Ruam

2 1 0
                                        

Ruam
Oleh: frasa____

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, di sudut kafe ketika aku berpeluh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, di sudut kafe ketika aku berpeluh. Namun, tak bisa mengeluh, kecuali pada petikan suara jam yang tak juga melenguh. Sepuluh jam yang lalu ada yang berjanji akan datang. Kuharapkan di kafe itu senyumnya akan mengembang ketika melihatku melayani konsumen. Karena kamu berkarisma, katanya.

Biasanya aku dan dirinya akan menghabiskan waktu dengan percakapan saat jam-jam kerjaku habis dan larut malam mulai berselimut. Saling bertatapan. Saling bertukar pikiran. Harapan untuk bisa merapat dan berdekapan di suatu tempat yang jauh dari kegaduhan. Namun, sebenarnya hatiku selalu gaduh. Ketika di depannya, aku mengaduh karena setelahnya aku akan mengeluh, bertanya, ke manakah hubungan ini akan berlabuh? Aku tak menginginkan kita hanya sebatas teman.
“Kenapa perlu dipertanyakan, Joes? Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidaktahuan yang memabukkan,” ujarnya dulu.

Aku bukan orang yang mengerti bahasa isyarat. Apalagi, kalau itu mengandung makna berat. Aku hanya tahu karena aku merasakan debaran yang amat kencang dalam dada. Bukan karena teori-teori yang tercantum dalam buku-buku yang sering ia baca, buku tebal tanpa gambar satu pun. Aku hanya mau mencintaimu. Apakah lewat lembaran-lembaran bukumu itu baru cinta bisa dicerna? Ah ... tidak. Nalarku berbicara, aku harus semakin tegas membahas semua ini. Ia selalu menyebutkan nama-nama orang terkenal yang sama sekali aku tak mengenalnya. Ia selalu menyebutkan nama-nama yang bahkan di dalam kepalaku pun tak akan lama mengental.

“Bukankah kamu ingin melihat kunang-kunang, Amelly?” tanyaku.
Ia semasa kecil hidup di pusat kota, amat sangat jarang kunang-kunang bertamasya di sana. Dulu, semasa kecil, ia memang pernah terpesona dengan makhluk yang hanya ada dalam buku-buku dongeng. Cahaya kuning yang terpancar dari kunang-kunang yang aku masukkan ke stoples bercahaya, membius pucat. “Ini kunang-kunang istimewa, kudapatkan sebelum rintik hujan!”
“Percayalah, di sana nanti kau akan menjumpai langit yang megah dipenuhi jutaan kunang-kunang.”

Sayangnya, semuanya berubah. Kunang-kunang itu tak lagisebagai cahaya yang istimewa, tak lagi sebagai makhluk kecil yangistimewa, seperti yang dikatakan dahulu. Ini jelas bukan kota yangada dalam cerita saat ia membawa seseorang. Ia mengenalkannyapadaku, tangannya terpaut. Aku jatuh dalam pelukan angin yangmembisikkan cibiran, apalah artinya aku menunggu? Apalah artinyaaku memantaskan dan berhak lebih percaya bisa mendapatkanmu?“Bagaimana, Joes? Hei, kenapa kau bengong?” tanya Amelly.
“Eh ... tidak. Apa, Amelly?” “Bagaimana Steven menurutmu?”
“Bagaimana apanya? Aku yakin pilihanmu selalu istimewa, Amelly!” ujarku seraya tersenyum hangat pada lelaki bernama Steven itu.
“Senang bisa berkenalan denganmu, Joes!” ujar Steven kemudian.
“Jagalah Amelly, Stev. Dia akan menangis jika kelaparan, haha!”
“Shit, Joes, kau membocorkan sesuatu yang memalukan!” gerutu Amelly.

Lalu, kini, kedua tangan yang terpaut itu keluar dari kafe tempatku bekerja. Aku menelan ludahku dalam gersang, tepat ketika kafe telah tutup. Aku bergegas berbenah, merapikan persediaan bahan. Selain menjadi pelayan, aku juga menjadi pembantu staf inventaris. Sebelumnya aku membersihkan sedikit sisa-sisa minuman yang tercecer di meja dan bekas-bekas makanan dan minuman, merapikan tisu, mematikan lilin, dan mematikan kipas angin yang masih berputar.

Aku pulang, capai sekali. Aku berbenah diri, melangkahkan kakiku. Kafe tempatku bekerja tak jauh dari tempat indekos.
Aku akan berbenah diri melupakanmu, Amelly, batinku.

Tadinya aku akan membenahi diriku sendiri untuk menyatakan perasaanku, tetapi hari ini kamu membuatku patah, membuatku jatuh dan tersungkur. Tak ada lagi daftar kota yang ingin kukunjungi pada musim libur. Amelly, aku yakin kau akan memilih berlibur bersama Steven. Beruntungnya kini aku tinggal di kota; tak ada lagi kunang-kunang yang akan mengingatkanmu, berbiak di ruang tengah ingatanku. Pada akhirnya aku harus berbenah melupakan, melupakanmu sebagai pengisi hatiku. Terima kasih sempat menorehkan rasa yang tak biasa, Amelly, batinku.

Ekamatra  [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang