Bab 2

159 26 1
                                    

Keesokan harinya, Naira pun menerima sebuah email yang berisikan kontrak perjanjian ini. Pun sejumlah bayaran yang telah dikirim ke rekening pribadinya. Namun, di dalam perjanjian itu belum tertulis sama sekali masa berlakunya.

Naira sempat mengkonfirmasi hal itu pada ayah si anak, tetapi jawaban yang ia dapatkan hanya sebuah ketidakpastian. Semua itu karena pria itu harus menimbang kondisi Princess untuk saat ini.

Alhasil, perjanjian belum bisa ditentukan masa berlakunya sampai sekarang. Hanya saja, Daddy Princess meyakinkan semua perjanjian ini akan otomatis berakhir setelah anaknya sembuh. Hanya saja masalahnya, jika Princess tidak sembuh bagaimana? Masa Naira harus jadi Mommy bayaran selamanya? Nggak mungkin, kan?

Eh, astaga! Kenapa malah doain jelek gini, sih? Pokoknya ya ... entahlah. Naira juga nggak tahu bagaimana ini akan berlanjut? Intinya, untuk saat ini ia terlanjur berjanji dan harus menepatinya. Dirinya bahkan sudah menerima pembayarannya di muka. So, jalanin ajalah!

“Kenapa muka lo? Kok kayaknya nggak senang gitu habis teleponan sama anak lo? Kenapa? Dia rewel?” kepo Nissa tak mendapat jawaban dari Naira.

Sebenarnya, Naira udah berkali-kali memperingatkan Nissa, untuk tak menyebut Princess sebagai anaknya di tempat umum seperti ini. Bukan apa-apa. Masalahnya adalah ....

Hello! Nama Naira tuh, sekarang udah jelek sejelek-jeleknya loh. Sejak identitasnya terbuka. Semua orang sudah memandangnya sebelah mata. Nah, kalau sampai ada yang denger ucapan Nissa barusan? Apa nggak bakal semakin rusak parah namanya?

Akan tetapi, Nissa tetaplah Nissa. Jika ia udah ada kemauan, maka badai sekalipun, tak akan mungkin dihiraukannya. Jadi ya, terima aja!

“Dia baik kok,” jawab Naira kemudian. “Biasa habis kemo dia ngeluh rambutnya semakin rontok. Sekarang bahkan katanya ke mana-mana udah harus selalu pakai kupluk buat nutupin rambutnya yang mulai botak. Jadi ya ... gitu deh.” Naira bingung harus menceritakan apa, karena beberapa hari ini, setiap Princess telepon keluhannya selalu sama.

“Kasian ya?” jawab Nissa kemudian dengan tulus.

Ya! Memang kasian. Apalagi jika selesai kemo, Princess menelepon Naira, mengadu, dan menangis tersedu. Menceritakan bagaimana rasanya sakitnya menjalani semua itu. Betapa anak itu tersiksa akan hal tersebut.

Rasanya, Naira pengen banget bertemu dengan anak itu, memberikan pelukan hangatnya, dan ciuman manis. Tujuannya agar anak yang belum genap lima tahun itu bisa lebih kuat. Namun, Naira sadar. Ia tidak boleh melakukannya.

“Eh? Lo nggak ada keinginan buat nemuin dia atau apa gitu? Buat kasih support gitu kayak di tivi-tivi?” usul Nissa, membuat Naira langsung mendesah pelan.

Ada!

Tentu saja ada! Jika Naira ingin menuruti egonya, tentu aja akan ada perasaan itu. Ia bahkan ingin sekali cuti kuliah sekarang juga dan langsung terbang ke London untuk bertemu dengan Princess. Hanya saja, apalah daya? Jangankan tempatnya, orangnya saja Naira nggak tau.

Nah, kan? Ini gila!

Kalian pasti nggak habis pikir mendengarnya. Bagaimana mungkin Naira bisa teleponan sama orang sekian bulan, tanpa tahu rupa, dan wujudnya. Terdengar tidak masuk akal, kan? Namun, memang begitulah keadaannya.

Walaupun Naira tiap hari teleponan dengan Princess, tidak pernah sekalipun mereka bertatap wajah. Semua itu karena hubungan telepon yang mereka lakukan hanya melalui telepon biasa. Bukan via internet, apalagi yang bisa video call.

Entahlah? Cuma ... memang sepertinya, ayahnya Princess ini memang tak mengizinkan mereka bertatap wajah. Bahkan bertukar foto pun tidak bisa. Lalu, apa ini bukan penipuan namanya?

Awalnya, Naira kira juga gitu. Namun, sekian bulan berhubungan dengan Princess, dan selalu mendapatkan laporan uang masuk di rekeningnya dari bank Luar Negeri, dengan nominal yang terbilang besar. Mau nggak mau, Naira percaya ini bukan penipuan. Lagian, mana ada penipuan malah ngasih uang. Iya, kan? Yang ada, harusnya malah minta uang. Bener nggak?

“Mau ngapain, sih, gue ke sana? Lo, kan, tahu. Jangankan alamat, mukanya aja gue nggak tahu,” jujur Naira pura-pura tak acuh dengan kondisi Princess.

“Nah ini!” seru Nissa tiba-tiba sambil bertepuk tangan satu kali di hadapan wajah Naira. Membuat Naira langsung berjengit kaget.

Sialan si Nissa!

“Ini yang sebenarnya bikin gue penasaran sampai sekarang. Kok bisa, sih, lo jadi ibu anak itu, tapi lo gak boleh tahu wajahnya? Lo yakin ini bukan penipuan, Nai?” tukas Nissa penasaran.

“Awalnya gue juga kira gitu, Nis.” Naira meraih es teh manis di hadapannya, lalu menyesap cairan manis itu sejenak. “Tapi ... ya kali penipuan malah kita yang dibayar? Bukannya namanya penipuan itu malah minta bayaran ya? Kayak kasusnya ‘Mama minta pulsa itu’,” bantah Naira lagi.

“Lah, iya juga ya?” gumam Nissa. “Tapi ... serius lo nggak penasaran sama semua ini, Nai?”

“Penasaran mah ada pasti, Nis. Tapi, ya ... mau gimana lagi? Perjanjiannya, kan, emang cuma nerima telepon tuh bocah aja. Terus nemenin ngobrol sekalian kasih motivasi. Bukan buat ketemu dan jadi Mamak benerannya. Iya, kan?” jelas Naira. “Lagian ... gue, sih, ngerti kenapa kami nggak boleh ketemu?”

“Kenapa?” kepo Nissa.

“Karena pasti bakal ribet jadinya. Kalau tuh bocah sampai engeh, muka emak yang ada di foto keluarganya, beda sama muka gue. Bisa kecewa banget tuh bocah. Entar ujung-ujungnya malah mempengaruhi kesehatannya. Iya, kan? Ribet lagilah pasti urusan ini,” terang Naira.

“Oh, iya juga ya?” sahut Nissa setuju. “Eh, tapi ... bukannya katanya emaknya tuh bocah udah meninggal pas ngelahirin dia?”

“Ya, emang! Tapi, bukan berarti nggak ada fotonya satu pun, kan, di dalam rumah itu? Apalagi yang gue denger dari Bapaknya, sebenernya Princess itu udah tahu kok kalau emaknya udah nggak ada. Cuma ... entah kenapa? Pas sakit kaya gini, dia seakan menolak kenyataan itu, dan nyari emak yang lain dengan cara mencet nomor yang random. Anehnya lagi, malah nomor gue yang nyambung. Nggak tahu juga gue, mau nyebut ini apa? Entah kesialan atau keberuntungan.” Naira menaikkan bahu tak acuh.

“Ck! Ngaco lo!” balas Nissa cepat. “Jelas ini keberuntungan dong. Kapan lagi coba lo dapet duit banyak semudah ini? Cuma modal angkat telepon tiap hari. Sama cuap-cuap dikit. Eh ... transferan ngalir nggak kira-kira. Ck! Gue juga mau kali kalau gini caranya mah!” timpal Nissa merasa cemburu. “Sayangnya, yang salah sambung ke gue selama ini bukan anak konglomerat kaya kasus lo. Tapi, malah tukang cilok, atau tukang parkir depan kampus. Ya ... banter-banter tukang jaga warteg di depan gang. Nah, itu baru yang namanya sial,” adu Nissa dengan wajah memelas. Membuat Naira mau tak mau terlekeh renyah mendengarnya.

Jadi ... Naira beruntung, ya?

Menurut Kalian bagaimana?

Mommy Untuk PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang