1: Perkara Novel

7.6K 364 21
                                    

Sepenuhnya, Shinta tau jika yang selalu berakhir bahagia adalah pemeran utama. Entah pemeran itu berwatak Antagonis ataupun Protagonis sekalipun. Selagi menjadi pemeran utama, semuanya akan baik-baik saja.

Selagi menjadi pemeran utama, maka akan ada banyak sekali orang yang bersimpati, bahkan rela beradu argumen, membela sang tokoh utama.

Shinta tau.

Dan dia, berharap menjadi Pemeran Utama itu. Walaupun, dia adalah Antagonis di sini. Menjadi pemeran Utama, akan ada banyak sekali manfaatnya.

Tapi sayang, sangat disayangkan. Dia hanyalah antagonis yang hanya menjadi pemeran sampingan.

Pemeran yang setiap diam-pun, akan selalu dihujat, bahkan didoakan mati dalam keadaan mengenaskan.

Hanya pemeran yang selalu mengganggu para tokoh utama, menjadi cobaan yang harus dilalui oleh tokoh utama agar segera berakhir indah.

Kematiannya, sangat ditunggu setiap orang. Shinta mengakui itu. Hatinya nyeri. Entah di dunia nyata, ataupun dunia novel ini... kenapa dia selalu menjadi pemeran sampingan?

Dan parahnya, akhir dari novel itu adalah kecelakaan besar. Dan cerita, berakhir di sana. Membuat pembaca gemas, karena sang penulis tidak melanjutkan cerita itu.

Mereka tidak tau sang Antagonis selamat atau tidak.

Shinta menangis. Dada-nya sesak. "Setiap orang berhak bahagia. Bukan hanya Pemeran Utamanya saja, semuanya."

Jika seperti ini terus, lama-lama Sinta bisa gila.
°°°°°°°°°°°°°°°°

Shinta menahan napas.

Dia sedang membaca sebuah novel karya temannya. Tangan Shinta terkepal erat. Pantas saja selama beberapa minggu ini Zindy selalu menerornya, menyuruhnya membaca novel miliknya.

Shinta berusaha keras untuk menamatkan novel itu, walaupun dia tidak terima.

Dia membaca dengan benar-benar, memasukkan tiap kata ke dalam otaknya agar melekat erat. Agar, ketika memaki Zindy, dia tidak perlu lagi membuka novel itu terlebih dahulu.

Shinta mengkhatamkan novel itu dalam waktu 8 jam, wajar saja. Dia 3 kali khatam. Saat ini tengah malam. Dia menghela napas, tertawa pelan. Teringat kejadian beberapa minggu yang lalu.

Beberapa minggu yang lalu.

"Paket?" Shinta mengedipkan matanya. Dia tidak memesan paket apapun, dan tiba-tiba saja datang paket atas nama dirinya dan lagi COD. Paket itu belum di bayar sekalipun.

"SIAPA BAJINGAN TENGIK YANG NGIRIMIN GUE PAKET BANGSAT?!!" Shinta berteriak dalam hati. Mengipasi wajahnya dengan telapak tangan.

"Saya nggak pesan paket pak." Sekali lagi, Shinta menyanggah.

"Atas nama Dewi Shinta kan?"

"Iya." Shinta mengangguk.

Telepon Shinta berbunyi.

Zindy.

Si penulis bangsat itu.

"Bentar ya pak, mau terima telepon." Shinta segera mengangkat telepon itu, bergumam, "ngapain si bangsat ini nelpon gue? Anjing."

"HAHAHAHAHAHAHH."

Shinta segera menjauhkan telepon dari telinganya. Zindy benar-benar bangsat. Memulai obrolan dengan gelak tawa.

"Mau ngapain sih ini anak." Shinta menggumam lagi. Kesal. Mendekatkan teleponnya lagi.

"Itu paket dari gue, hadiah. Terima aja." Zindy menghentikan tawanya, dan langsung berbicara inti sebelum Shinta mengakhiri teleponnya.

MUTUALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang