seakan-akan mereka menyantap bekal yang dibawa dengan sinar mentari menembus kerongkongan mereka, yang kian lama semakin mengering dan terkapardahaga.
Lelaki berkaus biru—Ariyan—dengan jaketnya yang ia tenteng, mendudukkan dirinya pada sebuah bekas tembok yang lapuk. Sisa-sisa napas yang mengendap, bekas bangunan stasiun tua yang terlihat angker, dan bekas-bekas botol dengan cap Orang Tua berserakan. Matanya menjelajah pada sudut kota yang tampak kering, para pemulung dan pengemis yang menjelajahi batas kota dengan jutaan ingar bingar dan kebisingan suara klakson yang merekatemui.
Siang ini ia memutuskan untuk mengunjunginya di seberang sana, entah apa yang membuatnya ingin segera bertemu dengan seseorang yang telah lama hilang dalam hatinya. Sepertinya ia tak mampu lagi menahan rindunya seorang diri. Berbekal secarik kertas yang berisi alamat sosok itu tiga tahun yang lalu, tekadnya sepertinya sudah bulat untuk menemui sosok itu. Tiga jam perjalanan menuju batas kota untuk menaiki kereta bukanlah perjalanan yang sulit karena ia tak henti-hentinyamemikirkannya.
Ariyan menuju sebuah kursi panjang yang begitu pucat, tepat di kursi tiga tahun yang lalu duduk bersamanya menanti kereta keberangkatan, dengan pikirannya yang berkecamuk dan sulit diartikan. Dari kejauhan, ia lihat kereta yang akan ia tumpangi mulai berjarak dekat. Saat mulai benar-benar berhenti, banyak penumpang yang hendak ke kotanya turun dengan teratur.
Ariyan mengambil koper dan menyeretnya menuju pintu masuk kereta, tetapi tiba-tiba langkahnya berhenti. Di hadapannya, tepat di depan matanya yang sebegitu senja pada hari yang cerah ini, tatapannya layuh.
Ariyan melihat sosok itu tersenyum bahagia. Sosok itu adalah Rin, yang berdiri menanti seseorang yang sepertinya masih berada di dalam kereta. Lelaki asing turun dan langsung menggenggam jemari Rin. Lelaki asing itu mengecup Rin dengan mesra, kemudian membawakan tas yang lumayan besar.
Tepat di hadapanku, kamu datang menepati janjimu. Kamu berjanji menemuiku untuk membawa kabar bahagia. Ya, bahagia. Kamu, bukan aku, batin Ariyan.
Wajah perempuan itu terkejut saat tatapannya menangkap sosok Ariyan tepat di arah matanya. Genggaman jemarinya yang begitu erat di jemari lelaki itu terlepas, wajahnya tak lagi memperlihatkan bahagia dan berseri seperti sesaat sebelumnya.
Perlahan perempuan itu mendekat dan semakin mendekat, langkah kakinya teratur mendekati tatapan yang teduh milik Ariyan. “Yan, hendak ke mana? Apa kamu hendak bekerja di luar kota?” tanya Rin. “Yan?” tanya Rin kembali, mencoba menyadarkan Ariyan yang tak bergerak sedikit pun. “Aku hendak ke Surabaya. Aku duluan, Rin!” seru Ariyan sambil menyeret kopernya dan pergi. “Yan, tunggu!” ujar Rin, tak dihiraukan sama sekali oleh Ariyan.
Ariyan sempat naik sebentar, memastikan Rin dan lelaki yang bersamanya menghilang sampai akhirnya Ariyan turun kembali, tepat saat detik-detik kereta akan melaju.
Ariyan menggusur kopernya, menuju sebuah bangku tunggu yang telah memucat. Diam sebentar, rupanya amat sakit bila justru sekarang ia duduk di bangku itu. Kereta melaju dan melesat semakin jauh, sampai tak terlihat sedikit pun. Ia memilih tuk menyeberangi jalan kereta, memapah langkah kakinya yang terasa berat. Hanya tersenyum perih yang bisa ia lakukan. Betapa bodohnya, sekian lama mereka tak bertemu, sangat tak mungkin tak ada perihal melupakan.
Begitu terlukis wajah sosok itu, senyum dan tawa Rin di peron itu meski hiruk pikuk orang yang datang dan pergi silih berganti. Kini hari mulai larut pergi, senja di batas kota memayungi lara, kepergian yang terlukis nyata dan penantian yang menjadi abu.
Terima kasih, lara, batin Ariyan, mencoba melawan rasa sakitnya. Maafkan aku, hati. Aku belum bisa membuatmu bahagia, ujarnya kembali, teramat sendu. Senja di batas kota menjadi saksi bisu perihal ruam genggam dan ruai waktu. Semuanya terangkum menjadi sebuah senyum diiringi sambutan dan kedatangannya yang diiringi dengan senyum kepedihan. Langit yang menjingga menjadi saksi bisu hilangnya mimpi dan hasrat seorang lelaki yang menanti dengan sabar malamnya pulang. Saat kini ia memuja siang, perihal waktu yang kini menghapus harapan menjadi sebuah kenyataan. Senja yang hilang setelahnya, tanpa malam-malam yang datang. Pada akhirnya peron menjadi sebuah lukisan kepergian meski teramat jelas terlukis diwajahnya.