Chapter 3

2.3K 141 3
                                    

"Sari, besok Ayah dan Ibu harus menghadiri undangan pernikahan rekan bisnis Ayah. Kamu mau ikut?" tanya Ibu Sari.

"Acaranya dimulai jam sepuluh pagi. Berhubung tempatnya jauh, sekitar jam delapan pagi kita harus sudah berangkat."

"Jam delapan? Kajian jan dimulai jam delapan?" ujar Sari dalam hati.

Malam harinya, Sari benar - benar memikirkannya. Dirinya ikut ayah dan ibu atau pergi ke kajian. Hatinya benar - benar bimbang. Ia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang menolak dirinya untuk ikut ayah dan ibunya serta memilih untuk ikut kajian. Tapi, sebagian yang lainnya menuntut untuk ikut ayah dan ibunya.

"Ahh! Kenapa waktunya barengan sih?!" gerutunya dalam hati.

Tanpa Sari sadari, ia sudah tertidur lelap. Padahal jam baru menunjukkan pukul setengah tujuh. Dalam tidurnya ia bermimpi.

Dalam mimpinya ia melihat dirinya yang lain tengah berjalan di antara kerumunan orang. Rambutnya yang tipis dan halus, seolah menari - nari karena tertiup angin. Parfume yang selama ini sering dipakainya, terasa begitu semerbak wanginya. Tepat di depan beberapa laki - laki, dirinya yang lain itu tengah digoda oleh mereka. Begitu risih Sari melihat dirinya yang lain diperlakukan seperti itu. Rasanya, ia ingin hancurkan semua laki - laki itu. Tapi, sekelebat cahaya pun seolah - olah mengganti cuplikan mimpi tadi.

Sama seperti tadi, ia melihat dirinya yang lain. Tapi yang sekarang memakai jilbab. Aneh, pikirnya. Memakai jilbab yang panjang. Jilbab yang selama ini dipakai oleh Uztadzah yang ada di tv. Begitu sederhana. Sangat sederhana. Tak ada modern - modernnya. Namun begitu anggun bila dilihat. Aura kecantikannya terpancar dari dalam hatinya. Sangat Sari rasakan. Dirinya yang lain itu juga sedang berjalan di antara kerumunan orang. Yang ini, tak ada wangi parfume yang semerbak. Begitupun dengan angin yang memainkan rambutnya. Tepat selangkah lagi dirinya yang lain itu berada di depan beberapa laki - laki jahat itu.

'Jangan! Kumohon jangan goda perempuan itu!' teriak Sari dalam mimpinya. Ia menangis karena tak sanggup melihat apabila dirinya yang lain itu,yang anggun itu,digoda oleh para lelaki jahat itu.

Tapi tak ada yang terjadi. Semua laki - laki yang ada disana tidak menggoda perempuan itu. Namun malah tertunduk. Sari pun tak henti - hentinya mengucap syukur karena dirinya yang lain itu tidak digoda oleh mereka. Sekelebat cahaya pun kembali datang. Seakan menyuruh Sari untuk bangun.

Benar saja ia terbangun dari tidurnya.

Ia masih tertegun dengan mimpinya itu. Begitu gemetar badannya. Baru kali ini ia merasakan takut yang begitu hebatnya. Ia teringat akan selama ini, saat dirinya pulang sekolah dan digoda oleh laki - laki yang hobinya nongkrong di warung kopi, dan di tempat warnet.

"Allahu Akbar, Allãhu Akbar." terdengar suara adzan Isya. Begitu menenangkan perasaannya.

Segera ia mengambil air wudhu dan menunaikan shalat Isya. Setelah itu ia menunaikan shalat taubat dua rakaat. Disana ia menangis sejadi - jadinya. Terbayang banyaknya dosa yang selama ini telah diperbuatnya. Tak lupa ia memohon ampun kepada Allah. Malam itu terasa sangat tenteram. Ada perasaan lega di dalam hatinya.

"Ibu, sepertinya besok Sari nggak bisa ikut Ayah dan Ibu." ujar Sari saat kedua orangtuanya sedang asyik menonton televisi.

"Kenapa?" tanya Ibu.

"Kalau gue bilang mau ikut kajian, pasti mereka nggak bakal ngizinin." ujar Sari dalam hati.

"Emm, ada pelajaran tambahan di sekolah." tambahnya.

"Pelajaran tambahan di hari Minggu?" kini giliran Ayah Sari yang menanggapi.

"Emang udah jadwalnya, Yah." jawab Sari singkat.

"Yaudah, Ayah setuju aja. Kamu harus lebih mementingkan ilmu pelajaran daripada yang lain." ujar Ayah Sari sebelum kembali menonton televisi.

Esok harinya....

Berbekal jilbab yang diberikan nenek Sari saat umurnya menginjak empat belas tahun, ia beranjak menghadiri kajian mingguan. Saat sampai di sekolah, tidak terlalu banyak siswa kelas sepuluh yang datang hari itu.

"Assalamu'alaikum, Sari." sapa Nida.

"Wa'alaikumussalam. Acaranya udah mulai, Kak?"

"Sebentar lagi. Ayo kita masuk." ajak Nida.

Kajian pun dimulai. Disini, laki - laki dan perempuan dipisah. Dan otomatis sang penceramah tak terlihat karena terhalang tirai. Hari ini, Zulfa dan Indah juga datang. Mereka berdua duduk di barisan depan perempuan dan paling pojok.

"Adik-adik, jilbab itu bukan hanya sekedar menutup kepala saja, namun harus menutup seluruh aurat dari kepala hingga kaki, kecuali telapak tangan dan wajah. Jilbab juga memiliki syarat yang harus dipenuhi. Pertama, tidak tembus pandang atau tidak tipis. Kedua, tidak membentuk lekuk tubuh atau tidak ketat. Ketiga, tidak berlebih - lebihan atau tabarujj. Dan yang keempat menutupi dada." jelas sang Ustadz.

"Apa sih hukumnya mengenakan jilbab bagi seorang wanita yang sudah baligh? Hukumnya adalah wajib. Bisa kita lihat penjabarannya di Al - Quran surat An - Nuur ayat tiga puluh satu, dan Al - Ahzab ayat lima puluh sembilan. Disana tertera jelas sekali bagaimana Allah sangat melindungi wanita." jelas sang Ustadz.

---

Malam harinya, Sari merasakan gejolak di hatinya. Sesuatu menuntutnya untuk berubah.

"Aku ingin taat! Aku ingin berubah! Sudah cukup!" tekadnya dalam hati.

"Ibu." panggil Sari saat dirinya sampai dirumah.

"Apa?" tanggap Ibu Sari sambil terus menumis kacang panjang.

"Aku.. Aku ingin minta izin, Bu." ujar Sari.

"Izin apa?"

Sari tak langsung menjawab pertanyaan ibunya. Ia menarik napas dalam - dalam. Ia tahu bahwa ayah dan ibunya pasti tidak akan mengizinkannya untuk pakai jilbab.

"Aku ingin pakai jilbab." ujar Sari singkat.

Ibunya seketika terdiam. Mencerna kembali kata - kata anaknya.

-------

Duhh, gimana yaa? Kira - kira ibunya mengizinkan nggak yaa??  Lalu bagaimana dengan ayahnya??  Penasaran?

Jejak HijrahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang