Aruna kembali tiba menyapa cakrawala di bentangan ujung pagi Kota Periangan. Laksanabaswara selaksa siswa-siswi yang memasuki gapura pambuka. Semua atma nampak membawa banyak hal dalam kepalanya, entah mimpi atau asa. Mungkin juga beberapa luka dan duka yang disembunyikan rapat-rapat dalam wajah palsu jiwa-jiwa berteman sendu.
Derap langkah jua obrolan, terdengar bermacam, mereka menuju ke ragam tujuan kedatangan. Seorang tuan nampak berjalan ke arah halaman depan, namun pandangan nampak mengarah pada seorang puan.
Senyumnya melebar, menata rambut agar tak tampak berantakan. "Lia!" seruan keluar dari mulut seorang jejaka yang dihiasi senyum menawan.
"Mas Dejun?" Sang wanodya berasma Lia nampak menghentikan jalan, dibalikkan daksanya ke arah belakang.
"Saya ingin mengantarmu sampai ke depan kelas, rasanya enggan melihat langkahmu kesepian," ucap Dejun sehabis tiba di hadapan wanodya yang dipanggilnya.
Sedangkan Lia pun tersenyum dan menganggukkan kepala. Dalam perjalanan tak terlalu banyak ucap anantara mereka, sama-sama memiliki sikap pendiam jadi alasannya. Keduanya pun tiba di depan kelas yang berada pada lorong pertama, tingkat kedua jua samping tangga.
"Matur nuwun nggih mas, sampun ngeteraken kula," ucap Lia dengan logat Jawa yang terdengar.
Dejun terkekeh, menampilkan tawa yang menyenangkan tuk dipandang. "Iya, sama-sama dek. Oh iya, boleh saya pinta satu sajak kamu?" Entah apa yang dipikirkan, namun itulah yang diinginkan, sebuah permintaan sederhana.
Lia tersenyum sembari mengangguk menyetujui. "Tuk sang surya yang sedang bersinar. Sampaikan warta sederhana ini untuk seorang tuan. Bahwasanya kehidupan itu menyenangkan, jadi jangan lupa sisihkan harapan untuk hari kemudian. Ingat, esok menanti di depan. Senyum yang lebar ya? Karna aku menyukainya," Lia berucap sembari unjuk senyum memikat, buat siapapun bisa dengan mudah terjun karna sang afsun.
Dejun terdiam, membeku tuk beberapa waktu. "Mas Dejun?" panggil sang dara sembari melambaikan astanya di hadapan pigura sang jejaka yang melamun tanpa ada kata.
"Eh iya, saya ke kelas dulu ya, Li. Belajar yang rajin dan sampai bertemu di Kantin Leswara pada waktu satu," ucap Dejun segera berpamitan. Namun, sebelumnya disempatkan mengusap rikma panjang puan di hadapan dengan perlahan jua senyuman.
Sehabis Dejun berpamitan jua tak nampak punggung di depan, Lia masih berdiri di tempat sembari menampakkan senyuman. "Kenapa mukanya memerah begitu, ya? Lucu pisan," lirihnya sembari menggelengkan kepala dan terkekeh perlahan dengan heran.
Seorang tuan datang dengan langkah lebar jua senyum menawan, menyapa ramah pada sekitar. Tangannya nampak memegang sebuah tas berisi makanan yang dibawakan sang bunda dari kediaman. Tujuannya ke sebuah kelas yang berada pada lorong pertama, tingkat kedua jua samping tangga.
Hanya sekali ketukan lalu melangkah masuk ke dalam. "Punten anak Bu Dara semua, ijin masuk ya gue," sang tuan berucap dengan rupa riang, sedang para siswa siswi di sana hanya berpandangan jua berucap dalam diam ── Rutinitas seperti biasa.
"Heejin, bangun dulu. Masih pagi masa udah tiduran, niat sekolah apa pasrah?" tanya sang tuan dengan tangan menata makanan.
"Diem ah kamu, berisik banget. Aku ngantuk, udah sana balik aja," usir sang puan berasma Heejin yang merasa terganggu pada sebuah kedatangan, kepalanya masih tergeletak di meja, dengan lipatan tangan jadi tumpuan.
Sedangkan sang tuan tak kamu kalah, ia mengangkat kepala sang puan dengan paksaan. "Buka mulut sekarang! Bunda tadi masak udang kesukaan lo," perintah sang tuan tanpa bantahan.
"Hyunjin, aku mau tidur astaga─" ucapnya terpotong kala sesuap sendok masuk dengan paksa.
"Heejin yang paling kecil, gue tau lo pasti ngga mau sarapan di rumah. Sekarang makan dan habiskan, pulang nanti gue ambil kotaknya. Selamat makan sahabat kesayangan," ucap sang tuan berasma Hyunjin dengan senyum yang mengembang, setelahnya ia segera berpamitan. Karna jarak kelas keduanya terpaut beda bangunan.
Sedangkan puan berasma Heejin menghela nafas, sudah menjadi kebiasaan seperti ini. Tangannya pun mulai mengambil alih sendok jua mulai memakan apa yang dibawakan sahabatnya.
"Sahabat kesayangan dari kayangan, definisi kesayangan dia itu apa sih? Pak Suho aja di panggil kepala sekolah kesayangan, kan memang beliau aja kepala sekolahnya," gumam Heejin sembari menggeleng pelan, heran dengan tingkah sang sahabat yang terkadang aneh di pandang.
Sedangkan seorang dara yang baru tiba melihat sahabatnya sedang makan sebuah bekal di kelas. "Dari Hyunjin ya Hee?" tanyanya sehabis meletakkan tas di atas meja.
"Iya Li, siapa lagi kalau bukan dia yang suka paksa aku makan."
Sedangkan Lia hanya terkekeh melihatnya. "Hubungan kalian spesial banget kayaknya, jangan-jangan kalian pacaran dalam diam?"
Sedangkan Heejin yang dituduh mendadak tersedak, dengan segera ia meminum air di hadapan. "Hush, kalau ngarang bagus dikit atuh, masa iya aku jadian sama memble," balas Heejin dengan tatapan tajam.
"Gitu-gitu dia ganteng kan Hee?" Lia nampak menggodanya.
"Terusin Li, terusin. Kamu aja dianter Kang Dejun kan? Cie ada yang pendekatan," goda Heejin membalik keadaan.
"Pendekatan dari mana toh Hee? Biasanya aku juga dianter Jaemin, Jeno, Mas Dery atau anak KASA lainnya jikalau bertemu di gapura depan. Ngga ada yang spesial Hee," balas Lia menjelaskan.
Heejin mengangguk mengerti, membenarkan apa yang t'lah dijelaskan. "Hal yang seharusnya spesial menjadi sebuah kebiasaan. Apa kita bisa membedakan keduanya jika terlalu sering didapatkan?"
#Kamus:
1. Matur nuwun nggih mas, sampun ngeteraken kula = Terima kasih ya mas, sudah mengantar saya.𖥸 𖥸 𖥸
Saran dan pesan kalian dibutuhkan, sila diberikan jika ada yang ingin disampaikan. Salam hangat dari kami, KASA sebagai pemeran tuk pembaca sekalian.
◡◡◡◡
©KA − SA
KAMU SEDANG MEMBACA
Kausa Rahsa
Teen Fiction「 𝐀𝐔 ✪ 𝑴𝒊𝒍𝒍𝒆𝒏𝒊𝒂𝒍 」 Yang salah pun susah. Yang biasa pukah pun lelah. Yang pasrah pun tak mau kalah. Yang tumbang pun bangkit ulang. Ragam perasaan berkumpul dalam satu bidang persahabatan. Arahan aksi dan hati timbulkan ko...