YABOTF-1

886 68 11
                                    

You Are Broken On The Floor
.
.
.
.
.
.

Satu, dua gores.
Tiga, empat gores.
Lima, enam gores.

'Tes tes tes'

'Hiks'

"A-aku baik saja." tersenyum perih untuk bayangan yang terpantul di cermin.

"Yeah i am okay. "

"But.. hiks, i am just fine."

Tangis tak kuasa, meringkuk dalam, air mata bak air bah.

'tok tok tok'

"Ho?"

Suara pemanggil menyadarkannya, diusap kasar air mata dan menetralkan suaranya yang pasti akan serak, sedikit berdeham.

"Eum yaaa?"

"Makan malam dulu." titah si pemanggil

"Iya sebentar lagi, ntar aku nyusul. Nanggung satu soal lagi."

"Jangan lama-lama."

Dia mengangguk, tak kan terlihat. Tentu saja. Lantas ia kenakan pakaian dengan lengan panjang. Sebelumnya ia kenakan aksesoris tangan. Jam dan gelang sederhana khas. Mata cantik sedikit merah, ia teteskan cairan yang mana umum disebut obat mata. Tak lupa mengenakan kacamata bulat.

Bayangan di cermin setidaknya menandakan ia baik saja.

"Semangat Ho."

.
.

Suasana makan malam hening, yang berdenting hanya aduan sendok garpu serta permukaan piring. Yang tertua disana menghentikan acara makannya. Yang lain ikut serta.

Satu orang dewasa juga dua orang remaja.

"Mama dengar San dapat nilai ujian paling tinggi lagi?"

"Betul mama." pemuda bernama San menjawab patuh.

"Kamu selalu membanggakan mama." Mama tersenyum penuh rasa bangga. Sangat jelas siapa pula yang tak akan bangga memiliki putra cerdas, penurut, dan juga tampan.

"Terimakasih ma."

Pandangan mama beralih pada si bungsu yang diam menunduk, senyumnya perlahan pudar.

"Jongho mama harus mengatakan apa pada mu?"

Jongho, si bungsu makin menunduk. Tak mau menatap mama, tak mau juga menjawab. Dia tak sanggup.

"Nilai mu hancur. Ada apa dengan peringkat mu? Tak bisa kah kamu maju menjadi paling tidak ke-2? Ada apa dengan urutan ke-5, tak bosan kah kamu?"

"Seharusnya kau tiru kakak mu. Selalu menjadi yang pertama. Setidaknya kamu belajar, mama yakin kamu terlalu asik bermalasan." lanjutnya.

Tak tahu kah, yang menjadi sang kakak terbebani. Ia amati adiknya, hanya kosong pandangannya. Ini sangat menyakitkan.

Mama pergi meninggalkan ruang makan, San menghela nafas berat.

"Kamu ok Ho?"

"Eum ya haha." tawanya garing

"Tolong jangan bebani kakak, kamu rajin-rajin lah belajar. Kamu ini pintar kakak sangat yakin. Jangan membuat mama percuma, mengerti?"

Kakak tak terlalu ambil pusing tentang adiknya . Jongho pun tak akan terlalu peduli. Maka dengan cekatan Jongho merapihkan bekas makan mereka. San langsung masuk ke kamar. Untuk bagian ini selalu Jongho. Tak ada pembantu disini. Mama tak cukup kaya untuk menggaji orang lain selain membiayai anak-anaknya.

"Aku kuat."
Menyemangati diri sendiri, selama hidupnya sesuatu yang positif hanyalah ini. Setidaknya ayo bayar hutang budi pada mama, jangan buat ini percuma.

Tapi Jongho manusia, dia kuat namun tak begitu kuat. Dia hanyalah anak berumur 17 tahun. Maka dalam diam tangisnya, tangannya pun tak berhenti bekerja untuk merapikan semua ini.

Malam bergulir menjadikan pagi sebagai pemimpin untuk beberapa jam kedepan. Pada pukul 04.00 Jongho sudah bersiap menyuci baju, menyapu, mengepel lalu menjemur pakaian. Semua ia lakukan sendiri, siapa lagi? Anak emas itu tak akan diijinkan walau ia berinisiatif sendiri.  Mamanya itu bukan seorang wanita berumur 45 tahun yang fit apalagi ia harus memikul beban sebagai tulang punggung tunggal setelah Bapak Choi meninggal dunia 5 tahun silam. Pukul 05.45 ia menyiapkan sarapan sederhana untuk keluarga tercinta. Cinta sendiri, mama dan kakak tak mencintai diri itu sebagaimana mestinya.

Mama bekerja sebagai karyawan swasta,
Kakaknya berbeda satu tahun dengannya, dedikasi mama untuk dirinya 65%
Maka untuk Jongho mungkin 5% karena sisanya hanya untuk dirinya. Jahat sekali Jongho berpikir begitu. Itu tak begitu jahat. Semenjak pergi nya figur seorang bapak ke pelukan tuhan mama menjadi seorang yang kritis dan perhitungan, perhitungan buat dirinya. Choi San bebas berekspresi dan bercerita. Dirinya didorong mandiri dan tak bergantung.

Sebetulnya semenjak ia kecil.

Tak heran,

Tangannya telaten menyiapkan bekal untuk kakak juga mama tak lupa untuk dirinya. Mama memberikan uang saku untuk ongkos pergi ke sekolah saja jadi ia harus hemat. Kalau si Choi San itu sedikit enak, uang saku selalu lebih dari Jongho apalagi mama selalu memberikan tumpangan pagi gratis buat dia. Jongho tidak, katanya hukuman karena tak pernah dapat ranking satu. Jongho terima penuh ikhlas. Terserah orang tua itu saja.

Jongho itu selalu pergi ke sekolah dimana bertepatan dengan tetangganya pergi bekerja. Namanya Park Seonghwa. Setiap pagi memberikan tumpangan cuma-cuma mengenakan sepeda motor. Tempat kerjanya searah dengan sekolah Jongho.

'tin tinn'

Suara klakson yang sangat Jongho hapal.

"Woi Ho sini bareng! Nih helmnya!"

'Tuh kan, kak Seonghwa'

"Wah makasih loh kak padahal gak usah repot-repot Hoho bisa naik bus."

Seonghwa mengibaskan jari-jari lentiknya. "Halah gak usah, sayang banget duitnya kamu simpen aja."

'Iyalah sayang cari duit kan susah.'

"Woah iya hehe." Jongho menepuk pundak Seonghwa menandakan sudah siap. Sedari tadi sambil berbincang Jongho sudah ancang-ancang menyambar lalu mengenakan helm. Semua yang dikatakannya hanya basa basi. Seonghwa tahu betul. Sudah tak heran, agak malas jika anak itu sudah berbasa basi.

"Jangan pegangan kakak gak akan ngebut nih. "

"Iya kak iya. "

Sepedah motor itu melaju membelah jalan sepi menuju tujuan terarah dengan gesit. Nyatanya Seonghwa menjalankan mesin beroda itu hampir 100km/jam. Jongho dibuat panik lantas memeluk tubuh kurus itu erat-erat.

Tak lama mesin motor berhenti. Tepat di depan gerbang tempat Jongho memerangi ke egoisan mama.

"Udah udah gak usah lama peluknya ntar kalo toko sepi kakak jemput kamu. Gak usah bilang makasih suka malu kakak tuh." Seonghwa menepuk nepuk punggung tangan Jongho agak keras, tersentuh rasanya dingin.

'ya ampun nyampe dingin. ' sedikit bersalah, tapi ia tak menunda waktu. Banyak sekali pesanan hari ini.

"Makasih ya kak. " Jongho pura-pura tegar, Seonghwa meringis. Maksudnya tangan Jongho sedikit bergetar.

"Belajar semau kamu ya, bye!" lantas pria tampan itu menjalankan kendaraannya menuju sebrang. Sedekat itu dengan bangunan sekolah ini. Hanya perlu menyebrang. Ini lah alasan mengapa Jongho bangun pagi dan ikut sedikit menyusahkan tetangganya hampir setiap hari.













Berkelanjutan»
______________________________________

You Are Broken On The FloorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang