Bab 3

135 26 0
                                    

“Dari mana kamu?” Hardikan ketus langsung menyapa Naira, saat dia baru saja pulang malam itu. Namun, Naira hanya melirik sekilas sang penanya sebelum mendengkus kecil.

“Kampus,” jawab Naira santai.

“Cih! Kamu pikir saya bodoh, huh? Mana ada kampus masih buka sampai jam segini? Kalau-kalau kamu buta, ini udah hampir jam 12 malam!” hardiknya lagi, sambil melipat tangan di depan dada.

“Ck, gini nih. Kalau ngomong sama orang zaman old. Nggak akan bisa sepaham sampai kapan pun!” cibir Naira masih dalam mode santai.

“Maksud kamu apa?!” Si penanya yang tak lain dan tak bukan adalah istri papanya itu, langsung murka mendengar cibiran Naira.

“Saya ngomong fakta kok. Faktanya adalah Anda memang orang zaman old. Beda dengan saya yang anak zaman now. Di mana kampus sekarang sudah punya banyak organisasi yang bisa diikuti dan kadang memakan waktu sampai malam dalam pelaksanaannya,” balas Naira kali ini dengan serius. “Sudahlah!” Naira mengibaskan tangannya dengan enteng ke udara. “Anak zaman old seperti Anda, tidak akan mengerti walau saya jelasin sampai mulut berbusa sekalipun. Jadi, jangan buang-buang waktu saya, bisa?” tambah Naira, yang sukses membuat wanita paruh baya itu makin meradang.

“Naira!” murkanya dengan lantang.

“Apa, sih? Nggak usah teriak-teriak bisa nggak? Saya belum budek. Atau mungkin ... Anda yang memang sudah budek, hingga nggak bisa lagi bicara dengan nada normal gitu?” Naira malah menanggapinya dengan sinis.

“Kamu—”

“Sudah! Sudah!” Satu suara lain tiba-tiba ikut menginterupsi dari arah tangga.

Naira dan Tia istri papanya, langsung menoleh ke arah sumber suara. Ternyata, suara itu milik papanya, Handoko. Entahlah, Naira nggak tahu harus memanggil pria paruh baya, yang terlihat lebih ringkih dari usianya itu sebagai apa?

Sebab yang Naira tahu, ibunya menikah dengan pria ini sebelum meninggal paska operasi sum-sum tulang belakang yang gagal. Saat itu, usia Naira sudah 15 tahun.

Nah, kan? Rumit!

Naira juga bingung menjelaskannya. Dibilang Papanya? Bukan. Dibilang bukan Papanya? Namun, dia suami ibunya. Jadi ... Naira harus panggil apa, dong?

Papa tiri?

“Ini udah malam, Mah, Nai. Malu kalau sampai didengar tetangga,” tegur Papanya lagi. Seraya turun dari tangga dan menghampiri Naira juga Tia.

“Bukan Naira, Pah. Tuh! Istri Papa yang teriak-teriak tadi. Dikira ini pabrik apa? Ngomong aja harus pakai toak,” jelas Naira santai, membuat Tia langsung mendelik garang.

“Kamu!” desis Tia dengan geram. “Heh! Saya juga nggak bakal teriak-teriak kalau kamu nggak hina saya!” bantahnya lagi.

“Hina apa, sih, Nyonya? Orang saya ngomong fakta kok. Anda nggak punya kaca atau bagaimana di kamar? Sampai nggak mau terima omongan saya kaya tadi?” elak Naira.

“Kamu—”

“Sudah! Sudah!” seru handoko lagi. Berusaha menghentikan pertikaian dua wanita beda generasi itu.

“Ini udah malam, astaga! Kalian nggak bisa ya ributnya pending dulu sampai besok?” kesal Handoko sambil melirik Naira dan Tia secara bergantian, karena sesungguhnya, Handoko sendiri sudah capek dengan keadaan ini. Di mana setiap hari, ia harus rela menyaksikan pertikaian anak dan istrinya yang tak urung selesai.

“Maaf, Pah. Naira sebenarnya nggak punya waktu buat debat sama istri Papa ini. Soalnya Naira sibuk sama kuliah. Ini aja, Naira baru pulang abis rapat organisasi,” jelas Naira iba melihat mata tua yang selalu sendu itu tiap kali melihat pertikaiannya dan Tia. Cuma, apa mau dikata? Tia memang suka sekali mencari ribut dengannya.

Mommy Untuk PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang