Perlahan tapi pasti, gue langsung masuk ke mobil Pak Jiemi duduk dengan nyaman. Disusul dengan Pak Jiemi yang buka pintu di sebelah gue lalu ikutan duduk. Gue bingung dong kenapa dia duduk di samping gue.
Nggak berapa lama dia menoleh ke gue yang canggung, "Mau manggil jasa supir?"
Eh, gue nyengir nggak jelas. Pertanyaan ketus terselubung yang mengartikan, 'Lo pikir gue supir, seenaknya duduk di belakang!'
"Maaf, Pak. Justru saya nggak enak duduk di samping Bapak."
"Kalau nggak enak, kamu bisa bayar saya dengan temani saya makan," katanya sambil keluar dan pindah ke kursi kemudi.
Gue melongo nggak jelas. Nggak paham dah maksud dia apaan tapi gue buru-buru pindah ke depan juga. Setelah menggunakan seat belt, gue langsung kasih penawaran ke dia, "Kalau saya bayar pakai uang aja gimana, Pak?" tanya gue sesopan mungkin.
Pak Jiemi tidak merespon, dia sibuk memundurkan mobilnya dengan melihat dashcam. Tiba-tiba saja dia menopang tangan kirinya ke jok kursi gue, wajahnya menghadap gue lalu menoleh ke belakang. Aroma parfum Pak Jiemi kembali menguar, gue malah jadi degdegan.
Setelah mobilnya berhasil mundur, masih pada posisinya Pak Jiemi menatap gue sambil bilang, "Ide bagus kalau kamu bayarin saya makan," lalu kembali ke posisi mengemudi dan melaju.
Degdegan gue langsung berubah drastis jadi bingung. Gawat nih kalau minta yang mahal-mahal karena uang gue nggak cukup. Tapi, masa iya gue ngomong gitu, malu dong gue. Hah, yasudah lah mau nggak mau gue bakalan pakai uang tabungan. Hitung-hitung 'nyogok' Pak Jiemi biar gue dapat nilai A. Amin.
"Oke deh, Pak," jawab gue rela nggak rela.
Suasana mendung sunyi syahdu dengan lagu Boyce Avenue yang diputar Pak Jiemi jadi buat suasana makin tambah kayak jangkrik. Baru kali ini gue bersampingan dengan Pak Jiemi di luar kampus, malah gak kepikiran bisa dianterin pulang sama dia. Sebelumnya boro-boro di luar, ketemu di lingkungan kampus aja nggak pernah, cuma di kelas doang.
"Kamu lagi ada acara kah hari ini?" katanya mencairkan suasana di jalanan yang macet. Tumben-tumbenan weekend masih macet gini.
"Nggak sih, Pak," jawab gue bohong padahal gue ada janji sama Oly. Sepersekian detik kemudian gue nyesel bohong, padahal kalau gue jujur mungkin aja langsung diajak pulang. Uang gue pun aman.
Pak Jiemi mengangguk, "Baik kalau gitu, saya bisa leluasa pilih tempat makan di manapun." Pak Jiemi melirik gue disertai senyum tipisnya.
Sumpah ni Bapak, bikin gue kesel! Eh tapi bisa juga senyum tjoy. Selama ini kemana aja senyumnya!!!!!
"Asal Bapak nggak nyulik saya aja dan pulangin saya baik-baik."
Pak Jiemi tertawa kecil. Langsung menghilangkan pikiran gue kalau dia dosen ketus bin killer.
"Agak rugi juga saya nyulik kamu. Bisa-bisa saya sakit kepala tiap hari ketemu kamu yang nggak ngerti matkul saya."
Gue kembali melirik sebal karena sifat nyebelinnya kembali. Sabar. Jangan maki dan ngomel. Bisa-bisa gue bakalan dapet nilai D lagi.
"Betul tuh, Pak. Rugi banget nyulik saya yang bego ini," jawab gue membegokan diri.
Pak Jiemi mengangguk seperti tanda setuju. Sialan.
"Tapi saya penasaran, kenapa kamu suka menghindar matkul saya?"
Gue mikir sejenak, pertanyaan jebakan nih kayaknya.
"Karena saya nggak suka."
"Apanya?"
"Saya nggak suka sama perpajakan, Pak."
KAMU SEDANG MEMBACA
GUE VS BOSS DAN DOSEN
ChickLitIni cerita hidup gue tentang dosen dan boss gue yang sifatnya hampir sama. Sama-sama ketus, keras kepala dan nggak punya rasa kasihan. Mau lepas tapi gue butuh mereka berdua untuk kesuksesan hidup gue. Gimana dong???? (Belum ada Revisi)