03. 17th birthday

2K 510 29
                                    

———


Felix pergi sejak sore hari untuk merayakan ulang tahun ke tujuh belas bersama teman-temannya. Ia tidak mungkin—lebih tepatnya tidak mau—untuk merayakan ulang tahun di rumahnya. Ini hari yang istimewa, dia ingin menghabiskan waktunya seharian penuh tanpa terganggu Jisung.

“Di mana saudara kembarmu, Lee? Seharusnya kalian merayakannya bersama.” Laki-laki jangkung bernama Hyunjin itu merangkul Felix, meledeknya dengan maksud bergurau. Keduanya berteman sejak lama, Hyunjin tahu betul Felix membenci kembarannya sendiri.

“Kita lahir di hari yang berbeda, bodoh. Aku pukul sebelas dan dia pukul satu, kita berbeda hari.” Felix membela diri, melepas rangkulan Hyunjin kemudian memukul pelan dadanya menggunakan kepalan tangan. “Dimana pacarmu?” tanyanya mengalihkan topik.

Hyunjin terkekeh pelan. “Harusnya aku yang bertanya, dimana pacarmu? Tujuh belas tahun dan kau bahkan belum pernah merasakan ciuman.”

“Aku tidak tertarik pada perempuan.”

“Kau gay?!” pekik Hyunjin.

“Otakmu terlalu kecil.” Felix mendorong pelan pundak Hyunjin.

Ia bukan tipe orang yang senang menjalin hubungan karena Felix adalah tipe pria karir; dia lebih sering memikirkan pekerjaannya di masa depan ketimbang menikmati masa remajanya.

Keduanya kemudian bergabung ke keramaian. Ia menggelar pesta kecil di sebuah apartemen yang memang sengaja disewakan untuk acara-acara singkat. Felix tahu, orang tuanya tidak mungkin memberikan uang secara cuma-cuma untuk membuat pesta apalagi tanpa Jisung. Jadi, Felix menabung sejak tiga bulan yang lalu.





Sementara itu, di depan sebuah rumah sederhana, satu keluarga kecil yang tak lengkap itu duduk di atas tikar. Ketiganya membuat daging panggang, menyalakan kembang api, lalu menikmati cupcake yang dibuatkan Ibu dengan kasih sayang.

Mereka menunggu kepulangan Felix agar dapat meniup lilin bersama, tapi anak itu tak kunjung pulang.

“Ditiup sekarang saja, Ji.” Ayah mengusap-usap punggung Jisung, meyakinkannya bahwa Felix tidak akan memukul Jisung hanya karena berani meniup lilin sendirian.

“Yong belum pulang!” ujar Jisung berkali-kali, terdengar panik sekaligus sedih.

“Dia tidak akan pulang, Ji,” ucap Ibu.

“Yong pergi? Aku juga mau pergi!” Jisung tiba-tiba bangkit dari duduknya, hendak berlari entah kemana. Untungnya Ayah dengan sigap menahan pergelangan tangan Jisung, lalu memeluknya dengan erat. Menyuruhnya untuk kembali duduk.

“Yongbok pulang pagi,” tegas Ibu meyakinkan.

Jisung anak yang baik. Ia mengangguk, kemudian menutup lilinnya menggunakan kedua tangan; ia berupaya agar lilin itu tetap menyala sampai pagi nanti. Agar dia bisa meniupnya bersamaan dengan Felix.

———

Han's [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang