Bab IV : Percakapan

2 1 0
                                    

Ketika itu, langit senja sedang menaungi kita, Bulan.
Kamu, yang mulai menyuarakan pertanyaan mu untuk memecah keheningan yang kita ciptakan.
Kamu bertanya, "Kenapa kamu menyebutku bulan, Bumi?"
Aku bergeming sebentar kemudian menjawab,
"Dirimu itu indah, Bulan,"

Kamu diam, entah apa yang sedang kau pikirkan.
Tak lama kamu kembali bersuara, "Hanya itu alasannya, Bumi?"
Aku kembali menjawab, "Kau tau, Bulan? Bulan yang dimiliki Bumi itu sebagai penerang,"
"Lalu?"

Aku diam cukup lama, sebelum melanjutkan, "Kamu adalah sebuah penerang bagi ku, Bulan."
"Aku tak se hebat itu, Bumi,"
"Bulan itu sebuah penerang ketika gelap datang, Bulan,"
"Aku tau itu," ucap mu dengan segala ke sok tauan mu.

"Kamu tidak tau, Bulan,"
"Tidak tau apa, Bumi?"
"Kamu terlalu berarti untukku, terlalu berarti untukku jelaskan tentang mu,"
Kamu diam setelah mendengar jawaban ku.

Aku kembali memandangi senja yang sedang bergulir meninggalkan bumi.
Dalam hati aku bergumam, 'Harapan dalam hatiku hanya satu, jangan biarkan dia pergi, Tuhan,'
Aku menghembuskan nafas yang kemudian menarik perhatiannya.
"Aku tidak bisa berjanji untuk menjadi bulan mu selamanya, bumi,"

Aku sudah tak bisa membuka kata ketika mendengar kalimat itu.
Hanya diam yang bisa menjawab perkataan mu itu, Bulan.
Harapan ku akan selalu aku semanyamkan dalam hati.
Entah itu akan menjadi nyata atau menjadi hampa.

-Bumi yang merindukan Bulan-

Bumi yang merindukan BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang